tirto.id - Deklarasi Provisional Government of West Papua (Pemerintah Sementara West Papua, terdiri dari Provinsi Papua dan Papua Barat) oleh Benny Wenda, Ketua United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) pada 1 Desember lalu ditolak berbagai pihak. Tak hanya dari pemerintah Indonesia, ketidaksepakatan pun datang dari internal organisasi dan kelompok pro Papua merdeka.
ULMWP adalah sebuah organisasi payung yang dibentuk oleh tiga organisasi pada 2014 lalu dan bertujuan memerdekakan West Papua dari Indonesia.
Wenda mendeklarasikan 'pemerintahan sementara' dan menyatakan per 1 Desember 2020 “kami memiliki konstitusi kami sendiri, hukum kami sendiri, dan pemerintahan kami sendiri.” Dalam deklarasi yang dirilis di laman resmi ULMWP, Wenda juga bilang kehadiran Indonesia di West Papua adalah ilegal dan oleh karenanya mereka menolak hukum apa pun yang berasal dari Jakarta.
Bagi Wenda, pengumuman itu menandai intensifikasi perjuangan melawan Indonesia di wilayah West Papua yang berlangsung sejak tahun 1963.
Dua hari kemudian, 3 Desember, Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD mengatakan Wenda telah “membuat negara ilusi,” yaitu negara “yang tidak ada,” jika mengacu ke tiga syarat pendirian negara, yaitu ada rakyat, wilayah, dan pengakuan negara lain. “Pemerintah siapa yang mengakui dia pemerintah? Orang Papua sendiri juga tidak mengakui.”
Mahfud juga menegaskan Papua adalah bagian dari Indonesia sejak Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) tahun 1969. Dia bilang tak mungkin referendum dilakukan dua kali. “Papua sejak 1969 tidak masuk dalam daftar Komite 24 PBB (Komite Khusus Dekolonisasi). Komite 24 itu daftar negara-negara yang dianggap memiliki peluang dan mandiri untuk merdeka. Kalau Timor Timur, ada,” jelas Mahfud.
Penolakan juga muncul dari MPR. Ketua MPR Bambang Soesatyo mengatakan “apa yang dilakukan ULMWP dengan mendeklarasikan pembentukan negara Papua Barat di dalam NKRI dan menjadikan Benny Wenda sebagai Presiden Papua Barat, sudah sangat jelas merupakan perbuatan makar.” Bamsoet, demikian dia disapa, mengatakan deklarasi Wenda sepihak dan tak sejalan dengan hukum internasional.
Menanggapi pernyataan para pejabat Jakarta, Wenda bilang sebaiknya mereka “tidak perlu panik,” “sebab ada mekanisme internasional” untuk menyelesaikan status Papua. Dia menegaskan lagi bahwa Papua (dan Papua Barat) adalah bangsa yang merdeka sejak 1 Desember 1961.
Oleh karena itu, kepada reporter Tirto, Kamis (3/12/2020), dia bilang sebaiknya Presiden Indonesia Joko Widodo mengakui bahwa Pemerintahan Sementara West Papua telah mempunyai interim presiden, yaitu dirinya sendiri.
Ditolak Organisasi Papua
Penolakan bukan hanya muncul dari Jakarta, tapi Papua sendiri. Juru Bicara Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) Sebby Sambom mengatakan organisasinya “tidak [meng]akui klaim Benny Wenda.” “Karena dia mendeklarasikan dan mengumumkan pemerintahannya di negara asing yang tidak mempunyai legitimasi mayoritas rakyat Papua, juga di luar dari wilayah hukum revolusi,” katanya, Rabu (2/12/2020).
Wenda tinggal di Inggris. Pada 27 Oktober 2002, dia melarikan diri dari penjara Abepura berkat bantuan dari aktivis kemerdekaan Papua. Ia kemudian diselundupkan ke Papua Nugini. Lalu, dengan dibantu oleh LSM di Eropa, ia pergi ke Inggris. Di Inggris, ia mendapatkan suaka politik.
