Menuju konten utama

Respons Lengkap KPK soal Kritik Kinerja Periode 2015-2019

KPK memaparkan sejumlah kinerja mulai dari penuntutan, pencegahan hingga pembenahan sumber daya manusia.

Respons Lengkap KPK soal Kritik Kinerja Periode 2015-2019
Tersangka kasus dugaan suap terkait seleksi pengisian jabatan di Kementerian Agama, Romahurmuziy menjawab pertanyaan wartawan sebelum menjalani pemeriksaan di Gedung KPK, Jakarta, Jumat (22/3/2019). ANTARA FOTO/Reno Esnir/nz.

tirto.id - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merespons kritik Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Transparency International Indonesia (TII) soal kinerja komisioner periode 2015-2019.

"Bagi kami, kajian seperti ini akan sangat membantu KPK untuk mengidentifikasi lebih jelas bagian-bagian mana yang perlu diperkuat dan yang masih belum maksimal dikerjakan KPK," Kata juru bicara KPK Febri Diansyah dalam keterangan tertulis, Senin (13/5/2019).

KPK pun menyampaikan 7 poin sebagaimana menjawab hasil kajian ICW dan TII. Pertama, penanganan kasus di level peningkatan mengalami kenaikan.

Febri mengatakan, sejak Pimpinan jilid ini dilantik pada Desember 2015 lalu, tren penindakan KPK selama kurun waktu 2015-2018 selalu mengalami kenaikan.

Dari 99 kasus di tahun 2016 menjadi 199 kasus di tahun 2018. Sedangkan tahap penuntutan dari 76 kasus pada 2016 jadi 151 kasus pada 2018.

KPK juga berhasil menangani kasus korupsi besar di era kepemimpinan Jilid IV. Febri menyebut, KPK era ini menangani BLBI pertama kali ditingkatkan ke penyidikan pada Maret 2017.

KPK, kata dia, tidak berhenti pada 1 orang tersangka. Saat ini proses pengembangan perkara juga sedang berjalan di KPK. Kemudian KPK juga menjerat Ketua DPR RI, Setya Novanto diproses dalam kasus KTP Elektronik.

KPK juga memproses 6 korporasi dalam kasus korupsi. Keenam perusahaan adalah PT Duta Graha Indah atau PT NKE, PT TS (PT Tuah Sejati), PT NK (PT Nindya Karya (Persero) Tbk), PT Tradha, PT ME (PT Merial Esa), dan PT PS (PT Palma Satu).

KPK, kata Febri, juga menjerat TPPU pertama kali untuk korporasi (PT TRADHA) sebagai pengembangan kasus Kebumen.

Kemudian, lanjut Febri, KPK juga telah menangani kasus korupsi senilai triliunan rupiah.

Febri juga menyinggung kasus Pemberian keterangan lunas BLBI dengan kerugian negara Rp4,58 triliun dan kasus Pengadaan e-KTP dengan kerugian negara Rp2,3 triliun.

Kemudian, ada dugaan korupsi terkait Izin Pertambangan di Kabuapten Konawe Utara Rp2,7 Triliun dan dugaan TPK terkait Izin Pertambangan di Kota Kabuapten Waringin Timur Rp5,8 triliun.

Kinerja Penuntutan KPK

Sementara itu, di level penuntutan terkait tinggi atau rendahnya tuntutan, KPK beranggapan tidak bisa sebuah tuntutan dinilai dengan rata-rata. Mereka beralasan Bentuk korupsi yang berbeda memiliki ancaman pidana yang berbeda.

Febri mencontohkan penerapan Pasal 5 UU Tipikor, pemberi suap diancam pidana maksimal 5 tahun.

Sedangkan kasus Suap merupakan kasus yang paling dominan ditangani KPK dalam 4 tahun berjalan ini.

Sehingga tinggi rendah tuntutan dengan ancaman pidana maksimal 5 tahun tentu tidak bisa dirata-ratakan dengan ancaman pidana 20 tahun atau seumur hidup.

Febri menegaskan, mereka menuntut sudah memenuhi prinsip hukum sebaik mungkin.

Penuntut Umum juga, kata dia, memperhatikan sikap kooperatif atau tidak pelaku korupsi sebelum menuntut.

Jika terdakwa koperatif, maka secara adil tuntutan tentu tidak dapat berikan maksimal sehingga hal ini bersifat kasuistis.

Jika seorang terdakwa menjadi justice colaborator, maka tuntutan akan dijatuhkan lebih rendah. Namun, bila menjadi perhatian, KPK akan melakukan kajian.

"Jika ke depan hal ini menjadi perhatian pihak Peneliti dalam melakukan kajian atau evaluasi terhadap tuntutan KPK, maka diharapkan hasilnya dapat lebih baik dan sangat membantu KPK. Bahkan, jika dibutuhkan dapat dilakukan kajian lebih mendalam terhadap materi perkara-perkara yang ditangani, sebagaimana yang dulu pernah dilakukan ICW dan TII yang dapat dilakukan terhadap Putusan-putusan Tipikor," kata Febri.

Penyerapan Anggaran, SDM, dan Pencegahan

Di sisi lain, dalam penyerapan anggaran, kata Febri KPK beranggapan perencanaan harus dengan matang disertai dengan penggunaan anggaran yang efektif.

KPK, kata dia, memandang sudah tidak saatnya kemampuan menghabiskan anggaran sebagai indikator keberhasilan, namun lebih tepat jika menggunakan indikator efektifitas penggunaan anggaran dan pelaksanaan tugas dan wewenang.

Penggunaan anggaran APBN yang dialokasikan ke KPK pun digunakan dengan sebaik-baiknya dengan prinsip anggaran berbasis kinerja.

Kemudian, dari sisi penguatan SDM, pimpinan KPK telah mengambil kebijakan proses rotasi dalam untuk memperkuat tenaga penyidik.

Hal ini sebagaimana yang diterapkan pertama kali tahun ini yang mengangkat 21 orang penyidik dari sumber penyelidik.

Selain itu, proses seleksi penyidik dari unsur Polri juga dilakukan. Pada Mei 2019 ini sedang berlangsung, ada sekitar 19 orang anggota Polri lulus smpai tahap seleksi kompetensi.

Berikutnya akan mengikuti tes kesehatan dan wawancara. KPK pun terus menambah SDM untuk unit penindakan.

Febri juga mengatakan, di sisi pencegahan, KPK mengajak publik ikut berperan serta diikuti keinginan politik para kepala daerah maupun pimpinan instansi.

KPK pun mengajak publik memantau lewat kanal milik KPK seperti kanal LHKPN KPK dan monitoring pelaporan harta kekayaan.

Pemantauan implementasi pelaporan LHKPN pada instansi tahun 2018 adalah, 91,07 persen, sedangkan kepatuhan pelaporan per 31 Maret 2019 adalah 75,05 persen.

"Sampai saat ini kepatuhan pelaporan LHKPN mencapai 85,44 persen," kata Febri.

Menurut Febri, KPK membutuhkan dukungan dan kerja sama sejumlah pihak, baik dari institusi pemerintahan, penegak hukum, media maupun masyarakat sipil. KPK menilai kajian-kajian evaluasi bagi KPK adalah hal penting untuk kemajuan KPK.

Baca juga artikel terkait HARD NEWS atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Hukum
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Zakki Amali