tirto.id - Pemerintah Malaysia mengambil langkah serius guna memerangi persebaran hoaks dengan mengenalkan Rancangan Undang-Undang (RUU) "anti-berita palsu". Situs berita teknologi dan gawai The Verge mewartakan RUU tersebut akan melarang "berita, informasi, data, dan semua laporan yang seluruh atau sebagiannya salah, baik dalam bentuk visual, audio, maupun bentuk lain yang menyampaikan kata dan ide".
Menurut keterangan pemerintah, RUU anti-berita palsu dibuat untuk melindungi keselarasan publik dan keamanan nasional di tengah maraknya fenomena hoaks yang kian tak bisa dibendung. RUU anti-berita palsu diharapkan pemerintah lolos persetujuan parlemen sebelum pemilihan Agustus mendatang.
RUU ini berlaku untuk seluruh warga Malaysia, baik yang berada di dalam maupun luar negeri. Siapapun yang melanggar aturan ini akan menghadapi hukuman 10 tahun penjara atau denda sebesar lebih dari $100 ribu.
Tak hanya untuk menghantam berita palsu, RUU tersebut sedianya juga diterapkan untuk mengatur pemberitaan mengenai skandal 1MDB yang melibatkan Perdana Menteri Najib Razak. Salah satu pejabat pemerintahan mengatakan setiap informasi tentang 1MDB yang tidak lolos “verifikasi otoritas Malaysia” bakal dianggap keliru.
Wacana pembentukan undang-undang anti-berita palsu sudah bergulir sejak Januari silam tatkala pemerintah Malaysia membuat komite khusus untuk menggodok isi regulasi. Memasuki Maret, upaya yang kian intensif dijalankan pemerintah. Menurut Datuk Azalina Othman Said, pejabat di kantor Perdana Menteri pada awal Maret kemarin, draf terakhir RUU anti-berita palsu “akan siap dalam dua minggu.”
Ia menambahkan undang-undang anti-berita palsu punya perbedaan dengan undang-undang komunikasi dan multimedia dalam hal pengaturan pelanggaran penggunaan media sosial. Sedangkan Menteri Komunikasi dan Multimedia, Salleh Said Keruak, menegaskan undang-undang saat ini dianggap tidak memadai untuk menangani problem hoaks yang sudah jadi "masalah global".
“Berita palsu tidak lagi soal pembunuhan karakter, tetapi, juga soal ancaman keamanan negara. Kami lalu merasa perlu untuk membuat undang-undang baru dan mengadopsi model yang digunakan negara lain dalam menangani masalah berita palsu,” jelas Keruak sebagaimana dikutip harian Singapura The Straits Times.
Hoaks memang jadi masalah serius di Malaysia. Pada 2016, menurut Kementerian Komunikasi dan Multimedia, terdapat sekitar 1.203 pengaduan mengenai konten sampai berita palsu.
Pemerintah, dalam mengatasi masalah tersebut, langsung menutup akses ke lebih dari 1.800 situs karena dianggap punya konten “menyesatkan” yang “dapat menyebabkan kebingungan dan ketidakharmonisan". Pemerintah Malaysia juga membentuk unit komunikasi keamanan nasional yang bertugas untuk menghentikan laju hoaks.
Upaya menghalau hoaks tak hanya dilakukan pemerintah. Partai-partai politik di Malaysia turut melakukan hal serupa. Barisan Nasional, misalnya, meluncurkan portal berita daring bertajuk theRakyat.com untuk memerangi berita palsu di media sosial.
Lalu, Partai Gerakan membentuk tim publisitas untuk menangani berita palsu. Menurut pernyataan wakil ketua partai, Lau Hoe Chai, pihaknya telah “menyiapkan ruang perang serta akan melawan berita palsu melalui media sosial dengan pesan singkat atau video.”
Kemudian, Parti Islam SeMalaysia (PAS) berencana bakal memperkuat media milik sendiri yang cetak dua minggu sekali, Harakah, untuk menghalau hoaks. Tak ketinggalan, Partai Aksi Nasional mengaku sudah bertemu perwakilan Facebook dan Google guna meminta mereka meningkatkan usaha melawan hoaks.
Alat Represi Baru?