Sebby juga menuding Wenda bekerja di bawah kepentingan kapitalis barat dari mulai Eropa, Amerika, hingga Australia, yang menurutnya “bertentangan dengan prinsip-prinsip revolusi.” Oleh karena itu ia tegas mengatakan bahwa “Manajemen Markas Pusat KOMNAS TPNPB-OPM mengumumkan mosi tidak percaya kepada Benny Wenda.”
Ketua Asosiasi Mahasiswa Pegunungan Tengah Papua se-Indonesia (AMPTPI) sekaligus mantan tahanan politik, Ambrosius Mulait, berpendapat dalam mengusulkan pemerintahan sementara seharusnya ada pembahasan oleh semua fraksi yang tergabung ULMWP dan rakyat Papua itu sendiri.
“Karena fraksi West Papua National Coalition for Liberation, Negara Republik Federal Papua Barat, Parlemen Nasional West Papua, tergabung dalam ULMWP. [Ketiganya] mempunyai landasan atau konsep negara masing-masing, sehingga perlu duduk bersama agar mengusulkan sistem pemerintahan yang cocok bagi rakyat Papua,” ucap dia kepada reporter Tirto, Kamis.
Peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang banyak mengkaji soal Papua, Cahyo Pamungkas, bilang penolakan muncul karena setiap organisasi politik di Papua memiliki perbedaan latar belakang sejarah. OPM, misalnya, mewarisi tradisi perjuangan bersenjata. Sementara ULMWP tumbuh pada masa otonomi khusus alias di era demokrasi.
“Mereka memilih metode diplomasi melalui referendum. Penolakan terhadap deklarasi itu merupakan hal yang wajar,” katanya kepada reporter Tirto, Kamis.
Masalahnya penolakan bahkan datang dari wakil Wenda sendiri, Octovianus Mote. “Pembentukan ini keliru dan tergesa gesa, seperti juga di masa lalu Benny Wenda mengambil beberapa keputusan yang kontroversial,” kata Mote, kini berstatus Pejabat Sementara Wakil Ketua ULMWP, dalam diskusi dengan Indoprogress, ditayangkan di Youtube, Kamis (3/12/2020).
Mote bilang keputusan ini tak tepat karena faktanya “masa jabatan dari tuan Benny dan saya, periode kami, itu berakhir mulai 1 Desember.” “De facto dia sudah berakhir, posisinya sekarang pejabat sementara sampai periode berikut. Dalam posisi pejabat sementara, tidak bisa mengambil keputusan signifikan.”
Ia juga menyebut pengumuman ini sama sekali bukan penanda intentisifikasi perjuangan seperti yang diklaim Wenda. “Ini tidak berbobot,” katanya. “Bagaimana intensitifikasi perjuangan ketika Covid membungkam semua ruang gerak? Itu terjadi selama sekian bulan belakangan ini. Berkunjung dan melaksanakan pertemuan saja tidak bisa. Itu bertolak belakang dengan pernyataan tuan Benny.”
Ia memberi contoh dalam peringatan 1 Desember lalu, yang “tidak terjadi besar-besaran di mana-mana seperti tahun sebelumnya.”
Meski demikian, dia menegaskan yang keliru dari Wenda bukanlah ide tentang pemerintahan sendiri. Dia bilang ULMWP memang “berjuang untuk merdeka dan bikin pemerintahan.” “Masalahnya hanya prosedur dan di luar daripada aturan yang berlaku. Diumumkan oleh seseorang yang hanya pejabat sementara, dan keputusan itu belum sah dan dari segala sisi mengandung kelemahan.”
Cahyo Pamungkas bilang setelah ini mungkin bakal ada rekonsiliasi internal antar faksi politik di Papua. Sementara dari sisi pemerintah, ia menduga bakal semakin banyak aparat dikirim untuk meredam gerakan kemerdekaan. Dia pun berharap pendekatan keamanan seperti ini tak terus dilanggengkan dan pemerintah fokus menyelesaikan berbagai masalah terutama pelanggaran HAM.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Rio Apinino