Menuju konten utama

Di Negeri Penjajah, Gaya Radikal Ki Hadjar Dewantara Berubah

Menapaktilasi jejak Suwardi Suryaningrat alias Ki Hadjar Dewantara selama pengasingannya di Belanda. Di sana, gaya radikal ciri khasnya berubah.

Di Negeri Penjajah, Gaya Radikal Ki Hadjar Dewantara Berubah
Suwardi Suryaningrat dan isteri (Sutartinah) menjelang keberangkatan mereka ke negeri Belanda (1913). Foto/Pustaka Sinar Harapan

tirto.id - Semua tahu nama Suwardi Suryaningrat—kelak lebih dikenal dengan nama Ki Hadjar Dewantara—setelah ia menulis “Als ik eens Nederlander was” atau “Seandainya Aku Seorang Belanda”. Dalam tulisan yang terbit di surat kabar De Express, 19 Juli 1913, itu Suwardi mengkritik rencana peringatan seabad kemerdekaan Belanda dari Perancis di tanah Hindia. Apalagi biayanya diperoleh dari pungutan terhadap rakyat negeri jajahan.

Savitri Scherer dalam Keselaran dan Kejanggalan: Pemikiran-pemikiran Priyayi Nasionalis Jawa Awal Abad XX (2012) menyebutnya sebagai esai politik paling eksplosif yang ditulis seorang bumiputra di zaman itu. Esai itu juga diterjemahkan ke bahasa Melayu sehingga orang banyak dapat memahaminya.

“Inilah pertama kalinya suatu kritik terhadap Pemerintah Belanda yang ditulis oleh seorang cendekiawan Indonesia yang dapat diperoleh oleh kalangan yang lebih luas,” tulis Scherer (hlm. 51).

Pemerintah kolonial dibuat gusar oleh implikasi politik yang berpotensi muncul setelahnya. Tak mengherankan jika kemudian Suwardi—juga Cipto Mangunkusumo dan Douwes Dekker—ditangkap. Gubernur Jenderal sampai merasa perlu menggunakan exorbitante rechten (hak istimewa) untuk mengasingkan mereka ke Belanda.

Pada 6 September 1913, Suwardi dan kedua sekondannya bertolak ke Belanda dari Tanjung Priuk. Tapi, bukan Suwardi jika tak berontak. Dari geladak kapal, ketika singgah di Teluk Benggala, ia masih sempat melempar “bom” ke muka pemerintah kolonial Hindia Belanda.

“Hai, saudara-saudara bangsa kita di Timoer, jang djaoeh, berdaja-oepajalah! Tiada haroes perajaan kemerdekaan itoe diteroeskan djanganlah kamoe sekalian soeka diloedahi di moeka kamoe! Segala perboeatan dalam perajaan nanti akan membikin sakit hatimoe, akan menghinakan pada kamoe sekalian [...] Dan toenggoelah! Waktoe pesta kita datang djoega. Ajolah kita pohonkan dari Toehan, jang waktoe itoe lekas datang,” tulis Suwardi untuk kawan-kawan aktivisnya sebagaimana dikutip Irna H.N. Hadi Soewito dalam Soewardi Soerjaningrat dalam Pengasingan (1991: 54-55).

Berubah Haluan

Sesampainya di Belanda, tiga serangkai Indische Partij itu segera saja terlibat dalam gerakan politik. Cipto segera berkawan dengan aktivis-aktivis Sociaal-Democratische Arbeiders-Partij (SDAP). Ia kemudian terlibat dalam Indiers Comite dan pada 23 Oktober 1913 sudah menerbitkan majalah De Indier. Sementara Douwes Dekker berpindah ke Swiss dan kemudian Jerman sambil menulis untuk majalah itu.

Jalan berbeda ditempuh Suwardi. Tak seperti Cipto yang meneruskan tradisi radikalnya, Suwardi justru memilih untuk moderat. Suara-suara politiknya yang kritis hampir tak terdengar selama di Belanda. Padahal di negeri Belanda keadaannya lebih bebas daripada di Hindia. Tak ada sensor politik di sana.

Suwardi justru lebih dekat dengan Indische Vereeniging—suatu perkumpulan mahasiswa Hindia di Belanda. Suwardi lebih sering berkeliling ke beberapa kota di Belanda untuk berceramah dan ikut pemutaran film. Ia bekerja di Nederlandsch Correspondentie Bureau menangani berita-berita dari pers berbahasa Melayu.

Suwardi memilih untuk bergerak di lapangan kultural. Pilihan itu muncul setelah mengamati bahwa banyak orang Belanda punya pandangan keliru terhadap Hindia.

“Hal tersebut karena penerangan yang tidak benar dari pihak pemerintah Belanda sendiri. Itulah sebabnya maka Soewardi tidak mengambil sikap dan jalan yang radikal. [...] Dia menggunakan metode politik kultural,” tulis Irna dalam bukunya (hlm. 68-69).

Ini tampak misalnya saat Suwardi berpartisipasi dalam kegiatan seni yang diadakan Indische Vereeniging. Dalam acara-acara itu ia biasa tampil bersama Jodjana—mahasiswa Sekolah Tinggi Pertanian yang terampil menari Jawa—dan saudara jauhnya Noto Suroto.

Suwardi juga terlibat aktif dalam Dana Musik Hindia Timur, sebuah yayasan donatur untuk mengembangkan seni musik Jawa. Inisiatornya adalah Suryoputro, putra Pakualam VII yang juga masih berkerabat dengan Suwardi.