Koalisi kelompok hak asasi manusia (yang terdiri dari 14 kelompok) meminta pemerintah Malaysia membatalkan rancangan regulasi anti-berita palsu. Mereka berpendapat, ketika RUU tersebut sudah disahkan, maka, yang ada undang-undang itu bisa digunakan untuk membungkam kritik masyarakat terhadap pemerintahan.
“Hoaks mungkin jadi kata yang semakin populer. Tetapi, hal itu tidak bisa dijadikan alasan pemerintah menyensor kritik,” ungkap koalisi pada Jum’at (23/3) kemarin dilansir harian Malaysia The Star. “Kami mendesak pemerintah membatalkan RUU yang diusulkan.”
Ungkapan senada keluar dari Direktur Amnesty International Asia Tenggara dan Pasifik, James Gomez. Ia menjelaskan bahwa RUU tersebut adalah “serangan terhadap kebebasan berekspresi.” Di lain sisi, tambah Gomez, definisi berita palsu juga tidak jelas. Ditambah hukuman berat serta kewenangan polisi untuk melakukan penangkapan, maka "RUU ini tidak lain hanyalah upaya pemerintah melindungi diri dari kritikan".
“Malaysia punya rekam jejak yang panjang dan kompleks mengenai pembungkaman kebebasan berpendapat. Bukan suatu kebetulan jika undang-undang ini diajukan sebelum pemilihan umum. Kami sudah melihat gelagat pemerintah dalam menutup ruang debat publik menjelang pemilihan,” ujarnya.
Kekhawatiran kelompok hak asasi manusia mengenai RUU anti-berita palsu cukup beralasan, mengingat RUU ini bisa digunakan pemerintah untuk menghalau pemberitaan negatif (baca: kritik) mengenai skandal 1MDB yang kerap dilontarkan oposisi.
1MDB merupakan lembaga penghimpun dana pembiayaan proyek infrastruktur di Malaysia yang didirikan Najib tak lama setelah dilantik sebagai perdana menteri pada 2009. Skandal 1MDB mencuat kala lembaga tersebut, menurut laporan The Wall Street Journal, punya utang sebesar $11,73 miliar.
Yang lebih memprihatinkan, di balik utang sebesar itu, ada aliran dana sekitar $700 juta ke rekening pribadi Najib yang antara Maret sampai April 2013. Laporan Guardian menyebut dari $700 juta yang masuk rekening Najib, $30 juta dipakai untuk membelikan istrinya perhiasan.
Najib selalu membantah telah menggunakan dana negara untuk kepentingan pribadi dan melakukan kesalahan sehingga muncul utang miliaran dolar bagi 1MDB. Karena tak ada bukti yang kuat, pengadilan Malaysia lantas menutup kasus ini.
Pernyataan Najib dan keputusan pengadilan memicu oposisi melancarkan kritikannya terhadap pemerintah. Mereka menjadikan skandal 1MDB sebagai senjata untuk menyerang Najib. Apalagi selain 1MDB, Najib juga disebut-sebut terlibat dalam kasus penyuapan pada 2002 terkait pembelian dua kapal selam milik Angkatan Laut Malaysia yang perkaranya ditangani pengadilan Perancis.
Namun tak jarang, kritik oposisi harus terhenti oleh represi pemerintah. Pada 2015, misalnya, sebanyak 29 pemrotes (termasuk dua anggota parlemen dari pihak oposisi) ditangkap dalam demonstrasi anti-Najib diadili di Kuala Lumpur.
Setahun berselang, kepolisian Malaysia menggerebek kantor kelompok pro-demokrasi Bersih. Aksi ini terjadi sehari jelang demonstrasi menuntut pengunduran diri Najib. Pemimpin LSM Bersih, Maria Chin Abdullah, dicokok aparat. Selain itu, mantan politikus Khairuddin Abu Hassan juga ditahan. Polisi beralasan, Hassan harus ditahan agar tidak bertemu FBI terkait tuduhan korupsi Najib.
Tak cuma menangkapi orang-orang yang vokal, pemerintahan Najib turut mengawasi aktivitas media sosial. Salah satu korbannya adalah kartunis Fahmi Reza yang diciduk gara-gara mengunggah gambar Najib berwajah badut dengan tulisan “Di negara yang penuh korupsi, kita semua adalah penghasut.” Gambar Fahmi ramai dibagikan pengguna media sosial di Malaysia.
