tirto.id - Presiden Joko Widodo resmi menganugerahkan gelar pahlawan nasional kepada enam tokoh pada Selasa, 10 November 2020. Penganugerahan gelar pahlawan nasional dalam rangka memperingati Hari Pahlawan 2020 ini diresmikan dalam upacara di Istana Negara.
Pemberian gelar pahlawan nasional untuk 6 tokoh ini dilandasi Keputusan Presiden Nomor 117/TK Tahun 2020 yang ditandatangani oleh Presiden pada 6 November lalu.
"Menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada mereka sebagai penghargaan dan penghormatan yang tinggi atas jasa-jasanya yang luar biasa, yang semasa hidupnya pernah memimpin dan melakukan perjuangan bersenjata, atau perjuangan politik atau dalam bidang lain untuk mencapai, merebut, mempertahankan, dan mengisi kemerdekaan serta mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa," demikian petikan Keppres Nomor 117/TK Tahun 2020.
Upacara penganugerahan gelar ini dihadiri oleh ahli waris keenam pahlawan tersebut. Presiden pun memberikan ucapan selamat kepada para ahli waris yang hadir dengan tetap menerapkan protokol kesehatan ketat, demikian dikutip dari laman Setkab.
Enam tokoh yang menerima gelar pahlawan itu adalah Sultan Baabullah; Raja Machmud Singgirei Rumagesan; Jenderal Polisi (Purn) Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo; Arnold Mononutu; Sutan Muhammad Amin Nasution; serta Raden Mattaher Bin Pangeran Kusen Bin Adi.
Adapun profil dan cerita singkat perjuangan 6 tokoh penerima gelar Pahlawan Nasional pada 10 November 2020 itu adalah sebagai berikut;
1. Profil Sultan Baabullah
Sultan Baabullah merupakan tokoh legendaris Maluku. Ia lahir di Ternate pada 10 Februari 1528. Sang pangeran Ternate yang kemudian berjuluk penguasa 72 negeri itu wafat pada 25 Mei 1583. Setelah wafat, Sultan Baabullah dimakamkan di Foramadiahi, Ternate, Provinsi Maluku Utara.
Sultan Baabullah merupakan salah satu penguasa kerajaan di nusantara yang paling gigih dalam melawan penjajah Portugis. Ia berhasil mengusir penjajah Portugis, salah satunya dengan mengirim ekspedisi ke berbagai daerah seperti Ambon dan Buton.
Di bawah kepemimpinannya, Ternate bisa terbebas dari penjajahan Portugis dan menjadi pusat perdagangan rempah-rempah yang berperan penting dalam jaringan perdagangan internasional.
Setelah kematian Sultan Khairun dalam sebuah jebakan dari pasukan Portugis, Pangeran Baab menggantikan posisi sang ayah dengan gelar Sultan Baabullah Datu Syah, pada Februari 1570. Begitu menaiki singgasana, sang Sultan baru itu segera bersumpah akan membalaskan dendam dan mengusir bangsa penjajah.
Sultan Baabullah berjanji tidak akan berhenti berperang sebelum penjajah Portugis terakhir pergi dari wilayah kesultanannya (Djokosurjo, Agama dan Perubahan Sosial, 2001:126).
Strategi tempur segera dirancang. Tak cuma berniat menghancurkan lawan di area sekitar Ternate saja, ia juga bertekad menghabisi orang-orang Portugis yang ada di seluruh Kepulauan Maluku. Ambon, Seram, Bacan, Banggai, Buton, Luwik, Sula, Halmahera, hingga Celebes dikondisikan untuk menyiapkan serangan besar-besaran ke pasukan Portugis.
Dia meminta bantuan Makassar, Jawa, hingga Melayu (Sumatera), untuk bersama-sama melenyapkan kaum kolonialis dari bumi Maluku. Sultan Baabullah mengobarkan Perang Soya-Soya (perang pembebasan negeri) dengan menyiapkan 2000 armada perahu tempur beserta lebih dari 120.000 prajurit.
