Menuju konten utama

Ramadan Pilu Para Pengungsi Rohingya

Bulan Ramadan dilalui oleh pengungsi Rohingya di Bangladesh dengan segala keterbatasan dan tantangan berat.

Ramadan Pilu Para Pengungsi Rohingya
Pengungsi Rohingya menangis sambil menggendong putranya, di luar masjid sementara di kamp pengungsi Kutupalong, dekat Cox's Bazar, Bangladesh, Kamis (4/1/2018). ANTARA FOTO/REUTERS/Tyrone Siu

tirto.id - Menikmati bulan Ramadan bersama keluarga dengan suasana yang nyaman di kampung halaman adalah hal mustahil bagi etnis Rohingya yang mengungsi di Bangladesh. Konflik sektarian berkepanjangan yang melibatkan pemerintah dan militer Myanmar memaksa para minoritas Rohingya terusir dari kampung halamannya di negara bagian Rakhine.

Abdul Latif, 45, pengungsi Rohingya yang kini tinggal di Cox Bazar, Bangladesh menganggap Ramadan adalah bulan yang paling penting bagi umat muslim. Ia ingat ketika di kampung halamannya di Rakhine selalu menyediakan masakan yang layak untuk bersantap ketika berbuka dan sahur sekeluarga.

Tetapi kondisi di pengungsian saat ini memaksa Latif untuk mengubur kebiasaan lazim tersebut. “Tadi malam saya hanya punya sedikit sayur dan nasi untuk sahur saya,” kata Latif yang tinggal bersama dengan istri, tiga anak dan ibunya itu kepada Arab News.

Latif yang mulanya berprofesi sebagai petani sukses di Mongdu, Rakhine, Myanmar kini hanya bisa berharap uluran tangan orang lain untuk menopang kehidupan dirinya dan keluarganya.

Potret suram Latif menjadi pemandangan umum yang juga dialami oleh banyak para pengungsi di kamp-kamp. Dengan status hanya sebagai pengungsi, mereka dilarang bekerja di negara yang menampungnya saat ini.

M.D Hashim, 12, mengingat kenangan Ramadan di kampung halamannya. Seperti ditulis AFP, bocah ini menuturkan bahwa Ramadan menjadi saat yang paling mengasyikkan di desanya dahulu.

Hidangan ikan dan daging yang dimasak hanya sekali setahun menjadi santapan ketika keluarga dan teman Hashim berbuka puasa. Tidak lupa pakaian baru dikenakan, lengkap dengan menyemprotkan parfum khas tradisional bernama attar. Menjadi kombinasi penanda yang hanya ditemukan di saat bulan Ramadan.

Di pengungsian saat ini, Hashim dan yang lainnya tidak dapat lagi melakukan hal yang sama. “Kami tidak memiliki uang. Kami tidak memiliki tanah kami sendiri. Kami tidak dapat menghasilkan uang karena kami tidak diizinkan [bekerja]," tutur Hasim.

Pria Rohingya seperti Hashim, Latif maupun keluarganya mungkin masih lebih beruntung dibanding perempuan seperti Marium, 35, yang bersantap sahur hanya dengan menenggak air putih saja di hari pertama puasa Ramadan.

“Di sini kayu bakar mengalami kelangkaan. Kebanyakan, saya hanya memasak sekali dalam sehari dan menyiapkan cukup nasi untuk dua kali sehari.” kata Marium.

Marium tidak dapat lagi mengandalkan suaminya lantaran sudah ditembak oleh pasukan Myanmar pada September 2017 lalu. Ia bersama dua putra dan seorang putri melarikan diri ke Bangladesh.

“Pada Idul Fitri yang lalu, suamiku membeli pakaian baru untuk seluruh keluarga. Kami bahkan memberikan baju baru kepada kerabat,” kenang Marium.

Terik Menyengat hingga Hujan Badai

Bangladesh menjadi salah satu negara yang banyak menampung para pengungsi Rohingya. Di Kota Cox’s Bazar ada lebih dari 700.000 pengungsi Rohingya yang tinggal di kamp-kamp penampungan.

PBB menyebut tentara militer Myanmar telah melakukan pembersihan etnis minoritas Rohingya. Ada ribuan Muslim Rohingya yang diyakini telah dibantai sejak Agustus 2017 lalu. Hingga akhir 2017, diperkirakan lebih dari 10.000 orang Rohingya terbunuh.

