Menuju konten utama

Isi Lengkap RUU Perampasan Aset, Pro-Kontra, & Sejarahnya

Isi lengkap RUU Perampasan Aset yang menimbulkan pro dan kontra. Bagaimana sejarahnya?

Isi Lengkap RUU Perampasan Aset, Pro-Kontra, & Sejarahnya
Suasana Sidang Tahunan MPR dan Sidang Bersama DPR - DPD Tahun 2024 di Gedung Nusantara, kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (16/8/2024). ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/sgd/tom.

tirto.id - Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset sudah lama diusulkan sebagai salah satu solusi untuk memberantas tindak korupsi. Sampai saat ini nasib RUU Perampasan Aset belum menemui titik terang.

Korupsi merupakan bentuk tindak pidana dengan motif ekonomi. Artinya, pelaku akan berusaha mendapatkan harta atau kekayaan sebanyak-banyaknya dengan cara yang ilegal.

Dari sinilah muncul gagasan perampasan aset sebagai salah satu cara untuk memberantas korupsi. Hal ini didasarkan pada fakta bahwa hukuman ‘pidana badan’ seperti kurungan penjara rupanya belum cukup memberikan efek jera.

Isi RUU Perampasan Aset Tindak Pidana

Secara garis besar, RUU Perampasan Aset Tindak Pidana (PATP) berisi aturan tentang perampasan atau penyitaan berbagai aset yang dimiliki oleh pelaku tindak pidana. Negara berwenang merampas aset, baik itu berupa properti, kendaraan, maupun harta benda lain, yang diperoleh secara ilegal atau melalui tindak pidana/kejahatan.

Selain itu, RUU PATP mengatur pengelolaan aset yang terdiri dari sembilan jenis kegiatan, yaitu penyimpanan, pengamanan, pemeliharaan, dan penilaian. Kemudian pemindahtanganan, penggunaan, pemanfaatan, pengawasan, serta pengembalian aset.

Terkait aset tindak pidana yang dirampas, akan ada batasannya. Aset yang dapat dirampas oleh negara adalah aset senilai Rp100 juta ke atas serta aset yang berkaitan dengan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara 4 tahun atau lebih.

RUU PATP bertujuan untuk mengembalikan kerugian negara atau recovery asset. Dengan demikian, kerugian yang diderita oleh negara bisa diminimalisasi agar tidak terlalu besar/signifikan.

RUU PATP tidak hanya dibuat untuk memberantas tindak pidana korupsi. RUU ini juga berlaku untuk semua bentuk kejahatan atau tindak pidana berdimensi ekonomi, mulai dari penghindaran pajak, penipuan, penggelapan, pengrusakan lingkungan, hingga kejahatan yang berkaitan dengan perdagangan orang.

Sejarah RUU Perampasan Aset

Jika menilik ke belakang, RUU Perampasan Aset Tindak Pidana (RUU PATP) telah melewati perjalanan panjang. RUU ini pertama kali digagas oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi (PPATK) pada tahun 2003 dengan mengadopsi The United Nations Convention Against Corruption (UNCAC).

Namun, terjadi pro dan kontra yang membuat RUU tidak segera disahkan oleh DPR RI. RUU sempat masuk daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) periode tahun 2005-2009, bahkan menjadi salah satu RUU prioritas pada 2008.

Sayangnya, RUU Perampasan Aset tidak dibahas dan diselesaikan. RUU kembali masuk Prolegnas periode tahun 2010-2014 dan menjadi daftar prioritas, tapi nasibnya tetap tidak jelas.

Selanjutnya, RUU PATP kembali dimasukkan dalam Prolegnas 2015-2019. Sekali lagi, RUU Perampasan Aset tidak disentuh dan tidak pernah dibahas karena alasan tidak masuk daftar prioritas.

RUU PATP kembali diusulkan untuk masuk Prolegnas 2020. Namun, usulan ditolak DPR hingga mangkrak.

Seiring berjalannya waktu, kasus kekayaan tak lazim yang dimiliki Aparatur Sipil Negara (ASN) semakin jadi sorotan masyarakat. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menduga adanya ketidakjujuran ASN dalam melaporkan kekayaan melalui Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN).

Pada tahun 2023, Presiden Joko Widodo akhirnya mengirimkan Surat Presiden Nomor R22/Pres/05/2023 ke DPR terkait pembahasan RUU PATP. RUU PATP akhirnya masuk daftar Prolegnas Prioritas Tahun 2023.

Sayangnya, RUU Perampasan Aset seolah kembali dilupakan. Presiden, masyarakat sipil, serta sejumlah pihak seperti KPK dan Indonesia Corruption Watch (ICW) telah mendorong agar RUU ini segera diselesaikan selama sekitar dua dekade terakhir. Namun, sampai saat ini belum ada kepastian kapan DPR RI akan mengesahkan RUU PATP.

Sidang Tahunan MPR Tahun 2024

Sidang Tahunan MPR dan Sidang Bersama DPR - DPD Tahun 2024 di Gedung Nusantara, kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (16/8/2024). Youtube/Sekretariat Presiden

Pro dan Kontra RUU Perampasan Aset

RUU Perampasan Aset Tindak Pidana diharapkan bisa menjadi solusi dalam penegakan hukum, khususnya sebagai upaya pemberantasan korupsi dan tindak pidana ekonomi lain. Namun, RUU ini dianggap belum matang sehingga perlu ‘digodok’ lebih lama.

Selama ini, DPR dinilai abai atau tidak mau mengesahkan RUU Perampasan Aset Tindak Pidana. Bahkan, muncul isu bahwa RUU tersebut tidak segera disahkan karena bisa merugikan para koruptor.

Menanggapi hal ini, anggota Komisi III DPR, Taufik Basari, pernah mengungkapkan bahwa dugaan itu tidak benar. Ia menegaskan pembahasan RUU PATP tetap dilakukan secara mendalam oleh DPR.

Taufik Basari mengungkapkan bahwa pengajuan RUU Perampasan Aset harus hati-hati agar tetap sesuai prinsip hukum. Belum disahkannya RUU PATP oleh DPR, katanya, bukan berarti mereka menolak atau mendukung tindak korupsi.

DPR disebutkan hanya ingin memastikan dan menjamin proses hukum sesuai dengan prinsip peradilan yang jujur dan adil serta asas praduga tak bersalah.

Menurutnya, RUU PATP harus dirumuskan secara ketat. Terkait mekanisme perampasan, DPR juga masih mencari formula yang tepat agar sesuai dengan hukum dan tidak ada pihak-pihak yang merasa dirugikan.

Baca juga artikel terkait UNDANG-UNDANG atau tulisan lainnya dari Erika Erilia

tirto.id - Edusains
Kontributor: Erika Erilia
Penulis: Erika Erilia
Editor: Beni Jo & Yulaika Ramadhani