tirto.id - Metode baru yang diusung program Merdeka Belajar Kemendikbud dinilai memungkinkan terciptanya kebebasan berinovasi.
"Merdeka Belajar" memberikan kebebasan bagi para guru, siswa, maupun sekolah untuk berinovasi sesuai dengan konteks lokal, termasuk memastikan semua anak belajar dan dapat mengakses pembelajaran dalam bahasa yang mereka pahami, dalam hal ini Bahasa Ibu, demikian sebagaimana disampaikan pihak Kemendikbud melalui rilis persnya.
Hal tersebut sejalan dengan pernyataan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek), Nadiem Anwar Makarim yang menyebut bahwa inovasi dalam pembelajaran tidak mesti langsung berhasil. Inovasi pembelajaran dapat dimulai dengan mencari gagasan dan metode yang sesuai dengan lingkungan dan situasi yang berlaku.
Hal ini diungkapkan Nadiem dalam agenda Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) bekerja sama dengan INOVASI, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi NTT, Kantor Bahasa Provinsi NTT, dan Kedutaan Besar Australia, menyelenggarakan acara Temu Inovasi NTT#2 bertajuk “Aktualisasi Merdeka Belajar: Pemanfaatan Bahasa Ibu dalam Pembelajaran bagi Siswa Penutur Bahasa Tunggal”.
Bahasa Ibu dalam Pembelajaran Siswa
Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Badan Bahasa), E. Aminudin Aziz memaparkan, survei yang dilakukan oleh INOVASI di Kabupaten Nagekeo menemukan bahwa hampir 50 persen siswa menggunakan Bahasa Ibu dalam kehidupan sehari-hari dan di sekolah.
Sementara hanya 6 persen guru yang menggunakan Bahasa Ibu sebagai bahasa pengantar dalam pembelajaran. Ketimpangan ini menunjukkan bahwa guru dan satuan pendidikan masih belum melihat pentingnya pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan siswa, termasuk kebutuhan akan bahasa yang mereka mengerti.
“Padahal saat anak-anak terasing dari Bahasa Ibunya sendiri, ini bisa menghambat perkembangan pembelajaran anak dan berdampak pada rendahnya kemampuan literasi mereka. Dengan kebijakan Merdeka Belajar, satuan pendidikan terkecil diharapkan dapat berinovasi untuk menjawab tantangan pembelajaran yang dihadapi tanpa harus khawatir karena regulasi tidak melarang hal tersebut,” ungkapnya pada Selasa (8/3).
Kepala Badan Bahasa mengatakan bahwa uji coba revitalisasi bahasa daerah berbasis sekolah dan komunitas tutur sudah dilakukan sejak tahun 2021 pada tiga provinsi, yaitu Jawa Barat untuk Bahasa Sunda, Jawa Tengah untuk Bahasa Jawa, dan Sulawesi Selatan untuk Bahasa Jawa, Bugis, dan Toraja. “Upaya ini mendapatkan respons yang sangat baik bukan hanya dari pegiat pelestarian bahasa daerah, tetapi juga dari pemerintah daerah, Kepala Dinas Pendidikan, sekolah, dan orang tua,” ujarnya.
Revitalisasi bahasa lanjut dia, dilakukan dengan prinsip:
1) dinamis: berorientasi pada pengembangan, bukan sekadar memproteksi bahasa;
2) adaptif dengan situasi lingkungan sekolah dan masyarakat tuturnya;
3) proses regenerasi dengan berfokus pada penutur muda di tingkat sekolah dasar dan menengah; serta
4) merdeka berkreasi dalam penggunaan bahasanya. “Sasarannya adalah komunitas tutur, guru, kepala sekolah, pengawas, dan siswa,” imbuhnya.
Upaya Revitalisasi Bahasa Daerah di Tahun 2022
Kepala Badan Bahasa menambahkan, upaya revitalisasi bahasa daerah di tahun 2022 berlanjut dengan menyasar 38 bahasa daerah yang tersebar di 12 provinsi. Menurut Kepala Badan Bahasa, revitalisasi akan dilakukan dengan tiga model yang disesuaikan dengan kondisi di lapangan.
“Kesatu, Model A dengan karakteristik daya hidup bahasanya masih aman, jumlah penutur masih banyak, masih digunakan sebagai bahasa yang dominan dalam masyarakat tutur. Contoh Bahasa Jawa, Sunda, dan Bali. Kedua, Model B dengan karakteristik daya hidup bahasa yang tergolong rentan, jumlah penutur relatif banyak, digunakan secara bersaing dengan bahasa-bahasa daerah lain. Contoh bahasa-bahasa di Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, dan Nusa Tenggara Barat. Ketiga, Model C dengan karakteristik daya hidup bahasa terkategori mengalami kemunduran, terancam punah atau kritis, jumlah penutur relatif sedikit, dan dengan sebaran yang terbatas. Contoh bahasa-bahasa di Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Nusa Tenggara Timur, Maluku, Maluku Utara, dan Papua,” terangnya.
Di akhir pemaparan, Kepala Badan Bahasa berharap para penutur muda dapat menjadi penutur aktif bahasa daerah dan pada gilirannya memiliki kemauan untuk mempelajari bahasa daerah dengan penuh sukacita melalui media yang mereka sukai. “Sehingga kelangsungan hidup bahasa dan sastra daerah dapat terjaga, terciptanya ruang kreativitas dan kemerdekaan bagi para penutur bahasa daerah untuk mempertahankan bahasanya, ditemukannya fungsi dan ranah baru dari sebuah bahasa dan sastra daerah,” kata dia.
“Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa akan terus mendorong berbagai kerja sama dalam upaya implementasi Merdeka Belajar khususnya bagi siswa-siswi kelas awal yang masih menggunakan Bahasa Ibu dalam komunikasi sehari-hari,” pungkasnya.
Hari Bahasa Ibu Internasional 2022
International Mother Language Day atau Hari Bahasa Ibu Internasional diperingati setiap tanggal 21 Februari.
Tujuan perayaan Hari Bahasa Ibu International diselenggarakan untuk mempromosikan kesadaran akan keanekaragaman bahasa dan budaya serta untuk mempromosikan multibahasa, demikian sebagaimana dikutip laman resmi UNESCO.
Tema Hari Bahasa Ibu Internasional 2022 adalah “Using technology for multilingual learning: Challenges and opportunities” atau “Menggunakan teknologi untuk pembelajaran multibahasa: Tantangan dan peluang."
Sebagaimana dikutip laman PBB, Hari Bahasa Ibu Internasional mengakui bahwa bahasa dan multibahasa dapat memajukan pembangunan dunia dengan tidak meninggalkan siapa pun.
Arti tema Hari Bahasa Ibu Internasional 2022, “Menggunakan teknologi untuk pembelajaran multibahasa: Tantangan dan peluang,” mengangkat potensi peran teknologi untuk memajukan pendidikan multibahasa dan mendukung pengembangan pengajaran dan pembelajaran yang berkualitas untuk semua.
Editor: Addi M Idhom