tirto.id - Bank Indonesia (BI) menaikkan suku bunga acuan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) menjadi 6 persen pada 19 Oktober 2023 lalu. Kenaikan itu sebagai upaya bank sentral mengamankan posisi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.
Pengamat pasar modal dan Founder WH-Project William Hartanto mengatakan, minat terhadap investasi obligasi akan meningkat usai bunga acuan naik.
Namun, peningkatan yang terjadi dianggap tidak akan signifikan lantaran kenaikan suku bunga Bank Indonesia (BI) tidak terlalu besar.
“Minat terhadap investasi obligasi bisa meningkat karena bunganya naik. Tapi sepertinya tidak signifikan mengingat kenaikan suku bunga Bank Indonesia juga tidak besar,” kata William kepada Tirto, Senin (23/10/2023).
Terkait tips memilih investasi obligasi, William Hartanto menyarankan, penting untuk memperhatikan profil penerbit obligasi, lihat kemampuannya membayar kewajiban, salah satu caranya dengan melihat rating.
Kemudian, Direktur PT Laba Forexindo Berjangka Ibrahim Assuaibi menyebut, kenaikan suku bunga menjadi 6 persen akan berdampak pada bunga obligasi. Bahkan, kredit juga kemungkinan besar akan berubah dengan sendirinya.
“Lelang obligasi akan ramai karena bunganya tinggi,” kata Ibrahim kepada Tirto.
Ibrahim menilai, melihat kondisi geopolitik dan pelemahan rupiah, BI kemungkinan akan kembali menaikkan suku bunga sebesar 25 basis poin.
"BI di November kemungkinan menaikkan suku bunga kembali 25 basis poin," kata dia.
Dihubungi terpisah, Vice Director INDEF Eko Listiyanto menyebut, tren suku bunga yang naik umumnya akan diikuti dengan yield atau imbal hasil obligasi yang ikut naik.
“Terlebih lagi ketidakpastian situasi global juga belum reda, yang mendorong bunga naik dan yield naik,” kata Eko kepada Tirto.
Eko menjelaskan, bunga acuan The Fed masih berpotensi naik, geopolitik Israel-Palestina berisiko mendorong harga minyak, dan produksi pangan global yang menurun akibat el nino akan mendorong harga pangan. Akibat itu, situasi ketidakpastian global akan turut mendorong suku bunga terus naik.
Sebagai tips memiliki investasi obligasi di situasi saat ini, Eko menuturkan, obligasi pemerintah lebih minim akan risiko. Sementara, untuk obligasi korporasi, perlu melihat fundamental perusahaan.
“Kalau obligasi korporasi jangan hanya tergiur yield, tapi perlu melihat fundamental perusahaan tersebut karena situasi ekonomi global masih cenderung bergejolak sehingga kinerja fundamental perusahaan penting,” kata Eko.
Disclaimer:Artikel ini merupakan analisis investasi obligasi dari analis yang bersangkutan, bukan untuk mengajak membeli atau menjual obligasi tertentu. Tirto tidak bertanggung jawab atas keuntungan atau kerugian yang timbul. Apabila akan membeli/menjual obligasi, pelajari lebih teliti dan tiap keputusan ada di tangan investor.
Penulis: Faesal Mubarok
Editor: Anggun P Situmorang