tirto.id - Sebanyak 12 orang yang terdiri dari pegiat pemilu, mantan ketua KPK, dan akademisi mengajukan permohonan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) tentang ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden (presidential threshold) di Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu. Mereka diantaranya Rocky Gerung, Busyro Muqoddas, Hadar Navis Gumay, Bambang Widjojanto, Dahnil Azhar Simanjuntak, dan Titi Anggraini dengan kuasa hukum Denny Indrayana.
Denny menyebut Pasal 222 UU Pemilu membuat masyarakat tak bebas memilih capres dan cawapres di pemilu. Aturan itu juga disebutnya bertentangan dengan UUD 1945. "Meskipun telah diuji sebelumnya, berdasarkan Peraturan Mahkamah Konstitusi, Pasal 222 UU Pemilu dapat, dan wajib, diajukan kembali ke MK," ujar Denny dalam keterangan tertulis, Kamis (14/6/2018).
Permohonan uji materi Pasal 222 UU Pemilu sudah didaftarkan ke MK Rabu (13/6/2018) malam. Denny berharap MK bisa mengeluarkan putusan sebelum masa pendaftaran capres dan cawapres pemilu 2019 dibuka, 4 Agustus 2018.
Gugatan terhadap ambang batas pencalonan presiden kali ini unik karena terjadi selang lima bulan setelah MK menolak uji materi yang sama. Pada Januari lalu, MK menolak uji materi Pasal 222 UU Pemilu yang diajukan Ketua Partai Idaman Rhoma Irama melalui kuasa hukumnya Ramdansyah.
Dalam gugatannya kala itu, Rhoma mempermasalahkan Pasal 173 ayat (1) dan ayat (3) serta Pasal 222 UU Pemilu. MK menolak gugatan karena anggapan Rhoma ihwal penetapan ambang batas sebagai upaya tarik-menarik politik dinilai MK sebagai sesuatu yang tidak bisa dinilai secara hukum.
Lembaga itu juga menilai penetapan presidential threshold sudah sesuai proses hukum antarlembaga pembuat undang-undang, yakni DPR dan pemerintah.
Peluang Hilangnya Ambang Batas Pencalonan Presiden
Ahli hukum tata negara dan pendiri Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Bivitri Susanti menyebut masih ada peluang MK mengabulkan uji materi ambang batas pencalonan presiden. Meski permohonan serupa pernah ditolak MK pada 11 Januari lalu, tapi uji materi kali ini dapat membuahkan hasil berbeda. Agumen dan batu uji yang digunakan berbeda dengan permohonan sebelumnya.
"Kalau di MK, asas nebis in idem (perkara yang sama tidak boleh dilakukan permohonan lagi) berlaku jika argumennya persis sama. Kalau berbeda, bisa diajukan lagi," ujar Bivitri.
Ia mengingatkan masyarakat, Pasal 42 ayat (2) Peraturan MK Nomor 6/PMK/2005 memungkinkan terjadinya uji materi terhadap suatu produk hukum lebih dari sekali. Syaratnya, alasan para pemohon harus berbeda dengan uji materi sebelumnya.
Pendapat serupa disampaikan ahli hukum tata negara dari Universitas Andalas Feri Amsari. Menurutnya, dalam uji materi yang baru didaftarkan, penggugat akan berupaya meyakinkan MK bahwa Pasal 222 UU Pemilu bertentangan dengan Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945.
"Kemungkinan ada alasan berbeda [dibanding uji materi terdahulu] dan kami optimis ini diterima hakim konsitusi. Karena putusan sebelumnya tidak bicara Pasal 222 konstitusional atau tidak, hanya menyebut Pasal 222 adalah kewenangannya DPR untuk mengaturnya," ujar Feri.
Dalam uji materi kali ini, Feri rencananya akan menjadi salah satu ahli hukum yang digunakan penggugat. Ia mengaku akan meminta MK tak menyerahkan pengaturan ihwal pemilu, khususnya Pasal 222 ke DPR nanti. "Kalau menyerahkan ke DPR sepenuhnya, potensi penyimpangan dapat lebih luas," kata Feri
Enam Alasan
Ada enam alasan yang digunakan para pemohon uji materi Pasal 222 UU Pemilu kali ini. Masing-masing alasan berbeda dengan dasar uji materi yang diajukan Rhoma ke MK pada 2017 lalu.
Alasan pertama, pemohon menganggap UU Pemilu harusnya mengatur tata cara, bukan syarat pencalonan presiden dan wakil presiden. Ketentuan itu diatur dalam Pasal 6A ayat (5) UUD 1945.
