Menuju konten utama

PSI Tuding Laporan ACTA ke Ombudsman Salah Alamat dan Politis

PSI meminta Ombudsman RI tidak memproses laporan ACTA yang mengadukan pertemuan pengurus partai itu dengan Presiden Joko Widodo di Istana Negara.

PSI Tuding Laporan ACTA ke Ombudsman Salah Alamat dan Politis
(Ilustrasi) Partai Solidaritas Indonesia (PSI) saat mengajukan uji materi terhadap revisi Undang-Undang Nomor 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3), di Gedung MK, Jumat (23/2/2018). tirto.id/Lalu Rahadian.

tirto.id - Partai Solidaritas Indonesia (PSI) menilai laporan Advokat Cinta Tanah Air (ACTA) ke Ombudsman Republik Indonesia (ORI), yang mengadukan pertemuan Presiden Joko Widodo dengan pengurus partai itu di Istana Negara, salah alamat.

Juru Bicara Bidang Hukum PSI Rian Ernest meminta Ombudsman tak perlu menanggapi laporan ACTA. Dia menilai Ombudsman tak memiliki wewenang menanggapi laporan kelompok advokat itu.

"Berdasarkan Pasal 7 UU Nomor 37 Tahun 2008, Ombudsman bertugas menerima laporan dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Istana bukan tempat melayani publik," kata Rian dalam keterangan resminya yang diterima Tirto, pada Senin (5/3/2018).

Laporan ACTA ke ombudsman menuding ada indikasi maladministrasi dalam pertemuan Jokowi dengan pengurus PSI, pada 1 Maret 2018. Menurut ACTA indikasi itu muncul karena ada pembahasan soal pemenangan pemilu 2019 saat Jokowi bertemu pengurus PSI. Dasar hukum pelaporan ACTA adalah Pasal 1 ayat 3 UU ORI.

Namun, menurut Rian, langkah ACTA melayangkan laporan ke ombudsman bersifat politis. Dia menilai langkah ACTA mewakili kepentingan politik Partai Gerindra.

"Secara politik, ACTA adalah "sayap" hukumnya Gerindra. Siapa saja atau institusi apa saja yang betentangan dengan kepentingan politik Gerindra pasti akan dilaporkan meski sering tidak memiliki argumen hukum yang solid. Jadi lembaga ini partisan tidak mencerminkan kepentingan publik," ujar Rian.

PSI juga mengkritik argumen ACTA yang menganggap pertemuan Jokowi dengan partai itu berbeda dengan tatap muka presiden bersama Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto. Menurut Rian, ACTA sudah menggunakan standar ganda dan bias terhadap Prabowo.

"Apakah berbincang santai soal pentingnya milenial dalam demokrasi, penggunaan sosial media sebagai sarana membangun demokrasi, tidak termasuk dalam pembahasan memajukan bangsa dan negara di tengah derasnya arus hoaks?" kata Rian.

ACTA melaporkan pertemuan Presiden Jokowi dan sejumlah pengurus teras PSI ke ORI pada hari ini. Ketua Dewan Pembina ACTA Habiburokhman menilai Jokowi melakukan maladministrasi sebagaimana pasal 1 UU 37 tahun 2008, yakni penyalahgunaan wewenang oleh penyelenggara negara yang merugikan masyarakat luas.

Ketua Bidang Advokasi DPP Gerindra itu menilai pertemuan tersebut berbeda dengan pertemuan antara Jokowi dan Prabowo. Menurut dia, Prabowo dan Jokowi bertemu untuk membahas persoalan bangsa.

"Kami berharap laporan kami ditindaklanjuti. Pihak-pihak terkait dipanggil. Diperiksa apakah benar ada maladministrasi. Lalu diputuskan siapa yang bertanggungjawab atas hal itu," kata Habiburokhman.

Sementara anggata Ombudsman Republik Indonesia (ORI) Alvin Lie menyatakan pihaknya akan memverifikasi laporan ACTA dengan merujuk UU nomor 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik dan undang-undang lain yang relevan.

"Apakah presiden itu melakukan pelayanan publik atau tidak. Kalau presiden tidak melakukan pelayanan publik itu tidak masuk wilayah ombudsman," kata Alvin.

Alvin menyatakan lembaganya akan melihat pula status Istana Negara dalam perundang-undangan. Menurut dia, jika Istana Negara menjadi bagian fasilitas pelayanan publik, laporan ACTA bisa ditindaklanjuti.

"Fungsi ombudsman adalah untuk melakukan pelayanan publik. Baik itu jasa maupun administratif. Kemudian apakah ada maladministrasi atau tidak. Kami tidak akan membahas di luar itu," kata Alvin.

Baca juga artikel terkait PILPRES 2019 atau tulisan lainnya dari Lalu Rahadian

tirto.id - Politik
Reporter: Lalu Rahadian
Penulis: Lalu Rahadian
Editor: Addi M Idhom