Sejarawan Harry A. Peoze dalam Di Negeri Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950 mencatat, melalui yayasan inilah lagu gubahan Suwardi dipublikasikan pada 1916. Lagu yang mengambil inspirasi dari teks Manuhara karya Mangkunegara IV itu diberinya judul Kinanthie Sandoong. Lagu itu digubahnya dalam laras pelog ala gamelan Jawa tetapi dinyanyikan dengan iringan piano, menjadikannya suatu gabungan tradisi Timur dan Barat.

“Soewardi merupakan orang pertama yang menuliskan lagu Jawa dengan notasi musik Eropa. Dengan lirik yang dibuat oleh Noto Soeroto, lagu itu diperdengarkan dalam berbagai kesempatan,” tulis Poeze (hlm. 104-106).

Minat lain yang ia perdalam ialah pendidikan. Pada permulaan ia tiba di Belanda, Suwardi mengikuti pendidikan di Lager Onderwijs—sebuah sekolah guru yang diselenggarakan oleh kementerian dalam negeri Belanda—di ‘s-Gravenhage. Pendidikan itu ditamatkannya pada 1915, sebelum ia terjun ke jurnalistik.

Menurut Irna, sang istri Sutartinah Sosroningrat lah yang menyarankannya mempelajari soal pengajaran. Sutartinah sendiri saat itu telah bekerja jadi guru taman kanak-kanak Frobel School di Weimar. Selama studinya, pemikiran-pemikiran Friederich Frobel, Montessori, dan Rabindranath Tagore banyak memengaruhi pemikirannya soal pendidikan anak (hlm. 97-99). Agaknya para pemikir itulah yang kelak jadi pijakan konsep Taman Siswa yang dibangunnya.

Suwardi juga sempat terlibat aktif dalam Kongres Pengajaran Kolonial yang diadakan di Den Haag pada Agustus 1916. Ia ikut menjadi salah satu pembicara dalam kongres yang membahas soal pengajaran di Hindia untuk bumiputra. Suwardi mempresentasikan prasaran panjang tentang kedudukan bahasa-bahasa asli dan bahasa Belanda dalam pengajaran.

Pernyataan mendasar Suwardi adalah menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa pergaulan dan pengajaran di tingkat dasar. Sedangkan bahasa Belanda baiknya digunakan pada tingkat sekolah lanjutan. Juga, menurutnya sangat penting bagi mahasiswa Hindia untuk menyebarkan ilmunya kepada warga Hindia dalam bahasa ibu yang mereka pahami.

Sebagai penutup, Suwardi menegaskan perlunya unifikasi pengajaran tingkat menengah dan tinggi. “Dan hak-hak sama harus berlaku bagi semua golongan masyarakat. Praktik pemberian hak istimewa kepada anak-anak Eropa harus dihentikan,” tulis Poeze (hlm. 106-107).

Infografik Suwardi suryaningrat di pengasingan

Kerja Jurnalistik

Meskipun aktif berkesenian, tetapi sebagian besar waktu Suwardi lebih banyak dicurahkan pada kerja-kerja jurnalistik. Berkat kedekatannya dengan Indische Vereeniging, pada 1916 ia diminta menjadi redaktur majalah baru bernama Hindia Poetra.

Hindia Poetra dirancang Suwardi sebagai “mimbar bebas”, siapapun boleh menulis apapun. Disediakannya ruang khusus untuk berita-berita aktual dari Hindia dan kegiatan-kegiatan Indische Vereeniging. Satu hal yang tak disentuhnya: politik.

Sifat mimbar bebas itulah yang membedakannya dengan De Indier yang diawaki kawan seperjuangannya. Juga karena pilihannya itu ia dikritik. Frans Berding—salah seorang rekan Cipto—sampai menulis artikel khusus berjudul “Kenapa tidak berjuang?” untuk mengkritiknya. Suwardi diminta menghentikan saja penerbitan Hindia Poetra jika tujuannya bukannya untuk cita-cita kemerdekaan politik Hindia.

Sebagaimana dikutip Poeze, Suwardi menjawab, “Berjuang di Negeri Belanda tidak efisien; pendidikan di Negeri Belanda harus dimanfaatkan untuk mempersiapkan senjata bagi perjuangan di tanah-air. Lagi pula, Perhimpunan Hindia akan terpecah-belah jika ia mengejar hanya satu tujuan politik” (hlm. 102).

Tetapi, biar pun Suwardi tampak menghindari politik, ia toh tetap penulis yang kritis. Salah satu artikelnya di Hindia Poetra yang berjudul “Taal en Volk” (Bahasa dan Rakyat) menunjukkan itu. Dalam artikel itu ia mengkritik pandangan sahabatnya sendiri, Cipto, yang menganjurkan pemakaian bahasa Belanda sebagai bahasa pergaulan untuk menyetarakan diri dengan Belanda.

Suwardi menjawab: siapa bisa jamin penguasaan Belanda atas Hindia akan berlangsung lama sehingga harus menjadikannya bahasa umum? Menurutnya bahasa rakyat mesti tetap dilestarikan dan tak ada perlunya mengubahnya dengan bahasa asing hanya untuk merasa setara.

Atas jawaban itu, Scherer berkomentar bahwa Suwardi tak pernah menanggalkan predikat kritisnya. Menurutnya, Suwardi hanya mengalihkan wilayah perjuangan dari politik ke kebudayaan. “Ia sekarang lebih seperti juru bicara kebudayaan bagi negerinya daripada juru bicara politik” (hlm. 57-59).

Baca juga artikel terkait HARI PENDIDIKAN NASIONAL atau tulisan lainnya dari Fadrik Aziz Firdausi

tirto.id - Humaniora
Penulis: Fadrik Aziz Firdausi
Editor: Ivan Aulia Ahsan