Menuju konten utama

Reaksi Partai Koalisi Jokowi Soal Usul Mahfud Bagi-Bagi Jabatan

Mahduf MD usul agar pemenang pilpres bagi bagi jabatan ke partai oposisi. Hal ini tidak dikehendaki beberapa partai.

Reaksi Partai Koalisi Jokowi Soal Usul Mahfud Bagi-Bagi Jabatan
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD menjawab pertanyaan wartawan saat akan meninggalkan Gedung KPK di Jakarta, Rabu (27/2/2019). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/wsj.

tirto.id - Mahfud MD punya solusi untuk mengakhiri polarisasi politik di Indonesia: bagi-bagi kekuasaan. Dia usul agar jatah menteri dan jabatan setara lain juga diberikan kepada oposisi.

"Win-win solution itu rekonsiliasi, kekuasaan itu bisa dibagi, jangan diambil sendiri oleh pemenang," kata Mahfud dalam acara Halal Bihalal Gerakan Suluh Kebangsaan di Hotel Grand Melia, Jakarta, Rabu (19/6/2019).

Kemudian bekas Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) ini juga usul agar oposisi dibiayai negara--tanpa menjelaskan lebih lanjut apa maksudnya. "Kalau mau bergabung ke pemerintahan, ya, bergabung saja," katanya.

Semua ini, katanya, bisa dilakukan setelah sidang perselisihan hasil pilpres selesai. Kini sidang masih berlangsung di Mahkamah Konstitusi (MK). Penggugatnya adalah tim hukum Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, pihak yang kalah berdasarkan hasil hitung manual-berjenjang Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Jika usul Mahfud dikontekskan dengan hasil KPU tersebut, maka dia seperti mengusulkan agar Joko Widodo-Ma'ruf Amin--pemenang pilpres berdasarkan hitung manual--mengangkat menteri dari Gerindra, PKS, PAN, Demokrat, plus Berkarya.

Lantas, apa respons partai pengusung Jokowi-Ma'ruf, terutama yang sukses menempatkan kadernya ke legislatif karena lolos parlementary treshold?

Ketua DPP PDI Perjuangan Andreas Hugo ternyata meresponsnya negatif. Dia setuju ada rekonsiliasi, tapi itu tak mesti harus dilakukan dengan cara bagi-bagi kekuasaan, yang menurutnya "murahan".

"Belum tentu juga efektif di dalam pemerintahan ke depan," kata Andreas di Kompleks DPR RI, Senayan, Jakarta Selatan, Kamis (20/6/2019) kemarin.

Politikus Nasdem, Usman Kansong, juga menyatakan tidak setuju usul Mahfud. Dia tidak ingin ada menteri dari partai-partai oposisi, kecuali menyatakan loyalitasnya kepada pemerintah.

"Saya kira kalau dari definisi koalisi, akan ada pembagian kekuasaan dan pembagian jabatan," katanya kepada reporter Tirto, Jumat (21/6/2019).

Pendapat berbeda dikemukakan politikus dari PPP, Lena Maryana. Dia mengaku setuju jika pemerintah membuka pintu untuk oposisi. Dia bilang, jika ingin membangun Indonesia, semua pihak memang mesti terlibat.

"Jadi kalau itu dari 02 tidak masalah, asal punya kompetensi dan bisa menjadi tim solid mendukung Presiden," katanya di Kompleks DPR RI, Senayan.

Meski berbeda pendapat, baik Lena atau dua politikus lain mengatakan semuanya tergantung pada kehendak Jokowi.

"Karena membentuk pemerintahan, menunjuk menteri-menteri, itu hak prerogratif presiden. Kalau mereka [oposisi] yang ditunjuk untuk memperkuat kerja-kerja eksekutif, ya kami setuju saja, " ucap Lena.

Butuh Oposisi

Kesamaan lain dari tiga politikus itu adalah mereka sama-sama berpendapat kalau bagaimanapun, oposisi itu dibutuhkan. Andreas Hugo, misalnya, mengatakan bahwa dalam demokrasi, penting ada dua kubu yang saling berseberangan: antara kubu berkuasa dan kubu oposisi. Ini agar terjadi check and balance.

"Tidak selalu semua [partai politik] harus ada di pemerintahan. Kalau begitu siapa jadi partai penyeimbang di luar?" kata Andreas Hugo.

Berdasarkan hasil hitung manual pileg, partai pengusung Jokowi menguasai parlemen. Hasil rekapitulasi yang diumumkan KPU pada 21 Mei lalu menyatakan total suara PDIP, Golkar, PKB, Nasdem, dan PPP--partai koalisi Jokowi yang memenuhi parliamentary threshold--mencapai 54,9 persen, sementara koalisi oposisi, terdiri dari Gerindra, Demokrat, PAN, dan PKS, hanya 35,39 persen.

Dari perolehan suara tersebut, jumlah kursi yang bakal dimiliki partai koalisi Jokowi mencapai 344 atau setara 59,83 persen. Sementara 231 atau 40,17 persen sisanya dikuasai Koalisi Adil Makmur.

Menurut Andreas Hugo, tak ada salahnya jadi oposisi dengan memberi contoh partainya sendiri, yang bersikap demikian sepanjang 10 tahun masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), 2004 sampai 2014.

"Kami merasakan betul jadi partai di luar pemerintahan itu penting, itu juga penting buat edukasi politik ke masyarakat," tegasnya.

Usman Kansong berkata serupa. "Kalau misalnya kami rekonsiliasi kemudian bagi-bagi kekuasaan, maka tidak ada mekanisme check and balance di DPR. Meskipun mau gabung ke koalisi boleh, tapi jangan semua juga," pungkasnya.

Baca juga artikel terkait PILPRES 2019 atau tulisan lainnya dari Riyan Setiawan

tirto.id - Politik
Reporter: Riyan Setiawan
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Rio Apinino