tirto.id - Sosok dokter Diani Kartini tengah disorot seiring mencuatnya kasus dugaan larangan hijab di Rumah Sakit (RS) Medistra, Jakarta. Ia diduga mengirimkan surat protes kepada direksi RS Medistra soal larangan berhijab kepada calon karyawan di rumah sakit tersebut.
Surat tersebut viral di media sosial dan menuai banyak kecaman dari warganet. Surat protes larangan hijab yang ditunjukkan kepada RS Medistra itu juga direspons oleh anggota DPRD Jakarta dan DPR RI.
Ketua sementara DPRD DKI Jakarta, Achmad Yani, mengecam dugaan larangan hijab di RS Medistra yang dibeberkan oleh Diani Kartini. Achmad menyebut bahwa tidak ada satupun pihak yang boleh membatasi orang menjalankan keyakinannya.
Hal serupa juga disampaikan oleh anggota Komisi IX DPR dari Fraksi PKS, Alifudin. Menurutnya dugaan larangan hijab di RS Medistra melanggar kebebasan beragama dan bisa dikategorikan sebagai bentuk diskriminasi.
Lebih lanjut, Alifudin berjanji untuk mengawal kasus tersebut diusut hingga tuntas. Ia juga mendesak Kementerian Kesehatan (Kemenkes) ikut serta menangani dugaan larangan hijab tersebut.
"Jika terbukti ada kebijakan diskriminatif, pihak yang bertanggung jawab harus dihukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku,” kata Alif, dalam rilis di situs resmi Fraksi PKS, Senin (2/9/2024).
Profil dr. Diani Kartini
Diani Kartini adalah dokter spesialis bedah onkologi yang berpraktik di RS Medistra, Jalan Gatot Subroto Nomor 59, Jakarta Selatan. Ia menempuh pendidikan dokter pertamanya di Surakarta (Solo), tepatnya di Universitas Sebelas Maret (UNS), pada 2000.
Setelah lulus dari UNS, pada 2006 Diani Kartini melanjutkan pendidikan spesialis. Ia mengambil pendidikan konsultan spesialis bedah, di Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta.
Diani kembali menempuh pendidikan subspesialis dan doktor di Universitas Indonesia (UI). Ia berhasil meraih gelar doktor pada 2019.
Sepanjang kariernya sebagai dokter, Diani pernah berpraktik di dua rumah sakit besar Ibu Kota. Selain menjadi dokter spesialis di RS Medistra, Diani bekerja di Divisi Bedah Onkologi, RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta.
Diani merupakan anggota Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Sebagai dokter yang mendalami ilmu onkologi, Diani juga bergabung dalam organisasi Perhimpunan Ahli Bedah Onkologi Indonesia (POI).
Nama Diani juga tercatat sebagai Dewan Editorial Perhimpunan Dokter Spesialis Onkologi Radiasi Indonesia (PORI).
Selain menjadi dokter bedah, Diani merupakan pengajar di UI dan UGM. Melansir situs Fakultas Kedokteran UI, Diani Kartini saat ini menjabat sebagai Lektor di Program Studi Ilmu Bedah FKUI. Ia juga menjabat Ketua Departemen Klinik Ilmu Bedah FKUI.
Diani dikenal cukup aktif di media sosial. Diani Kartini sering membagikan kesehariannya melalui Instagram @Diani_kartini. Melalui Instagram, ia mengaku sebagai seorang pecinta kucing.
Seiring dengan viralnya Diani di media sosial, banyak orang memberikan dukungan kepadanya lewat media sosial. Unggahan terakhirnya diramaikan warganet yang mendukung tindakannya meninggalkan RS Medistra atas adanya dugaan larangan hijab.
Dugaan Larangan Hijab di RS Medistra
Dugaan larangan hijab di RS Medistra muncul seiring dengan beredarnya surat protes yang dikirim oleh Diani Kartini. Surat tersebut dibuat pada 29 Agustus 2024, yang ditunjukkan kepada manajemen dan jajaran direksi RS Medistra, Jakarta.
Melalui surat itu, Diani mengatakan bahwa dugaan larangan hijab RS Medistra ia ketahui dari dua kerabatnya. Diani mengatakan bahwa kedua kerabatnya ingin melamar sebagai dokter umum di RS Medistra.
Sayangnya, saat wawancara, kedua Diani ditanyai apakah mereka bersedia untuk melepaskan hijabnya saat bekerja di RS Medistra.
"Ada pertanyaa terakhir di sesi wawancara. Menanyakan terkait perfomance dari RS Medistra merupakan RS Internasional, sehingga timbul pertanyaan apakah bersedia membuka hijab jika diterima?" tulis Diani dalam surat tersebut.
Ia menilai bahwa pertanyaan di wawancara itu termasuk rasis. Ia juga membandingkan bahwa di rumah sakit besar lainnya, larangan hijab tidak pernah ada.
Diani juga menyayangkan ketidaktegasan pihak rumah sakit terhadap target pasien dan pegawainnya.
"Jika RS Medistra memang RS untuk golongan tertentu, sebaiknya jelas dituliskan saja kalau RS untuk golongan tertentu, sehingga jelas siapa yang bekerja dan datang sebagai pasien," tulisnya.
Ia juga menyoroti adanya standar ganda yang dilakukan manajemen RS Medistra kepada pegawainya. Pasalnya, calon pegawai baru diminta untuk melepas hijab, sedangkan dokter spesialis dan subspesialis di RS Medistra diperbolehkan memakai hijab.
"Apakah ada standar ganda cara berpakaian untuk perawat, dokter umum, dokter spesialis, dan subspesialis di RS Medistra?" lanjut dia.
Menutup surat itu, Diani membubuhkan tanda tangan dan nama terangnya. Surat tersebut kemudian beredar luas di media sosial.
Hal ini menyebabkan banyak orang mengecam RS Medistra, khususnya melalui media sosial. Warganet menilai RS Medistra telah bertindak rasis dan diskriminatif kepada para pegawainya.
Kondisi ini menyebabkan media sosial RS Medistra dipenuhi kritikan dan sindiran. Menyusul ramainya kasus tersebut, Direktur RS Medistra, Agung Budisatria merilis surat permohonan maaf kepada publik.
Melalui surat tersebut, pihak RS Medistra membenarkan adanya isu diskriminasi yang dialami oleh salah seorang calon kandidat tenaga kesehatannya. Agung menyatakan bahwa RS Medistra saat ini sedang menangani laporan tersebut.
Agung juga menegaskan bahwa RS Medistra inklusif dan terbuka bagi setiap kalangan. Ia berjanji untuk memperketat proses kontrol terhadap komunikasi dan rekrutmen di rumah sakitnya.
"Ke depan, kami akan terus melakukan proses kontrol ketat terhadap proses rekrutmen ataupun komunikasi, sehingga pesan yang kami sampaikan dapat dipahami dengan baik oleh semua pihak," tulis Agung, dalam surat permohonan maaf RS Medistra.
Editor: Iswara N Raditya