Tantangan berpuasa Ramadan para pengungsi Rohingya makin bertambah manakala Bangladesh tengah diterpa musim panas dan lembab. Pepohonan dan vegetasi hijau lainnya sudah gundul. Pada gilirannya, bukan hanya menciptakan terik panas di musim kemarau, tetapi juga mengundang bencana tanah longsor ketika hujan lebat tiba.

Tenda-tenda para pengungsi banyak yang berbahan bambu dan beratapkan terpal, membuat hawa panas makin terasa menyengat hingga mempengaruhi ketahanan berpuasa.

Meskipun berpuasa Ramadan dalam situasi dan kondisi sulit di pengungsian, diyakini para pengungsi Rohingya tidak akan menyerah terhadap keadaan.

"Ini akan sulit ketika matahari sangat panas, tetapi kami akan tetap berpuasa," kata Imam Muhammad Yusuf kepada AFP.

Pejabat senior untuk urusan pengungsi PBB, Caroline Gluck mengatakan kepada The Independent bahwa Ramadan kali ini menjadi yang sangat sulit bagi pengungsi Rohingya. Mereka harus hidup di pemukiman yang begitu padat dan tidak jarang terkendala masalah air bersih. Untuk kebutuhan sehari-hari, para pengungsi bergantung pada kerja UNHCR, berbagai LSM, dan orang Bangladesh sendiri yang bersedekah di bulan Ramadan termasuk mengajak makan bersama.

UNHCR mencatat sejumlah besar pengungsi Rohingya kehilangan anggota keluarga tercinta. Lebih dari 16 persen keluarga yang tinggal di kamp-kamp dikepalai oleh para ibu. Mereka berusaha menyediakan segala kebutuhan untuk keluarga.

Sementara itu, ada sekitar 7.771 anak yang sudah kehilangan orang tua mereka dan berjuang hidup di kamp-kamp pengungsi di Bangladesh.

Peran UNHCR di Bangladesh sendiri sejauh ini selain menggalang dana untuk para pengungsi, mereka juga aktif menyediakan makanan dan air bersih, dukungan medis dan psikologis bagi pengungsi Rohingya yang membutuhkan.

infografik Ramadan rohingya

Kabar terbaru yang dirilis The Guardian, Rabu (13/6), hujan lebat menandai musim penghujan yang mulai turun di Cox Bazar dan mengakibatkan longsor menghantam kamp-kamp membuat tiga pengungsi Rohingya meninggal dunia.

Ketiga korban tersebut masing-masing adalah seorang bocah berusia tiga tahun yang meninggal saat permukimannya di Kutupalong runtuh saat tertidur. Ibunya selamat dengan menderita luka-luka. Dua pengungsi yang meninggal lainnya adalah Mohammad Ali, 20, di kamp Balukhali terkena terjangan pohon tumbang. Seorang wanita lainnya meninggal setelah gubuknya tertimbun longsor saat hujan deras.

Wilayah Bangladesh selama akhir pekan lalu memang diguyur hujan lebat dengan curah hujan lebih dari sepertiga dari biasanya. Noor Hossain, seorang reporter Rohingya setempat, mengatakan setidaknya 500 pengungsi terluka setelah gubuk mereka roboh diterjang hujan lebat.

Mohamad Abdul Kalam, komisioner bantuan dan rehabilitasi pengungsi di Bangladesh mengatakan bahwa 30.000 dari 55.000 pengungsi yang rentan telah direlokasi.

Pihak UNHCR sebenarnya dalam beberapa minggu terakhir juga telah melakukan persiapan menghadapi musim penghujan. Mereka menstabilkan lereng, memperkuat jalur, membangun jembatan dan menyediakan tempat perlindungan yang lebih kuat serta tahan air.

Di Cox Bazar, sebagian besar rumah sementara di kamp-kamp itu kondisinya sangat rapuh, terbuat hanya dari bambu dan terpal. Banyak tenda itu didirikan berada di lereng curam dan rentan terhadap tanah longsor.

Baca juga artikel terkait KRISIS ROHINGYA atau tulisan lainnya dari Tony Firman

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Tony Firman
Editor: Maulida Sri Handayani