tirto.id - Penerbitan obligasi korporasi diperkirakan akan marak pada semester kedua tahun ini. Sebagian penerbitan obligasi itu untuk refinancing atau pembiayaan kembali obligasi yang sudah jatuh tempo, sebagian lagi untuk memenuhi kebutuhan keuangan korporasi.
Dilihat dari tenor penerbitan, memang sebagian besar obligasi yang diterbitkan bertenor jangka pendek, 3 dan 5 tahun. Untuk obligasi bertenor 5 tahun, tahun 2017 ini sudah jatuh tempo. Pada tahun 2012 lalu, jumlah obligasi korporasi yang diterbitkan mencapai Rp68,6 triliun dengan outstanding ketika itu sebesar Rp187,5 triliun.
Presiden Direktur Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) Salyadi Saputra memperkirakan, pada tahun ini ada sekitar Rp87,2 triliun obligasi yang akan jatuh tempo. Sebagian dari obligasi yang jatuh tempo itu akan dibayar dengan penerbitan obligasi lain (refinancing).
“Hingga semester pertama sudah ada Rp57,3 obligasi korporasi yang diterbitkan. Mudah-mudahan hingga akhir tahun bertambah dan lebih banyak dari tahun lalu,” kata Salyadi di Jakarta beberapa saat lalu.
Tahun lalu, penerbitan obligasi tercatat sebanyak Rp 114 triliun. Hingga akhir tahun nanti, Pefindo menerima mandat penerbitan obligasi yang belum terealisasi sebesar Rp 37,7 triliun lagi.
Salah satu perusahaan yang menerbitkan obligasi untuk refinancing adalah PT Global Mediacom Tbk (BMTR). BMTR menerbitkan obligasi senilai Rp1,1 triliun yang akan digunakan untuk refinancing. Demikian pula dengan PT Indosat Tbk, emiten dengan kode saham ISAT ini menerbitkan obligasi berkelanjutan senilai Rp2,7 triliun dan sukuk ijarah berkelanjutan senilai Rp300 miliar. Obligasi ini digunakan untuk refinancing utang ISAT yang jatuh tempo.
Salyadi mencermati, memang emiten obligasi sebagian besar adalah perbankan dan perusahaan pembiayaan. Akan tetapi pada tahun ini porsi industri non finansial yang menerbitkan obligasi pun semakin besar. Menurut Salyadi, semakin banyak perusahaan non keuangan yang menerbitkan obligasi untuk membiayai proyek infrastruktur. Adapun dominasi perusahaan sektor keuangan yang menerbitkan obligasi juga memandakan bahwa peran pasar modal sebagai institusi intermediary belum terlalu signifikan sebagai alternatif pembiayaan untuk sektor riil.
Tahun ini bank juga banyak menerbitkan obligasi. Misalnya saja BNI yang juga menerbitkan obligasi sebesar Rp3 triliun. Obligasi berjangka waktu lima tahun ini digunakan untuk penyaluran kredit.
Tidak mau ketinggalan, Maybank Indonesia yang menerbitkan obligasi subordinasi berkelanjutan II tahap II senilai Rp800 miliar. Selain itu, Maybank juga menerbitkan sukuk senilai mudharabah berkelanjutan I tahap II senilai Rp700 miliar. Emisi obligasi itu digunakan untuk menambah likuiditas untuk penyaluran kredit.
Serupa, Bank Mandiri Taspen Pos (Bank Mantap) juga menerbitkan obligasi sebesar Rp2 triliun. Penerbitan obligasi oleh perbankan sebagian besar digunakan untuk mendanai penyaluran kredit. Direktur Utama Bank Mantap Josephus K Triprakoso mengatakan, ketika menerbitkan obligasi tersebut, Bank Mantap mengalami kelebihan permintaan.
Seiring dengan bertambahnya proyek infrastruktur yang didanai dengan penerbitan obligasi, penerbitan obligasi bertenor jangka panjang pun semakin banyak. Pada tahun lalu, obligasi bertenor 7 tahun hanya ada 7 persen sementara hingga pertengahan tahun ini meningkat menjadi 17%. Sementara obligasi dengan tenor lebih panjang, 10 tahun naik dari 8% menjadi 13%. Porsi obligasi bertenor 3 tahun masih mendominasi walaupun sudah menurun dari 34,5% pada tahun lalu menjadi 26,4% tahun ini. Obligasi bertenor 5 tahun turun dari 31% menjadi 24% tahun ini.
“Diharapkan lama kelamaan tenor obligasi semakin panjang, terutama untuk obligasi yang terkait dengan infrastruktur. Pembiayaan infrastruktur memang memerlukan obligasi yang berjangka lebih panjang. Jika didanai dengan obligasi minimal bertenor 10 tahun,” kata Salyadi lagi.
Obligasi Infrastruktur
Dia memberikan ilustrasi. Sebuah proyek jalan tol baru yang belum tersambung dengan ruas tol lain, setidaknya memerlukan waktu hingga 5 tahun untuk mencapai titik impasnya. “Jika dibiayai dengan obligasi bertenor 5 tahun tentu berat,” kata dia.
Salah satu BUMN yang menerbitkan obligasi untuk pembangunan infrastruktur adalah Hutama Karya yang menerbitkan Rp1,968 triliun obligasi untuk mendanai proyek tol di Sumatera.
Khusus untuk pendanaan infrastruktur, Otoritas Jasa Keuangan sedang mengkaji aturan-aturan pendukung pendanaan infrastruktur seperti obligasi berbasis proyek dan obligasi infrastruktur. “Untuk infrastruktur bond sudah kami buat aturannya, mudah-mudahan cepat selesai,” kata Wakil Ketua Dewan Komisioner OJK Nurhaida. OJK juga sedang membahas aturan perpetual bond yaitu obligasi yang tidak memiliki jatuh tempo. PT Pembangunan Perumahan (PTPP) sudah tertarik menerbitkan perpetual bond, tetapi masih menunggu aturan-aturan dari otoritas.
Walaupun perusahaan tertarik mencari pendanaan melalui emisi obligasi, tantangan terbesar adalah penyerapan. Beberapa penerbitan obligasi tidak mencapai target karena minat investor yang lebih rendah. “Daya serap investor terbilang rendah. Ini merupakan tantangan sekaligus peluang. Di tengah penurunan tingkat suku bunga deposito, kupon bunga obligasi korporasi relatif lebih atraktif bagi investor institusi,” kata Salyadi lagi.
Menurut dia, rendahnya investasi perusahaan asuransi terhadap obligasi korporasi disebabkan karena kewajiban mengalokasikan investasi sebesar 30% pada surat utang pemerintah. “Memang ada fenomena daya serap investor lokal yang terbatas. Beberapa klien kami mengurangi jumlah penerbitan, salah satunya karena hal itu,” kata dia.
Penurunan emisi obligasi korporasi dapat juga dipengaruhi oleh faktor rendahnya kupon yang ditawarkan kepada investor, sementara investor meminta kupon tinggi dan momentum penawaran obligasi yang berbarengan dengan emisi obigasi dari korporasi lainnya.
Penulis: Yan Chandra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti