Menuju konten utama

Ramai-ramai Terpidana Korupsi Ajukan PK Setelah Artidjo Pensiun

Pemberatan hukuman yang dilakukan Artidjo adalah "teror" bagi koruptor. Situasi tersebut menjadikan MA sebagai lembaga yang ditakuti.

Ramai-ramai Terpidana Korupsi Ajukan PK Setelah Artidjo Pensiun
Gedung Mahkamah Agung di Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta. FOTO/Mahkamah Agung

tirto.id - Sejumlah terpidana kasus korupsi mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung terkait perkara yang menjerat mereka. Pengajuan PK ini mulai marak selepas Artidjo Alkostar pensiun sebagai Hakim Agung dan Ketua Kamar Pidana Mahkamah Agung.

Gelombang pertama pengajuan PK dimulai Anas Urbaningrum. Anas mengajukan PK beberapa hari menjelang Artidjo pensiun. Anas kemudian membantah jika PK yang ia ajukan lantaran Artidjo pensiun.

“Tidak ada kaitannya dengan masa tugas Pak Artidjo, tetapi memang ini terkait dengan putusan Pak Artidjo. Putusan yang buat saya tidak kredibel,” kata Anas di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jakarta, Kamis, 24 Mei 2018.

Selepas Anas, berbondong-bondong terpidana kasus korupsi mengajukan PK seperti Suryadharma Ali dan Siti Fadilah Supari. Terbaru, Andi Zulkarnain Mallarangeng alias Choel, Jero Wacik, dan Muhammad Sanusi, ikut mengajukan PK atas perkara yang menyeret mereka jadi terpidana korupsi.

Rentetan upaya PK ini disoroti peneliti korupsi dari Indonesia Corruption Watch (ICW), Lalola Easter Kaban sebagai hal yang terkait dengan pensiunnya mantan hakim agung Artidjo Alkostar. Lola, sapaan Lalola, menduga koruptor berani mengajukan PK karena MA dianggap akan kooperatif.

“Bisa jadi karena tidak ada lagi hakim yang dikhawatirkan akan 'menjaga' di MA, padahal kalau dicermati, sudah cukup lama para koruptor ini 'menuntaskan' upaya hukum mereka sampai tahap kasasi,” kata Lola, Kamis (12/7/2018) malam.

Selama ini, Lola meyakini, banyak koruptor takut diadili Artidjo, lantaran ia memang terkenal sebagai hakim yang “kejam” terhadap koruptor. Anas dan Jero pernah merasakan bagaimana putusan buat mereka jadi semakin berat seusai perkaranya diadili hakim agung berdarah Sumenep itu.

Anas misalnya. Ia diganjar hukuman 14 tahun penjara subsider satu tahun dan empat bulan kurungan, hukuman uang pengganti sebesar Rp 57,5 miliar, serta dicabut hak politik untuk dipilih. Hukuman ini lebih berat dari vonis 7 tahun di tingkat banding, yang meringankan vonis di tingkat I.

Menurut Lola, pemberatan hukuman yang dilakukan Artidjo adalah "teror" bagi koruptor. Situasi tersebut menjadikan MA sebagai lembaga yang ditakuti buat para pesakitan korupsi yang mencoba mendapat keringanan hukuman.

“Artidjo bisa dianggap manifestasi kegeraman publik terhadap para koruptor. Dia menjaga agar para koruptor tidak mendapat kemudahan dari pengadilan,” kata Lola.

Tren peningkatan jumlah PK ini, kata Lola, harus diwaspadai. Ia khawatir terpidana korupsi lain akan mengikuti langkah para terpidana ini karena optimistis gugatannya akan dikabulkan setelah Artidjo pensiun. “Tren pengajuan PK setelah Artidjo pensiun, menunjukkan koruptor lebih percaya dengan kondisi MA yang sekarang,” kata Lola.

MA Harus Transparan

Kekhawatiran ini pula yang sempat didengar Komisi Yudisial (KY). Juru Bicara KY Farid Wajdi meyakini MA akan tetap netral meskipun ditinggal Artidjo. Menurut Farid, MA adalah lembaga independen yang tak mudah diintervensi.

“Hakim yang akan menangani PK tersebut juga akan independen dan imparsial,” kata Farid kepada Tirto, Jumat.

Farid sangsi dengan dugaan yang menyebut ada peningkatan tren PK dan melemahnya MA. Menurut Farid, kedua hal tersebut tak berkaitan karena PK merupakan hal yang biasa dalam dunia hukum. Ia percaya, MA bisa membuktikan kredibilitasnya tidak akan mau diintervensi oleh siapa pun, termasuk para terpidana korupsi.

Dihubungi secara terpisah, Komisioner Komisi Yudisial Sukma Violetta mengaku pihaknya siap menyampaikan kekhawatiran publik kepada MA jika ada masalah. Namun, ia meminta publik tidak berasumsi MA akan lemah dan mendukung pengajuan PK para narapidana korupsi.

“Tapi kalau terkait dengan PK itu sendiri memang perlu diwaspadai,” kata Sukma.

Sukma menjelaskan, PK berbeda dengan banding atau kasasi karena merupakan upaya luar biasa sehingga syarat-syarat pengajuannya seperti novum serta syarat administratif harus terpenuhi. Oleh sebab itu, KY berharap pelaksanaan PK di MA bisa transparan dan hati-hati.

Infografik CI Kasus Yang Pernah Ditangani Artidjo Alkostar

MA Janji Tetap Netral

Terkait banyaknya PK yang diajukan terpidana korupsi, Juru Bicara MA Hakim Agung Suhadi mengatakan pihaknya berkomitmen tetap netral dalam memberikan putusan. Mereka tetap mengedepankan pemberantasan korupsi meskipun hakim seperti Artidjo tidak ada lagi di MA.

“MA tidak tergantung kepada seseorang. Satu orang pensiun, yang lain masih ada dan dia punya tanggung jawab untuk memberantas korupsi,” kata Suhadi kepada Tirto.

Suhadi menegaskan, Mahkamah Agung akan adil dan imparsial dalam memutus perkara seperti saat Artidjo belum pensiun. Hakim Agung MA akan menelaah dokumen secara hukum acara maupun materi perkara yang diajukan. Namun, terkait putusan, Suhadi tidak menutup kemungkinan koruptor bebas.

“Namanya perkara ada kemungkinan dikabulkan, ada kemungkinan ditolak. Namanya juga upaya hukum. Jadi tergantung kepada alasan-alasan hukumnya,” kata Suhadi.

Suhadi tak mempersoalkan bila ada pihak yang ragu dengan penanganan perkara di MA. Mereka dipersilakan untuk memonitor penanganan perkara di Mahkamah. “Silakan. Orang lain bisa memantau atau memberikan pendapat tentang pelaksanaan hukum terutama mengenai tipikor,” kata Suhadi.

Baca juga artikel terkait PK KASUS KORUPSI atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Current issue
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Mufti Sholih