tirto.id - Pasar modal global menghadapi tiga tantangan besar: inflasi, ancaman resesi, dan ketakpastian geopolitik. Investor negara maju dan emerging market rupanya berbeda cara dalam mengatasi tantangan tersebut.
Merujuk data Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF), inflasi global menyentuh angka 10,6% secara bulanan per Oktober 2022, menjadi laju tertinggi sejak krisis keuangan 1998.
IMF mencatat setidaknya ada 6 negara yang mengalami hiperinflasi (tingkat inflasi bulanan lebih dari 50%). Kurs mata uang mereka pun anjlok, harga komoditas makanan melambung, dan pengangguran merajalela karena banyak perusahaan yang gulung tikar.
Untuk mengatasi hal tersebut, bank sentral di seluruh dunia memutuskan untuk memasuki kebijakan moneter ketat guna mengerem laju inflasi dan memperkecil peluang resesi. Caranya, dengan berlomba menaikkan suku bunga acuan.
The Federal Reserve (The Fed) pada November lalu menaikkan suku bunga acuan (Fed Funds Rate/FFR) dengan laju tertajam sejak 1980-an, yakni di kisaran 3,75%-4%, dikutip The Guardian.
Kenaikan itu menjadi yang keenam secara beruntun. Gubernur Bank Sentral Amerika Serikat (AS) Jerome Powell mengatakan bahwa ada indikasi tingkat suku bunga acuan bisa menyentuh 4,4%, dan baru akan diturunkan tahun 2024.
Bank Indonesia (BI) juga mengambil langkah selaras dengan The Fed, dengan menaikkan suku bunga acuan (BI 7-Day Reverse Repo Rate) sebesar 175 basis poin (bp) dalam 4 bulan terakhir, menjadi 5,25% per November 2022.
Dalam rilis BI, disebutkan bahwa keputusan tersebut diambil sebagai langkah front loaded, pre-emptive, dan forward looking untuk menurunkan ekspektasi inflasi yang saat ini masih tinggi dan memastikan inflasi inti ke depan kembali ke dalam sasaran.
Perlu diketahui, laju inflasi Tanah Air pada November 2022 sebesar 5,42%. Ini merupakan laju inflasi tertinggi sejak Oktober 2015—yang saat itu berada di level 6,25%.
Saatnya Susun Ulang Portofolio
Beberapa ekonom bank investasi besar dunia menilai sudah saatnya investor mengaji ulang proporsi aset di portofolio mereka, gun menghindari bahaya yang menghadang di tahun 2023 yang penuh ketidakpastian.
Perusahaan aset manajemen global BlackRock dalam laporan “2023 Global Outlook” menilai dunia memasuki rezim baru di mana resesi kian dekat setelah bank sentral dunia serempak mendongkrak tingkat suku bunga secara agresif (guna menjinakkan inflasi).
“Para bank sentral tidak akan membantu ketika pertumbuhan melambat dalam rezim baru ini, bertentangan dengan apa yang diharapkan investor. Penilaian ekuitas belum mencerminkan kerugian di masa depan,” tulis laporan tersebut.
Oleh karena itu, investor direkomendasikan untuk lebih sering mengeset ulang penempatan portofolio mereka dan mengambil pandangan yang lebih terperinci atas sektor, wilayah, dan sub-aset.
BlackRock menyarankan investasi pada obligasi pemerintah AS jangka pendek, karena ada potensi jatuhnya harga obligasi pemerintah jangka panjang. Selain itu, saham di negara maju juga dinilai masih aman terutama di sektor energi dan kesehatan.
Sektor energi dipilih dengan mempertimbangkan transisi ke energi terbarukan, sementara sektor kesehatan dinilai menjanjikan dengan mempertimbangkan peningkatan populasi kaum lanjut usia di negara maju yang akan membuat kebutuhan layanan kesehatan naik.
Lalu, BlackRock menyarankan untuk melirik saham infrastruktur. Bank Dunia mencatat ada selisih US$15 triliun, atau setara Rp234.000 triliun (asumsi kurs Rp15.600 per dolar AS), atas investasi insfrastruktur dengan permintaan beberapa dekade ke depan.
Rekomendasi ini selaras dengan survei Standard Chartered (Stanchart) dalam “Wealth Expectancy Report 2022.” Survei dilakukan terhadap 15.000 investor meliputi orang kaya (affluent), orang kaya baru (emerging affluent), dan kaum kaya-raya (high net worth)
Dalam laporan tersebut disebutkan bahwa 84% investor global telah menetapkan target untuk menghadapi kondisi ekonomi tidak pasti, di mana dua pilihan teratas adalah meningkatkan kesehatan (46%) dan masa pensiun yang nyaman (39%).
