tirto.id - Tajikistan baru-baru ini mengesahkan undang-undang larangan hijab dan pakaian asing bagi budaya nasional negara tersebut, khususnya yang berhubungan dengan Islam.
Undang-undang larangan hijab dan pakaian asing ini telah disahkan sejak 8 Mei 2024 oleh Majelis Rendah Parlemen (Majlisi Namoyandagon) dan disetujui oleh Majelis Tinggi (Majlisi Milli) pada 19 Juni 2024.
Inti dari undang-undang tersebut adalah pelarangan impor, penjualan, promosi, pemakaian pakaian yang dianggap asing bagi budaya nasional Tajikistan.
Undang-undang tersebut melarang hijab, penutup kepala yang dikenakan oleh wanita muslim, pakaian lain yang berhubungan dengan Islam, hingga larangan perayaan menjelang Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha.
Bagi yang melanggar undang-undang ini maka akan dikenakan denda mulai dari 7.920 somoni atau sekira Rp12 juta hingga 39.500 somoni atau sekira Rp60 juta menggunakan kurs saat ini.
Undang-undangan pelarangan hijab dan pakaian yang berhubungan dengan Islam tersebut menimbulkan perdebatan publik Tajikistan. Sebab, 90 persen populasi di Tajikistan merupakan muslim.
Kenapa Tajikistan Larang Pemakaian Jilbab?
Sebelum disahkannya undang-undang larangan hijab dan “pakaian asing” ini, pemerintah telah membuat undang-undang yang melarang pakaian islami dan rok mini gaya barat pada 2007.
Larangan ini turut berimbas pada larangan hijab bagi pelajar dan meluas ke semua institusi publik.
Mantan juru bicara Misi Pengamat PBB di Tajikistan melaporkan, bahwa meningkatnya pembatasan agama di negara tersebut dalam satu dekade terakhir terjadi karena meningkatnya religiusitas di kalangan masyarakat umum di Tajikistan setelah pecahnya Uni Soviet.
Banyak bermunculan masjid-masjid baru, kelompok belajar agama Islam, dan lebih banyak masyarakat yang mengenakan pakaian bergaya Islami.
Pada saat yang sama, kelompok bersenjata Islam juga aktif di wilayah perbatasan Tajikistan dan Afghanistan, seiring konflik Afganistan-Amerika Serikat pasca kasus 911.
Namun, sejumlah analis berpendapat, bahwa ancaman dari Islam radikal terlalu dibesar-besarkan di banyak negara Asia Tengah, termasuk Tajikistan.
Selain itu, praktik hidup Islami sebetulnya sudah diterapkan masyarakat di Tajikistan sejak lama saat negara tersebut masih tergabung dalam pemerintahan Soviet dan telah menjadi budaya dan tradisi lokal.
Profil Emomali Rahmon
Emomali Rahmon memiliki nama lengkap Emomali Sharipovich Rahmonov. Merupakan politikus Tajikistan yang lahir pada 5 Oktober 1952 di distrik Dangara, Tajikistan.
Rahmon saat ini menjabat sebagai Presiden Tajikistan ke-3 sejak 16 November 1994. Dia telah memenangkan lima kali pemilihan umum (pemilu), yakni pemilu 1994, 1999, 2006, 2013, dan 2020.
Namun, pemilu yang dilaksanakan dianggap tidak demokratis. Apalagi sejak 25 Desember 2015 Rohman mendapatkan jabatan Presiden seumur hidup setelah diadakannya referendum konstitusi nasional Tajikistan tahun 1999 dan 2003. Kemudian, menyusul penghapusan pembatasan jumlah pemilihan kembali jabatan Presiden Tajikistan hasil referendum konstitusi nasional 2016.
Sebelum menjabat sebagai Presiden, Rahmon pernah menjabat sebagai sekretaris pengarahan dan ketua Komite Persatuan Pertanian Kolektif Lenin di Dangara pada 1976-1987. Kemudian, menjadi ketua pertanian kolektif Lenin di Dangara pada 1987-1992.
Karier politik Rahmon terus menanjak ketika 1990 dia terpilih sebagai wakil rakyat di Supreme Soviet (Badan Legislatif Uni Soviet) Tajikistan.
