tirto.id - Setelah beberapa kali menyusuri lorong gerai perawatan tubuh dan produk kosmetik, Lisa mencomot lipstik warna nude dari jenama langganannya lalu membawanya ke meja kasir untuk dibayar.
Tidak ada alasan khusus bagi perempuan berambut sebahu ini untuk membeli pemulas bibir itu. Namun ia mengaku menikmati momen membeli produk, meskipun barang tersebut tidak termasuk kebutuhan mendesak.
"Ya, kepengen aja. Kebetulan lagi diskon juga," katanya.
Lain lagi ceritanya dengan Nata. Tatkala merasa suntuk, seusai office hour ia selalu menyempatkan untuk mampir ke pusat perbelanjaan di dekat kantor.
Alih-alih pergi untuk membeli sesuatu, keputusan Nata berjalan-jalan menyusuri pertokoan lebih untuk melongok harga pakaian atau memeriksa material kainnya.
"Setelah puas keliling dan lihat-lihat, biasanya terus pulang," ungkapnya sambil tertawa.
Apa kamu juga pernah, atau bahkan sering, melakukan aktivitas seperti Lisa dan Nata? Adakah rasa senang, bahagia, dan relaks yang muncul ketika berjalan-jalan di gerai toko untuk sekadar window shopping atau pun membeli barang di pusat perbelanjaan?
Inilah yang disebut dengan efek retail therapy atau terapi belanja.
Retail therapy, menurut Cleveland Clinic, adalah kegiatan belanja yang bertujuan meningkatkan suasana hati atau menghindari emosi yang sulit.
Biasanya aktivitas tersebut melibatkan pembelian barang yang kamu inginkan, alih-alih yang kamu butuhkan. Sebut di antaranya perhiasan, sepatu, alat elektronik, bahkan sesederhana makanan seperti permen cokelat atau es krim.
Meski begitu, melansir WebMD, terkadang kita bahkan tidak perlu membeli sesuatu agar suasana hati menjadi lebih baik. Melihat-lihat produk atau window shopping memungkinkan kita menyelami perjalanan emosional yang asyik.
Ini pun berlaku di dunia digital.
Menjelajahi e-commerce, menggulir produk-produk di etalase toko digital, termasuk memenuhi keranjang belanja di aplikasi tanpa melakukan pembelian, dapat pula memengaruhi suasana hati kita secara positif.
Setidaknya terdapat dua studi yang mendukung bahwa retail therapy dapat meningkatkan kebahagiaan kita.
Seperti dirangkum dari artikel Healthline, penelitian tahun 2011 pada 407 responden dewasa menyimpulkan bahwa, salah satunya, pergi berbelanja tanpa perencanaan tampaknya dapat meredakan suasana hati yang jelek.
Berbeda dari asumsi kebanyakan orang, pelaku retail therapy justru cenderung tidak overspending atau belanja berlebihan. Tetap, mereka belanja sesuai anggaran yang ada.
Studi lain yang dipublikasikan di Journal of Consumer Psychology pada 2013 menambahkan, retail therapy dipandang lebih bermanfaat untuk mengatasi suasana hati yang sedih alih-alih marah.
Tim peneliti menuturkan, retail therapy bisa memberikan semacam perasaan berdaya atau kekuatan, terutama bagi orang-orang yang sedang merasa sedih, stres, atau cemas.
Sederhananya, retail therapy dipandang mampu memberikan ‘kekuasaan’ atau semacam kontrol di dalam diri orang-orang yang bersedih.
Mengambil pilihan untuk membeli barang, atau tidak membelinya, tampaknya penting untuk membantu menangkal perasaan-perasaan negatif atau sedih dan membuat orang merasa berdaya.
Nah, menariknya, dorongan untuk melakukan aktivitas yang membahagiakan diri sendiri itu bersifat universal—tidak dipengaruhi usia, pendapatan, maupun jenis kelamin konsumen.
Hal itu terungkap dalam survei yang dilakukan Deloitte pada 114 ribu lebih orang dewasa dari 23 negara pada 2023 lalu.
Hampir 80 persen responden setidaknya pernah melakukan satu pembelian barang mewah untuk meningkatkan suasana hati mereka dalam sebulan terakhir meski hanya 42 persen yang mengaku mampu atau memiliki sumber daya untuk memenuhi kemewahan tersebut.
"Tidak mengherankan apabila orang-orang berbelanja untuk memanjakan diri sendiri, akan tetapi yang mengejutkan adalah fakta bahwa ini terjadi pada banyak orang di seluruh dunia," jelas Justin Cook, pemimpin penelitian produk konsumen AS di Deloitte seperti dikutip dari Forbes.
“Makanan dan minuman memberikan manfaat lebih dari sekadar menyediakan nutrisi,” papar psikolog konsumen Chris Gray Psy.D. dari agensi konsultansi The Buycologist.
“Makanan dan minuman berperan penting dalam kehidupan emosional kita, seperti untuk menenangkan diri, memberikan kenyamanan, dan hiburan saat bosan. Dan kita mendapatkan imbalan dengan mencoba rasa dan aroma baru, contohnya rasa es krim baru,” lanjut Gray.
Selain makanan dan minuman, survei Deloitte juga menemukan pengeluaran konsumen digunakan untuk melakukan pembelian pada kategori fesyen dan perawatan pribadi.
Bagaimana dengan pengalaman retail therapy yang pernah kamu jalani? Barang belanjaan apa yang mampu menjadi mood booster saat kamu merasa sendu dan galau?
Penulis: MN Yunita
Editor: Sekar Kinasih