Sejak 1571, banyak pos pasukan Portugis dilumat oleh pasukan Sultan Baabullah. Benteng Portugis pun satu per satu dikuasanya. Mulai dari Fort Tolocce, Santo Lucia Fortress, Santo Pedro, hingga tinggal Sao Paulo yang tersisa.
Baabullah tidak langsung menyerang Sao Paolo, benteng yang didiami de Mesquita sekaligus lokasi pembunuhan ayahnya itu. Ia menerapkan strategi pengepungan benteng itu dengan menutup semua akses, baik jalan maupun distribusi bahan makanan.
Pengepungan itu mungkin dilakukan karena Benteng yang dibangun pada 1525 ini memang berlokasi tidak jauh dari pusat kesultanan dan termasuk ke dalam wilayah ibukota Ternate (Bambang Budi Utomo, Warisan Bahari Indonesia, 2016:157). Pengepungan Benteng Sao Paulo berlangsung selama 5 tahun. Selama itu pula, orang-orang Portugis di dalam Benteng Sao Paolo menderita dengan segala keterbatasan karena benar-benar terisolasi.
Sultan Baabullah akhirnya memberi kesempatan kepada para penghuni benteng Sao Paolo untuk pergi dari wilayah Ternate dalam waktu 24 jam. Sementara bagi mereka yang sudah beristrikan perempuan lokal boleh tetap tinggal tapi harus mengabdi kepada Kesultanan.
Setelah 15 Juli 1575, Ternate telah bersih dari orang-orang Portugis. Pamor Portugis di Ternate dan sebagian besar Kepulauan Maluku runtuh pula. Kekuasaan Sultan Baabullah lalu mencapai puncaknya (Vlekke, Bernard H.M., Nusantara: Sejarah Indonesia, 2008:114).
Luas wilayah kekuasaan Kesultanan Ternate di era pemerintahan Sultan Baabullah juga semakin bertambah. Dengan mengusung misi Islamisasi, Sultan Baabullah menaklukkan kerajaan-kerajaan kecil lain di sekitar Kepulauan Maluku.
Seorang peneliti Belanda bernama Valentijn mencatat ada 72 wilayah (kerajaan) yang berada di bawah pengaruh Kesultanan Ternate. Dari situlah Sultan Baabullah dijuluki "Penguasa 72 Negeri" (Anthony Reid, Southeast Asia in the Early Modern Era, 1993:38).
Pada 1580-1983, menjelang akhir hidupnya, Sultan Baabullah pun masih sempat menggerakkan perlawanan memerangi penjajah Spanyol di Filipina. Hingga tutup usia, Sultan Baabullah dikenal sebagai raja terbesar di Kesultanan Ternate.
2. Profil Raja Machmud Singgirei Rumagesan
Machmud Singgirei Rumagesan adalah seorang raja di wilayah Sekar (kini Kabupaten Fakfak, Papua Barat), yang memiliki gelar Raja Al-Alam Ugar Sekar. Lahir di Sekar-Kokas, 27 Desember 1885, Machmud Singgirei Rumagesan menjadi tokoh pertama asal Papua Barat yang menerima gelar pahlawan nasional.
Selama hidupnya, tokoh yang wafat pada 5 Juli 1964 tersebut, berkontribusi besar bagi bangsa Indonesia dalam melawan penjajahan Belanda.
Mengutip laporan Antara, perjuangan Machmud menentang penjajahan Belanda bermula dari ketidakpuasannya pada perlakuan sewenang-wenang terhadap para buruh di tanah kelahirannya. Perusahaan Belanda Maatschapijj Colijn mempekerjakan buruh dengan sewenang-wenang di Papua Barat.
Pada 1934, ia melarang perusahaan Belanda yang membuka tambang minyak tanah di wilayahnya dan mempekerjakan penduduk bumiputera bertindak semena-mena pada buruhnya.
Sejak itu, muncul konflik antara Machmud dengan penjajah Belanda. Pada 1934, sebanyak 73 pengikut sang raja ditangkap. Machmud pun diasingkan ke Saparua dengan dijatuhi hukuman 15 tahun penjara. Adapun para pengikutnya dibui selama 10 tahun.