Rahmon kemudian menjabat sebagai ketua Komite Eksekutif Dewan Deputi Rakyat provinsi Kulyab pada tahun 1992, dan terpilih sebagai ketua Dewan Tertinggi Republik Tajikistan pada 19 November tahun itu pada sidang ke-16 badan tersebut.
Puncaknya pada 6 November 1994, Rahmon terpilih sebagai presiden Tajikistan melalui pemungutan suara nasional di tengah terjadi perang saudara Tajikistan tahun 1992-1997.
Kepemimpinan Rahmon dianggap sebagai diktator karena dinilai mematikan demokrasi di Republik Tajikistan.
Pada 2013, Amnesti Internasional membuat laporan mengenai pelanggaran HAM yang dilakukan Rahmon.
Rahmon dianggap mematikan demokrasi di Tajikistan setelah memperpanjang kekuasaannya selama dua dekade tanpa pesaing. Ketiadaan pesaing tersebut terjadi karena adanya tindakan penyiksaan dan perlakuan buruk terhadap pihak-pihak yang mengganggu kekuasaan Rahmon.
Menurut laporan Amnesti Internasional, terdapat lebih dari 96 pengaduan tentang penyiksaan dan perlakuan buruk yang dilakukan aparat penegak hukum di Tajikistan yang terjadi antara tahun 2010 dan 2012.
Asal-Usul Pelarangan Jilbab di Tajikistan
Xenophobia pemerintah Tajikistan terhadap hijab dan pakaian yang berhubungan dengan Islam memang telah terjadi lebih dari satu dekade terakhir.
Pada 2007 pemerintah Tajikistan sudah melakukan pelarangan pakaian Islami bagi pelajar.
Larangan tersebut kemudian meluas hingga mencakup semua lembaga publik, dengan beberapa organisasi mewajibkan karyawan dan pengunjungnya untuk melepas jilbab.
Bahkan, pemerintah Tajikistan membentuk tim khusus untuk menegakkan larangan informal tersebut.
Pihak kepolisian setempat tercatat melakukan penggerebekan di pasar untuk menangkap orang-orang yang melanggar aturan informal tersebut.
Tidak hanya itu, kepolisian setempat juga dilaporkan merazia ribuan laki-laki berjanggut lebat dan mencukurnya secara paksa selama satu dekade terakhir akibat larangan laki-laki berjanggut lebat.
Dalam upaya menghentikan penggunaan hijab dan pakaian Islami lainnya, pemerintah Tajikistan juga telah mempromosikan pakaian tradisional Tajik dalam beberapa tahun terakhir.
Pada 2017, jutaan penduduk mendapatkan pesan teks yang mendesak agar perempuan Tajikistan menggunakan pakaian nasional Tajik.
Kampanye pemerintah Tajikistan ini terus berlanjut pada 2018 dengan merilis buku panduan setebal 376 halaman berjudul "Buku Panduan Rekomendasi Pakaian di Tajikistan” yang merinci sejumlah mode pakaian yang digunakan di berbagai kegiatan atau acara.
Hingga kemudian, larangan informal ini mencapai puncaknya pada tahun 2024 ini dengan disahkannya undang-undang larangan hijab dan pakaian asing bagi budaya nasional negara tersebut, khususnya yang berhubungan dengan Islam.
Sikap Xenophobia yang ditunjukkan pemerintah Tajikistan ini tidak terlepas dari pengaruh Presiden mereka saat ini, Emomali Rahmon.
Presiden yang sudah menjabat selama 5 periode sejak 1994 ini sempat menyatakan, bahwa hijab merupakan pakaian asing bagi Tajikistan.
Rahmon yang kerap dicap sebagai diktator ini memang berulang kali membuat keputusan yang kontroversi, khususnya berkaitan dengan pengaruh agama di Tajikistan.
Dia sempat melarang partai politik berbasis agama yang dapat menentang partainya. Pada 2015, mantan juru bicara Misi Pengamat PBB di Tajikistan mencatat adanya peningkatan pembatasan agama di negara pecahan Uni Soviet tersebut.
Penulis: Bintang Pamungkas
Editor: Dipna Videlia Putsanra