Ini berarti, ada peluang besar di saham-saham industri kesehatan, sebagaimana proyeksi Blackrock.
Investor global juga semakin tertarik dengan obligasi menyusul peningkatan imbal hasil (yield) sebagai dampak inflasi. Satu dari lima responden (22% partisipan survei) berencana untuk berinvestasi di obligasi, terutama inflation-linked obligasi.
Untuk diketahui, obligasi inflasi adalah obligasi yang nilai pokok dan bunganya bergerak mengacu pada tingkat inflasi. Surat berharga jenis ini memang didesain untuk mengatasi dampak inflasi terhadap aset para investor.
Untuk mengatasi inflasi, 61% investor global ingin mengurangi porsi uang tunai mereka. Begitu juga halnya dengan 61% investor di Indonesia. Stanchart memperkirakan alokasi kas global akan turun dari 26% pada tahun 2022 menjadi 15% pada tahun 2023.
Lebih lanjut, separuh responden (52%) ingin meningkatkan proporsi investasi ESG (environment, social, and governance) karena dipercaya memiiki nilai tambah yakni keberlanjutan terhadap alam dan sosial, sekalipun di saat terjadi resesi.
Investor Indonesia Memang Beda
Untuk investor lokal, survei Stanchart menunjukkan bahwa ada perubahan pengaturan keuangan mereka, seperti mengurangi pengeluaran (28%) dan membuat keputusan baru seputar portofolio (28%), yang menyebabkan perubahan pada proporsi kelas aset utama.
Ada yang menarik dari pemilihan aset utama dalam investasi mereka. Jika diperhatikan, investor Indonesia menunjukkan minat yang sangat tinggi terhadap emas. Mayoritas (60%) mengatakan bahwa investasi emas menjadi pilihan sebagai akibat dari inflasi.
Ini menunjukkan bahwa pemilik dana di Ibu Pertiwi masih percaya bahwa emas adalah aset ampuh untuk menghindari resesi, dengan belajar dari krisis keuangan 1998. Selain itu, emas juga memberikan imbal hasil rata-rata tahunan sebesar 9,5%, menurut Forbes.
Akan tetapi, sebaiknya investor perlu mempelajari dengan seksama tipe-tipe invetasi dan biaya yang akan muncul. Berinvestasi pada emas fisik berarti diperlukan biaya tambahan untuk penyimpanan dan mengasuransikan koin atau emas batangan.
Untuk menghindari biaya itu, reksadana dengan aset dasar emas bisa menjadi opsi. Namun perlu diingat, harga emas juga fluktuatif dalam jangka pendek, sehingga investor harus memastikan bahwa horizon investasi mereka adalah jangka panjang.
“Kita tidak melihat emas secara langsung sebagai lindung nilai atas inflasi, terutama dalam jangka waktu yang pendek (1-3 tahun),” ujar Marc Van de Walle selaku Global Head Wealth Management di Standard Chartered dalam keterangan resminya.
Pilihan investasi lain yang dipilih investor lokal adalah saham berbasis nilai atau value stock (41%) dan obligasi (41%). Value stocks merupakan saham perusahaan yang harganya masih lebih murah dari nilai fundamentalnya (berbasis kinerja perusahaan).
Dari penjabaran tersebut, terlihat bahwa investor lokal memilih mengambil langkah konservatif dalam menghadapi risiko resesi seperti berinvestasi pada emas, value stock dan obligasi. Di lain pihak, investor global lebih memilih saham kesehatan, energi, dan infrastruktur, serta obligasi jangka pendek.
Menurut survei Stanchart, ada indikasi bahwa alokasi saham di Indonesia akan turun dari 9,5% menjadi 7% di tahun depan. Penelitian juga mengungkapkan bahwa 79% investor lokal masih percaya bahwa aset digital adalah bagian penting dari portofolio investasi.
Porsi investor Indonesia yang memiliki aset digital mencapai 80%, atau lebih besar dari persentase investor global yang cuma 66%. Ke depan, 79% investor lokal yang disurvei berencana meningkatkan investasi mereka di aset digital.
Alasannya lumayan aneh, yakni ikut-ikutan alias fear of missing out (FOMO). Banyak dari mereka mengincar aset digital karena melihat orang lain mendapat keuntungan signifikan dari aset digital (32%), dan 30% lain menganggapnya sebagai opsi diversifikasi aset.
Hal ini wajar terjadi, karena survei dilakukan sebelum bursa kripto ambrol. Setelah bursa kripto ambrol dan mengusik ego para investor FOMO tersebut, ceritanya semestinya berbeda.
Editor: Arif Gunawan Sulistiyono