tirto.id - Gedung Oost-Java Bioscoop yang terletak di Koningsplein Noord (kini Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat) sudah ramai menjelang pukul 8 pagi. Hari itu tanggal 28 Oktober 1928, hari kedua Kongres Pemuda II. Dari balik kerumunan, tampillah seorang pria muda. Ia adalah Sarmidi Mangunsarkoro.
Sarmidi Mangunsarkoro hadir di arena bukan sekadar jadi penggembira. Pemuda 24 tahun ini menjadi salah satu pembicara dalam acara yang nantinya menghasilkan ikrar kebangsaan yang lantas melegenda: Sumpah Pemuda.
Setelah dipersilakan, sang penampil pun naik ke podium dan mulai beraksi, memaparkan tentang apa yang menjadi tema pada hari itu, yaitu pendidikan dan kebangsaan.
Pencetus Pendidikan Kebangsaan
Sarmidi Mangunsarkoro tampil di kongres hari kedua itu bergiliran dengan sejumlah pembicara lainnya, termasuk Mohammad Yamin, Purnomowulan, Ramelan, hingga Mr. Sunario (Marleily Rahim Asmuni, Sariamin Ismail: Hasil Karya dan Pengabdiannya, 1983:10).
Paparan Sarmidi adalah tentang pendidikan kebangsaan untuk generasi muda. Baginya, kebudayaan bangsa sendiri sangat penting dijadikan landasan pendidikan putra-putri Indonesia (Bambang Sularto, Dari Kongres Pemuda Indonesia Pertama ke Sumpah Pemuda, 1986:52). Salah satu bentuk penerapannya adalah melalui gerakan kepanduan.
Selain berkiprah sebagai praktisi di institusi pendidikan formal, kepanduan – cikal-bakal gerakan Pramuka – juga menjadi medan juang Sarmidi pada era pergerakan nasional. Ia adalah anggota Pengurus Besar Kepanduan Bangsa Indonesia (KBI) yang terus memperjuangkan terbebasnya gerakan kepanduan dari pengaruh kolonial.
Bukan cuma berbicara soal pendidikan kebangsaan dan kepanduan, Sarmidi yang mewakili tokoh pendidik dari kalangan muda juga menyatakan perlunya keseimbangan antara pendidikan di sekolah dan di rumah. Ia berpendapat pula bahwa pendidikan untuk anak sebaiknya dilakukan dengan cara-cara yang demokratis (Sri Sudarmiyatun, Makna Sumpah Pemuda, 2012:7).
Tak banyak orang Indonesia di era kolonial yang sudah memikirkan konsep pengajaran untuk anak bangsa ketika bayangan tentang berdirinya negara sendiri masih samar-samar. Sarmidi Mangunsarkoro adalah satu dari sedikit orang yang telah merumuskannya, selain tentunya Soewardi Soerjaningrat alias Ki Hadjar Dewantara.
Dan memang, antara Mangunsarkoro dan Dewantara tampaknya terdapat kesamaan pemikiran, utamanya terkait pendidikan kebangsaan. Maka tidak heran jika kedua tokoh ini akan saling bertautan hingga Indonesia benar-benar merdeka kelak. Rasanya tidak terlalu berlebihan jika Sarmidi disebut-sebut sebagai penerus sempurna bagi perjuangan Ki Hadjar.
Bercita-cita Mulia Sejak Mula
Sarmidi Mangunsarkoro lahir di Solo dari keluarga abdi dalem Kraton Surakarta pada 23 Mei 1904. Sedari muda, ia memang bercita-cita ingin menjadi pendidik meskipun sempat "kesasar" masuk sekolah teknik di Yogyakarta. Sadar salah jurusan, Sarmidi merantau ke Batavia dan mendaftar ke sekolah pendidikan guru di sana, Sekolah Guru Arjuna namanya.