Pada 2015 Amnesty International mencatat sekitar 91 warga Malaysia ditangkap aparat karena dianggap menentang pemerintah.
Tak Hanya Malaysia
Upaya membentuk undang-undang anti-hoaks rupanya tak hanya dilakukan Malaysia. Singapura, misalnya, berencana membuat undang-undang untuk menghalau penyebaran hoaks di media sosial. Undang-undang ini, menurut Menteri Hukum dan Dalam Negeri, K. Shanmugam, rencananya bakal berlaku pada 2018.
“Dalam beberapa hal, [undang-undang] harus mampu menyesuaikan platform teknologi untuk mendelegitimasi berita palsu. Selain itu, undang-undang juga mengatur bagaimana penyebar berita palsu diproses secara hukum,” ungkapnya pada Juni 2017 dilansir Channel News Asia.
Berdasarkan hasil jejak pendapat yang dilakukan kementeriannya pada Mei 2017, sekitar lebih dari 90% warga Singapura mendukung regulasi yang lebih kuat untuk melawan berita palsu. Dalam survei yang sama, ditemukan juga bahwa tiga perempat responden menemukan berita palsu di Facebook dan WhatsApp.
Dari Singapura, upaya pemerintah melegalkan aturan mengenai hoaks juga terjadi di Perancis. Pada awal Maret lalu, Presiden Perancis Emmanuel Macron, mengusulkan dibuatnya aturan untuk menindak berita palsu. Ia menambahkan bahwa dalam aturan itu nantinya diatur mengenai prosedur hukum bagi mereka yang menyebar hoaks.
“Ketika berita palsu tersebar, itu akan jadi mungkin untuk dibawa ke pengadilan. Dan jika terbukti punya konten berita palsu, maka, akun pengguna bakal dihapus dan situs turut diblokir,” jelasnya sebagaimana dilansir oleh Politico.
Pada kampanye presiden beberapa waktu lalu, Macron tercatat pernah melarang dua media Rusia Sputnik dan Russia Today hadir di acaranya. Alasannya: kedua media Rusia tersebut dianggap menyebarkan informasi palsu.
Sementara di Jerman, parlemen mengesahkan undang-undang yang ditujukan untuk menindak aksi ujaran kebencian (hatespeech) hingga hoaks di media sosial pada 2017 silam. Dalam aturan tersebut tertulis, setiap perusahaan media sosial yang gagal menghapus konten ilegal—hoaks dan lain sebagainya—bakal didenda €50 juta.
“Kebebasan berbicara berakhir saat hukum pidana bertindak,” tegas Menteri Kehakiman Jerman, Heiko Maas yang mendorong disahkannya undang-undang itu. Ia menambahkan, undang-undang tersebut dibuat untuk merespons angka ujaran kebencian di Jerman yang meningkat lebih dari 300% dalam dua tahun terakhir.
Di Indonesia sendiri, belum ada regulasi yang khusus mengatur persebaran hoaks. Selama ini, pemerintah menangkal persebaran hoaks melalui UU ITE yang disahkan pada 2008. Namun dalam perjalanannya, implementasi UU ITE kerap menyasar kebebasan berpendapat yang dituduh sebagai “pencemaran nama baik” hingga “menistakan agama.”
Pada akhirnya, wacana pembentukan undang-undang anti-hoaks menimbulkan potensi membatasi kebebasan berpendapat. Dalam “Disinformation and democracy in Indonesia” yang dimuat di New Mandala, peneliti media asal Australian National UniversityRoss Tapsell menyebutkan, alih-alih “meningkatkan kekuatan pasukan siber,” pemerintah (dan masyarakat Indonesia) harus “memperkuat sumber-sumber informasi yang independen dan tepercaya.”
Beberapa langkah yang bisa ditempuh untuk meredam hoaks antara lain memperbaiki kredibilitas media arus utama (meningkatkan objektivitas, menuntut komitmen media agar tak partisan) hingga mencari solusi atas hambatan maupun lambannya akses internet yang cepat atau lambat akan menyuplai berita-berita palsu bagi masyarakat yang “selama ini telah mengandalkan Facebook dan WhatsApp untuk asupan informasi politik.”