Aturan itu menyebut, tata cara pelaksanaan pemilihan presiden dan wakil presiden lebih lanjut diatur dalam UU. Sementara, Pasal 222 UU Pemilu mengatur syarat bagi parpol yang hendak mencalonkan seseorang menjadi capres dan cawapres.
"Pasal 222 UU pemilu keluar dari mandat yang hanya memberikan pengaturan tata cara menurut pasal 6A ayat (5) UUD 1945, sekaligus memanipulasi mandat pengaturan syarat di Pasal 6 UUD 1945," ujar para penggugat dalam keterangan tertulis yang diterima .
Dasar kedua, pemohon menganggap konsep ambang batas pencalonan presiden di UU Pemilu berbeda dengan sebelumnya. Perbedaan muncul karena pencalonan presiden dan wakilnya nanti hanya bisa dilakukan parpol yang lolos ambang batas berdasarkan hasil pemilu 2014.
Pemohon menganggap aturan itu bertentangan dengan Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945. Beleid itu menyebut usulan nama capres dan cawapres hanya dibatasi oleh parpol peserta pemilu dan diusulkan sebelum pemungutan suara berlangsung. Tak ada ketentuan pencalonan presiden hanya bisa dilakukan parpol peserta pemilu sebelumnya.
Ketiga, pemohon menilai syarat pengusulan capres adalah close legal policy, bukan open legal policy. Keempat, mereka menilai ambang batas pencalonan berdasarkan hasil pemilu sebelumnya merupakan hal yang tidak logis dan inkonstitusional.
"Presidential threshold makin tidak logis karena pemilu yang serentak antara presiden dan legislatif. Itu menutup peluang perubahan sebagai salah satu esensi pemilu," ujar mereka.
Alasan kelima, ambang batas dicurigai dapat menghadirkan capres tunggal. Jika calon tunggal terjadi, penggugat merasa ada prinsip dasar ihwal "pemilihan" yang hilang.
Terakhir, pemohon beralasan tak boleh ada kemungkinan pelanggaran konstitusi sekecil apapun. Alasan itu muncul karena mereka menilai aturan ambang batas pencalonan presiden di Pasal 222 UU Pemilu berpotensi bertentangan dengan UUD 1945.
Adu Kepentingan Lewat Gugatan
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menjamin uji materi terhadap Pasal 222 UU Pemilu bebas dari kepentingan politik. Menurutnya, gugatan murni dilakukan untuk mewujudkan demokrasi konstitusional di Indonesia.
"Bukannya memberlakukan suatu aturan yang tidak logis berupa ambang batas yang merujuk hasil pemilu 5 tahun sebelumnya. Ini tidak ada urusan dengan kepentingan parpol atau calon tertentu," ujar Titi kepada Tirto.
Titi berkata, penerapan ambang batas pencalonan presiden sejak awal telah dilihat sebagai inkonsistensi reformasi sistem politik selama 20 tahun reformasi. Hal itu semakin aneh karena penetapan presidential threshold mengacu hasil pemilu 2014 sedangkan kontestasi terjadi di Pemilu 2019.
Jaminan bebas kepentingan yang diutarakan Titi mendapat keraguan dari Anggota Badan Komunikasi DPP Gerindra Andre Rosiade. Menurutnya, bisa saja gugatan terhadap ambang batas pencalonan diajukan demi memuluskan langkah politikus tertentu menjadi capres.
"Namanya kan usaha, apalagi kan kami tahu mas Denny dekat dengan Pak SBY yang berkeinginan mencalonkan mas AHY [Agus Harimurti Yudhoyono]," ujar Andre kepada Tirto.
Meski memiliki keraguan terhadap maksud dan tujuan uji materi, Andre tetap menghormati langkah yang diambil Denny dan para pegiat pemilu. Ia pun menyerahkan sepenuhnya persoalan uji materi ke MK.
Dikonfirmasi terpisah, eks Ketua MK Mahfud MD menyebut uji materi berulang terhadap salah satu produk hukum memang dapat dilakukan. Syaratnya, alasan penggugat harus berbeda dari uji materi yang pernah ada.
"Bisa saja [uji materi lebih dari sekali untuk objek yang sama] karena menurut aturan yang sudah diputus MK bisa diajukan lagi kalau alasannya dan batu ujinya beda," ujar Mahfud.
Penulis: Lalu Rahadian
Editor: Muhammad Akbar Wijaya