tirto.id - Pertengahan Juni lalu sejumlah aktivis demokrasi, akademisi, hingga mantan Ketua KPK ramai-ramai mengajukan permohonan uji materi Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu ke Mahkamah Konstitusi (MK). Alasannya karena UU No 7 tahun 2017 dinilai bertentangan dengan konstitusi.
Pasal yang dipersoalkan adalah “Pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya.”
Peneliti dari Centre for Electoral Reform (Cetro) Hadar Nafis Gumay mengatakan bila terjadi pembatalan Pasal 222 UU Pemilu berpeluang menambah jumlah pasangan calon presiden dan calon wakil presiden (capres dan cawapres) di Pemilu 2019 dari sekadar poros Prabowo dan Jokowi. Sehingga masyarakat memiliki banyak pilihan untuk menentukan calon pemimpinnya. Selain itu, peluang transaksi politik antarpartai bisa diperkecil.
“Kemungkinan para parpol yang selama ini dipaksa berkoalisi, yang menjalankan politik transaksional, akan jadi lebih kecil. Mau tidak mau, partai harus urus diri sendiri,” kata Hadar kepada Tirto, Selasa (31/7) sore.
Menurut Hadar bila ada penghapusan presidential threshold akan membuat dikotomi partai besar dan partai kecil tidak relevan lagi. Sebab masing-masing partai memiliki keleluasaan untuk memilih calon pemimpinnya. “Karena selama ini rakyat hanya dipaksa memilih partai atau orang itu-itu saja,” katanya.
Hadar mengatakan jika ada lebih dari dua pasang capres dan cawapres maka pasangan yang ditentukan sebagai pemenang adalah yang mampu minimal 50 persen suara sah nasional. Seandainya tidak ada pasangan yang berhasil memperoleh suara tersebut, maka pilpres akan dilangsungkan dua putaran dengan melibatkan pasangan capres dan cawapres yang meraih suara terbanyak pertama dan kedua.
Siapa yang Untung dan Buntung?
Pendiri sekaligus peneliti Alvara Research Center Hasanudin Ali mengatakan bila pilpres berlangsung dua putaran maka kemungkinan besar Jokowi berada dalam posisi yang dirugikan. Sebab kecenderungan yang terjadi selama ini—pada Pilpres 2004 dan Pilgub DKI Jakarta 2017—pihak yang gagal masuk ke putaran kedua cenderung berkoalisi ke pihak penantang, bukan petahana.
“Biasanya memang poros ketiga atau yang kalah akan mendukung penantang. Tidak ke petahana,” ujar Ali kepada Tirto.
Ali mengatakan simulasi survei yang pernah dilakukan Alvara menunjukkan elektabilitas Jokowi belum dalam posisi aman. Menurutnya jika pertanyaan survei dilakukan secara terbuka tentang siapa capres yang diinginkan masyarakat maka elektabilitas Jokowi masih berada di bawah 50 persen. Namun jika pertanyaan survei dilakukan secara tertutup (diarahkan antara Jokowi dengan Prabowo) maka elektabilitas Jokowi ada di atas 50 persen.
“Posisi poros ketiga untuk memecah suara. Untuk memaksa terjadi dua putaran,” ujarnya.
Survei Alvara Research Center pada 20 April hingga 9 Mei 2018 terhadap 1.202 responden menyatakan elektabilitas Jokowi di angka 46,8 persen. Sedangkan elektabilitas Prabowo diangka 27,2 persen. Tidak jauh berbeda dengan simulasi survei yang dilakukan Alvara, sejumlah lembaga survei juga menyatakan elektabilitas Jokowi belum ada di angka aman.
Survei yang dilakukan Median pada 6 Juli sampai 15 Juli 2018 dengan sampel 1.200 responden menyatakan elektabilitas Jokowi di angka 35,7 persen. Sedangkan elektabilitas Prabowo diangka 22,6 persen. Survei Indikator Politik Indonesia sejak 25-31 Maret 2018 terhadap 1.200 responden menyatakan elektabilitas Jokowi berada di angka 39,9 persen dan Prabowo 12,1 persen. Sedangkan survei Litbang Kompas sepanjang 21 Maret sampai 1 April 2018 menyatakan elektabilitas Jokowi di angka 55,9 persen dan Prabowo 14,1 persen.
Reaksi Para Partai
Politikus PDIP Eva K. Sundari menolak penghapusan presidential threshold di Pemilu 2019. Menurutnya penghapusan presidential threshold tidak hanya akan membuat jumlah penantang Jokowi di Pilpres 2019 bertambah banyak. Namun, juga berpeluang menambah pengeluaran negara bila pilpres berlangsung dua putaran.
Namun, Eva percaya berapa pun jumlah penantang Jokowi, mantan wali kota Solo itu tetap akan keluar sebagai pemenang. Menurutnya kinerja Jokowi tidak bisa ditandingi oleh para pesaingnya. "Rugi, karena jika dua putaran habis energi dan sumber daya juga. Ekonomi biayanya sangat tinggi. Berantem kok diperpanjang-panjang," kata Eva kepada Tirto lewat pesan singkat, Selasa (30/7/18) sore.
Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Arief Puyono mengatakan partainya sejak awal menginginkan presidential threshold dihapus. "Dari awal, dari dulu, saya sudah ngomong, yang menggunakan presidential threshold itu merupakan pembajakan demokrasi. Pengkhianatan terhadap demokrasi," katanya kepada Tirto.
"Sangat melanggar hak konstitusi masyarakat," katanya.
Ia menilai penghapusan presidential threshold akan menguntungkan Prabowo. Sebab Partai Gerindra justru merasa beruntung tak perlu mencari koalisi lagi untuk mengusung Prabowo. "Kami enggak pening (pusing) lagi nyari koalisi. Karena semua partai bisa mengusung," katanya.
Meski dalam beberapa survei politik elektabilitas Prabowo cenderung rendah dan berada di titik yang tidak aman, Arief tetap optimistis. Ia percaya hasil survei akan berubah pilpres digelar. Ia juga yakin Prabowo Subianto tak akan bisa menembus satu putaran jika terdapat banyak lawan calon presiden.
"Tapi, ya, itulah demokrasi," katanya.
Analis politik SMRC Djayadi Hanan menilai tak akan banyak perubahan terjadi dalam lanskap politik Pilpres 2019 kalaupun presidential threshold dihapus. Sebab menurutnya hingga saat ini elektabilitas Jokowi dan Prabowo masih yang teratas.
"Kalau pun ada banyak calon presiden di Pilpres 2019, dan ada putaran kedua, tetap dua orang itu yang akan bersaing," katanya saat dihubungi Tirto.
Ia juga mengatakan jika presidential threshold dihapus dan menghasilkan pilpres dua putaran maka segala prediksi tentang dalam survei bisa saja berubah. "Siapa tahu suara bisa berubah dari dua orang itu. Kita belum tahu pasti, hanya prediksi," katanya.
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Jay Akbar