Lulus dari Sekolah Guru Arjuna, Sarmidi langsung mendapatkan pekerjaan yang telah lama telah ia idamkan, yakni menjadi seorang pendidik. Kebetulan, ia langsung diterima sebagai guru di Hollandsch-Inlandsche School (HIS) Tamansiswa Yogyakarta. HIS adalah penyebutan sekolah dasar untuk pribumi pada masa kolonial.
Keberadaan sekolah HIS Tamansiswa di Yogyakarta dirintis oleh Ki Hadjar Dewantara (Benedict Anderson, Java in a Time of Revolution: Occupation and Resistance, 2006:437). Inilah awal mula Sarmidi mulai berhubungan secara lebih intensif dengan tokoh bangsa yang nantinya dikenal sebagai Bapak Pendidikan Nasional itu.
Tamansiswa memang menjadi awal sekaligus jalur utama karier yang ditekuni Sarmidi. Pada 1929, ia ditunjuk sebagai kepala sekolah HIS Boedi Oetomo. Selain itu, ia juga memimpin HIS Marsudi Rukun di Kemayoran atas permintaan warga setempat (Moehkardi, Mohammad Said Reksohadiprodjo: Hasil Karya dan Pengabdiannya, 1983:19).
Atas restu Ki Hadjar Dewantara, Sarmidi Mangunsarkoro mendirikan cabang Perguruan Tamansiswa di Batavia pada 1930. Berdirinya Tamansiswa Betawi itu dikukuhkan dengan penyerahan "Piagam Persatuan Perjanjian Pendirian" kepada Sarmidi langsung dari sang mahaguru.
Piagam pemberian Ki Hadjar itu menjadi semacam legitimasi bahwa Sarmidi telah menjadi bagian penting dari Perguruan Tamansiswa yang bertujuan untuk mewujudkan usaha pendidikan yang berlandaskan hidup dan penghidupan bangsa (Pranadipa Mahawira, Cinta Pahlawan Nasional Indonesia, 2013:305).
Nyawa Kedua Tamansiswa
Sarmidi Mangunsarkoro menjadi salah satu orang kepercayaan Ki Hadjar Dewantara. Sarmidi juga kerap dipercaya untuk mengemban tugas-tugas penting. Tahun 1931, misalnya, ia ditugaskan oleh Ki Hadjar untuk menyusun sekaligus merumuskan rencana pelajaran baru atau sejenis kurikulum untuk diterapkan di perguruan Tamansiswa.
Rencana pelajaran baru Tamansiswa yang dirumuskan Sarmidi itu memuat nilai-nilai nasionalisme. Salah satu tujuan nasionalnya adalah penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar sekaligus bahasa sehari-sehari di sekolah-sekolah milik Tamansiswa (Soegarda Poerbakawatja & Sudarno, Ensiklopedi Pendidikan, 1976:173).
Tak hanya itu, Sarmidi juga menekankan betapa pentingnya aspek kebudayaan dalam upaya memberikan pendidikan yang baik kepada kaum generasi muda, selain aspek sosial-ekonomi dan aspek politik. Dua aspek yang disebut terakhir ini menjadi asa Sarmidi untuk menanamkan rasa cinta kepada tanah air demi terbebasnya bangsa Indonesia dari cengkeraman kolonial.
Hanya butuh waktu setahun saja bagi Sarmidi untuk merampungkan rencana pelajaran baru tersebut. Pada 1932, kurikulum anyar Tamansiswa itu disahkan dengan nama "Daftar Pelajaran Mangunsarkoro." Sarmidi juga menyelesaikan bukunya yang berjudul "Pengantar Guru Nasional" di tahun yang sama.
Totalitas Sarmidi Mangunsarkoro ibarat nyawa kedua bagi Tamansiswa setelah Ki Hadjar Dewantara. Pada 1932, ia ditunjuk sebagai Ketua Departemen Pendidikan dan Pengajaran Majelis Luhur Tamansiswa, merangkap Pemimpin Umum Tamansiswa Jawa Barat, hingga 1940. Ia juga memimpin Taman Dewasa Raya di Batavia di sela periode tersebut.
Duet Bapak Pendidikan Nasional
Relasi Ki Hadjar dan Sarmidi yang terjalin dalam bingkai Tamansiswa berlanjut setelah Indonesia merdeka. Tahun 1947, Ki Hadjar memberi tugas penting lagi kepadanya, yakni membentuk tim untuk merumuskan dasar perjuangan Tamansiswa bertitik-tolak dari Asas Tamansiswa yang dicetuskan sejak 1922 (Hadjar Dewantara, Asas-asas dan Dasar-dasar Tamansiswa, 1964:13).
Sarmidi mempresentasikan hasil pemikiran timnya itu dalam Rapat Besar Umum Tamansiswa tahun 1947 dan diterima oleh forum. Maka, diresmikanlah Pancadarma sebagai Dasar-dasar Perjuangan Tamansiswa yang meliputi: Kodrat Alam, Kemerdekaan, Kebudayaan, Kebangsaan, dan Kemanusiaan.
Bagi Sarmidi, Ki Hadjar Dewantara memang sudah seperti guru sekaligus bapak. Ia seolah menjadi penyempurna kiprah Ki Hadjar dalam mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia yang sudah dirintis sejak era kolonial Hindia Belanda.
Sarmidi juga melanjutkan peran Ki Hadjar sebagai menteri pengajaran/pendidikan meskipun bukan dalam rentang waktu yang berurutan. Ki Hadjar Dewantara adalah Menteri Pengajaran pertama pada 1945, sementara Sarmidi Mangunsarkoro mengampu jabatan yang sama sejak 4 Agustus 1949 sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia.
Kendati masa jabatannya sebagai menteri terbilang singkat, namun Sarmidi sangat berjasa. Ia adalah orang yang memperjuangkan disahkannya Undang Undang No 4/1950 tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah untuk Seluruh Indonesia yang menjadi Undang Undang Pendidikan Nasional pertama dalam sejarah Indonesia.
Sarmidi juga turut menggagas berdirinya sejumlah institusi pendidikan di tanah air semasa menjadi menteri, di antaranya Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI, cikal-bakal Institut Seni Indonesia atau ISI) dan Universitas Gadjah Mada (UGM) di Yogyakarta, serta ikut memotori dibentuknya Konservatori Karawitan di kota kelahirannya, Solo.
Tak hanya lekat sebagai tokoh pendidikan, Sarmidi aktif pula di era pergerakan nasional hingga masa revolusi fisik. Semasa muda, ia adalah Ketua Jong Java cabang Yogyakarta yang menjadi duta dalam Kongres Pemuda II pada 1928 di Jakarta. Sarmidi juga turut berjuang melalui jalur politik dengan menjadi anggota Partai Nasional Indonesia (PNI) bentukan Soekarno.
Sarmidi termasuk paling keras menentang Perjanjian Linggarjati (1946) dan Renville (1948) pada periode mempertahankan kemerdekaan. Ia ditangkap saat terjadi Agresi Militer Belanda II dan ditahan di penjara Wirogunan Yogyakarta karena membantu pejuang republik dalam perang gerilya (Pertelaan Konperensi Kementerian, Departemen, Djawatan Agama Seluruh Indonesia, 1950, Volume 6-9).
Sayang, ia pergi mendahului mahagurunya, Ki Hadjar Dewantara. Sarmidi Mangunsarkoro meninggal dunia di Jakarta pada 8 Juni 1957, tepat hari ini 62 tahun lalu, dalam usia 53. Sang guru, Ki Hadjar, menyusulnya kurang dari dua warsa kemudian.
==========
Artikel ini pertama kali ditayangkan pada 17 April 2017 dengan judul "Relasi Sempurna Sarmidi Mangunsarkoro & Ki Hadjar Dewantara." Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik.
Editor: Ign. L. Adhi Bhaskara