Semasa hidupnya, ia pernah ditahan di Saparua, Sorong-Doom, Manokwari, Hollandia (sekarang Jayapura), hingga Makasar. Tidak putus asa, Machmud tetap gigih menyebarluaskan semangat nasionalismenya kepada para tahanan di berbagai penjara tempat ia ditahan. Pengikutnya pun terus bertambah, termasuk dari kalangan sipir bumiputera.
Setelah Republik Indonesia merdeka pada 1945, pada 1 Maret 1946, ia menentang Belanda yang kembali ke Tanah Air. Machmud menurunkan bendera Belanda yang dikibarkan di tanah air sebagai bentuk pemberontakan ke Belanda. Ia sempat pula mengumpulkan puluhan pucuk senjata api, sebelum ditahan kembali oleh Belanda.
Pada 1953, Machmud mendirikan Tjendrawasih Revolutionary Movement of West Irian (GTRIB), sebuah organisasi pembebasan Papua Barat dari penjajahan Belanda. Machmud lantas diangkat sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA) RI mewakili Papua (dulu Irian Jaya) pada 1954.
3. Profil Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo
Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo lahir di Bogor, 7 Juni 1908. Dia meninggal dunia pada 24 Agustus 1993 dan lantas ditetapkan sebagai Bapak Kepolisian RI oleh Presiden Abdurrahman Wahid, pada 14 Februari 2001.
Said Soekanto Tjokrodiatmodjo memimpin kepolisian sejak awal berdirinya RI hingga menjelang masuk ke sistem pemerintahan demokrasi terpimpin. Ia merupakan peletak dasar kepolisian nasional di republik.
Dia lulusan HBS KW III, yang gedungnya kini menjadi kompleks Perpustakaan Nasional di Salemba, Jakarta Pusat. Setelah lulus dari HBS, Soekanto sempat kuliah di Recht Hooge School (sekolah tinggi hukum) Jakarta.
Soekanto kemudian memilih untuk mengikuti jejak ayahnya, yang saat itu merupakan pensiunan mantri polisi di Tangerang. Pada 1930, ia mendaftar di Sekolah Aspiran Komisaris Polisi di Sukabumi. Sebelum masuk sekolah polisi itu, dia sempat aktif di Kepanduan Bangsa Indonesia (KBI).
Hoegeng Imam Santoso dalam buku autobiografinya, Hoegeng, Polisi Idaman dan Kenyataan (1993: 137), menyebut Soekanto di zaman Jepang pernah menjadi instruktur di Sekolah Kader Tinggi Polisi di Sukabumi. Hoegeng saat itu menjadi salah satu murid Soekanto. Ketika Hoegeng menjadi mayor di Polisi Militer Angkatan Laut, Soekanto adalah orang yang menyadarkan Hoegeng agar menjadi polisi sipil kembali.
Ketika Indonesia baru saja merdeka, Soekanto berhubungan dengan dua kolega lawasnya, Mr. Sartono dan Iwa Kusumasumantri. Kedua penasihat Presiden Sukarno ini mengajak Soekanto ke sidang kabinet pada 29 September 1945.
Menurut G. Ambar Wulan dalam Polisi dan Politik: Intelijen Kepolisian Pada Masa Revolusi Tahun 1945-1949 (2009), Sartono dan Iwa sebelumnya tidak memberi tahu bahwa Sukarno sedang membutuhkan orang untuk dijadikan kepala jawatan kepolisian. Dalam sidang kabinet, Presiden Sukarno akhirnya menunjuk Soekanto untuk mengisi jabatan tersebut.
Ketika ditunjuk Sukarno, Soekanto sempat menyampaikan bahwa ada perwira polisi yang lebih senior darinya seperti Asikin Natanegara di Gunseikanbu, Ating Natakusumah di Palembang, dan Raden Joesoef bin Snouck Hurgronje di Bandung. Sukarno pun memberi ketegasan soal pengangkatan Soekanto sebagai Kepala Kepolisian Negara (KKN). Pengangkatan itu terkait masa lalu Soekanto di era pergerakan nasional.
Presiden Sukarno memerintahkan Soekanto untuk membentuk Kepolisian Negara RI. Memimpin Kepolisian RI tidak lama usai Indonesia merdeka membuat dia pernah merasakan pahitnya perang revolusi.
Dalam suatu kunjungan ke Jawa Timur, seperti diakuinya dalam buku Bunga Rampai Perjuangan dan Pengorbanan II (1983: 325-326), tempat yang akan dikunjungi Soekanto dan rombongannya kena bom militer Belanda. Soekanto dan rombongan terhindar dari maut karena mobil yang mereka tumpangi sempat mogok, sebelum sampai ke tempat tersebut.
Soekanto menjabat Kepala Kepolisian Negara RI, sejak 29 September 1945 hingga 15 Desember 1959. Ketika akan lengser, nama jabatan Soekanto adalah Menteri Panglima Angkatan Kepolisian (Menpangak). Pada era itu, polisi mulai menjadi bagian dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI).
4. Profil Arnold Mononutu
Arnoldus Isaac Zacharias Mononutu merupakan tokoh pergerakan nasional kelahiran Manado, 4 Desember 1896. Dia wafat di Jakarta pada 5 September 1983.
Tokoh asal Sulawesi Utara ini pernah terlibat dalam organisasi Perhimpunan Indonesia. Dia pernah menjabat Wakil Ketua Perhimpunan Indonesia Cabang Paris, pada 1925-1927.
Arnoldus lantas bergabung dengan PNI yang didirikan oleh Bung Karno pada 1927. Selama kurun 1928-1930, ia pun menjadi Direktur Perguruan Rakyat di Batavia, sebuah sekolah yang dibentuk para aktivis PNI.
Dia sempat memimpin redaksi surat kabar Suara Merdeka di Ternate pada masa awal Indonesia merdeka. Pada tahun 1949-1950, Arnoldus ditunjuk menjadi Menteri Penerangan di Kabinet RIS, dan setelahnya bergabung jadi anggota delegasi RI di PBB. Arnoldus merupakan duta besar RI yang pertama untuk RRT, yakni pada periode 1953-1955.
Arnoldus adalah orang yang meresmikan nama ibu kota Jakarta. Awalnya, Jakarta belum bernama resmi Jakarta. Dari beberapa nama, sebutan yang cukup terkenal bagi Jakarta adalah Batavia.
Sebenarnya pada zaman penjajahan Jepang sebutan Jakarta sudah cukup populer. Namun, baru saat Arnoldus menjadi menteri penerangan, ia menegaskan bahwa sejak 30 Desember 1949, tak ada lagi sebutan Batavia. Mulai saat itu, nama ibu kota Republik Indonesia adalah Jakarta.
5. Profil MR. Sutan Muhammad Amin Nasution
MR. Sutan Muhammad Amin Nasution merupakan tokoh kelahiran Lhoknga, Aceh, 22 Februari 1904. Dia wafat pada 16 April 1993 dan dimakamkan di TPU Tanah Kusir, Jaksel.
Sutan Muhammad Amin Nasution dinilai telah memperjuangkan semangat "etnonasionalisme" menjadi "nasionalisme" di kalangan pemuda dengan memprakarsai fusi berbagai organisasi anak muda kedaerahan pada era kolonial (Jong Sumatra Bond, Jong Java, Jong Ambon, Jong Batak, Jong Minahasa dan sebagainya).
Bersama Muhammad Yamin dan sejumlah tokoh pemuda lainnya, Amin Nasution berperan penting dalam penandatanganan naskah Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928.
Dia dikenal sebagai advokat muda yang cemerlang saat diangkat menjadi Advocaat Procureur di Kutaraja, Aceh, sekitar tahun 1934-1942. Amin kemudian menjadi hakim di pengadilan negeri pada 1942. Pada periode yang sama, ia memimpin sekolah menengah (Syu Gakko) yang didirikan pemerintah penjajahan Jepang di Kutaraja.
Setahun setelah Indonesia merdeka, pemerintah republik menunjuk Amin Nasution jadi Gubernur Muda Sumatera Utara yang pertama, dengan wilayah meliputi Karesidenan Tapanuli, Sumatera Timur, dan Aceh.
Dia membantu republik menghadapi krisis dan pertempuran melawan Agresi Militer I Belanda, dan pemberontakan dari sejumlah kelompok seperti Pemberontakan Logam, Gerakan Laskar Marsuase, dan Gerakan Sayyid Ali Al-Assegaf.
Jasa terpenting selama 13 tahun kepemimpinannya adalah menyelamatkan Provinsi Sumatera Utara sehingga tidak bubar akibat agresi militer I Belanda dan pendudukan Pematang Siantar dan Medan, demikian dilansir Indonesia.go.id.
Pada 1953 hingga tahun 1956, ia dipercaya lagi menjadi Gubernur Sumatera. Pengangkatannya terjadi satu bulan setelah gerakan Negara Islam Aceh yang dipimpin oleh Teungku Daud Beureuh dicetuskan mengikuti jejak NII Kartosuwirjo. Saat itulah, perhatian Amin Nasution tersita untuk mendukung republik meredam pemberontakan Daud Beureuh.
Bersamaan dengan tugasnya sebagai Gubernur, Amin Nasution juga ditunjuk sebagai Ketua DPRD Sumatera Utara. Berdasarkan Surat Keputusan Presiden tertanggal 27 Februari 1958, Amin lantas ditunjuk menjadi Gubernur Riau pertama yang berkedudukan di Tanjung Pinang.
6. Profil Raden Mattaher Bin Pangeran Kusen Bin Adi
Raden Mattaher Bin Pangeran Kusen Bin Adi merupakan tokoh perjuangan nasional asal Jambi. Mattaher lahir pada tahun 1871 di Sorolangun, Jambi dan meninggal tahun 1907.
Semasa hidupnya ia dikenal sebagai panglima perlawanan terhadap Belanda yang cerdas. Mattaher tercatat pernah memimpin 9 pertempuran melawan Belanda. Seluruhnya berhasil ia menangkan.
Mengutip keterangan di laman Indonesia.go.id, pada masa mudanya, Mattaher belajar berbagai ilmu dan keterampilan kepada guru di seberang Pauh. Ilmu agama ia dalami dari seorang guru berdarah Arab.
Mattaher juga dikenal piawai memainkan alat musik biola, dan menjadi anggota grup orkes melayu di Jambi. Di dunia olahraga, ia diingat sebagai pemain sepak andalan.
Sementara ilmu perang, ia dapatkan dari para panglima perang Sultan Toha Syaifuddin, pemimpin perlawanan rakyat Jambi terhadap penjajah Belanda.
Pada tahun 1891, Raden Mattaher menggantikan ayahnya, panglima wilayah satu, Raden Kusin yang meninggal dunia ketika beribadah Haji. Tahun itu, ia sudah dikenal sebagai pemimpin yang cerdas, pemberani, saleh, religius, dan berbakat seni.
Selama menjadi panglima, Mattaher berhasil memimpin banyak pertempuran melawan Belanda yang seluruhnya dimenangkannya. Belanda menjulukinya “Singa Kumpeh.”
Salah satu kemenangan terjadi pada tahun 1900, saat anak buah Mattaher menyerang konvoi 8 jukung Belanda di Sungai Batanghari, dekat Tanjung Panyaringan. Serangan tersebut menewaskan semua pasukan Belanda. Pasukan Mattaher pun merampas semua logistik dan senjata Belanda.
Setahun kemudian, pasukan Mattaher kembali menyerang konvoi Belanda di Sungai Bengkal dan Poan, Jambi. Raden Mattaher dan pasukannya berhasil menewaskan banyak tentara Belanda, merampas sejumlah senjata karabin, dan memporakporandakan bivak Belanda di Pijoan.
Ia pun pernah memimpin serbuan ke kilang minyak Belanda di Bayung Lincir, kapal uap Musi yang mengangkut pasukan Belanda dan logistik militer di sungai Tembesi, dan konvoi 30 jukung Belanda di Sungai Alai, Muaro Bungo. Semuanya mengakibatkan kerugian besar di kubu Belanda.
Masih banyak lagi pertempuran lain yang berakhir dengan kemenangan pasukan Mattaher. Selama hidupnya, Raden Mattaher seolah-olah menjadi mimpi buruk bagi tentara Belanda di Jambi.
Editor: Agung DH