Menuju konten utama

Alasan MK Menolak Uji Materi Presidential Threshold

MK menilai anggapan pemohon menuding penetapan presidential threshold merupakan upaya tarik-menarik politik, adalah sesuatu yang tidak bisa dinilai secara hukum.

Alasan MK Menolak Uji Materi Presidential Threshold
Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi di Ruang Sidang Gedung MK, Jakarta. ANTARA FOTO/Aprillio Akbar

tirto.id - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan uji materi soal ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden sebesar 20 persen. Keputusan ini diambil dalam sidang putusan 13 perkara yang sebagian besar terkait dengan Undang-Undang Pemilihan Umum hari ini, Kamis (11/1/2018), di ruang sidang gedung MK.

Gugatan yang ditolak hingga saat ini berasal dari perkara nomor 44/PUU-XV/2017 dan nomor 53/PUU-XV/2017. Perkara ini diajukan oleh Ketua Partai Idaman Rhoma Irama, melalui kuasa hukumnya Ramdansyah. Dalam gugatannya, Rhoma mempermasalahkan Pasal 173 ayat (1) dan ayat (3) serta Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.

MK menolak gugatan Rhoma terkait ambang batas presiden (presidential threshold) sebesar 20 persen. Alasannya, anggapan pemohon menuding penetapan presidential threshold merupakan upaya tarik-menarik politik, adalah sesuatu yang tidak bisa dinilai secara hukum.

MK juga menilai bahwa penetapan presidential threshold sudah sesuai dengan proses hukum antarlembaga pembuat undang-undang, yakni DPR dan pemerintah. Adanya walk out yang dijadikan poin keberatan oleh Rhoma, bukan berarti bahwa UU No. 7 Tahun 2017 itu bersifat inkonstitusional dan tidak sah, Kondisi itu menurut MK hanya contoh dari pengambilan keputusan yang tak mencapai aklamasi.

MK juga menganggap tidak ada praktik diskriminatif yang dialami partai manapun, termasuk Partai Idaman. Hal ini karena definitif dari kata diskriminatif, menurut MK, yang harusnya terkait dengan masalah suku, ras, agama, dan antar golongan (SARA).

Anggapan Rhoma soal Pasal 222 merusak sistem presidential juga dirasa tidak beralasan karena bisa mengeliminasi evaluasi pemerintahan. "Anggapan pemohon karena ketidakpuasan rakyat terhadap pemilu presiden 2014," kata salah satu majelis hakim MK, Maria Farida Indrati, di ruang sidang gedung MK, Jakarta.

"Anggapan demikian terlalu prematur karena belum tentu pasangan calon presiden dan wakil presiden yang akan ikut di pemilu 2019 adalah pasangan yang sama pada pemilu 2014. Anggapan itu hanya akan tebukti post waktu [masa mendatang]," tegasnya lagi.

Melalui Ketua MK Arief Hidayat, putusan perkara pun diterapkan. MK mengabulkan gugatan dari Rhoma terkait Pasal 173 ayat (1) dan ayat (3), tetapi menolak gugatan Pasal 222 UU nomor 7/2017. "Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian," kata dia.

"Pokok permohonan pemohon sepanjang berkenaan dengan Pasal 222 UU Pemilu tidak beralasan menurut hukum," jelasnya.

Dua Hakim Berpendapat Sebaliknya

Dalam putusan MK ini, ada dua hakim MK yang mempunyai dissenting opinion, yakni Suhartoyo dan Saldi Isra. Menurut mereka, seharusnya pemilihan presiden dan wakil presiden merupakan open legal policy dan siapapun bisa melakukan pengajuan calon pemimpin negara.

UU Nomor 7 Tahun 2017 dianggap bertentangan dengan Pasal 6a UUD 1945. Mereka memandang bahwa pengaturan pemilu memang harus dilakukan, tapi tidak sepatutnya mengingkari UUD 1945. Seharusnya seluruh partai politik dalam pemilu bisa berkesempatan mengajukan calonnya masing-masing.

"Pencalonan tidak boleh mengurangi hak subjek-subjek yang telah ditentukan oleh konstitusi untuk mengajukan calon presiden dan wakil presiden tersebut," kata Suhartoyo.

Ia menyetujui perlunya penyederhanaan partai politik diperlukan untuk mengurangi keruwetan dalam proses pemilu, tapi tentu tidak boleh membuat aturan yang sifatnya inkonstitusional. Jika memang UU Nomor 7 Tahun 2017 bertentangan dengan konstitusi, ia memandang seharusnya MK bisa meluruskannya kembali.

"Sehingga sulit diterima penalaran yang wajar jika MK lebih mengedepankan tafsir desain penyederhanaan parpol yang tidak diatur dalam UUD 1945," terangnya lagi.

Secara ringkas, gugatan lain terkait dengan Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017, diputuskan gugur berdasarkan putusan perkara 53-PUU-XV/2017.

Adapun perkara lain di antaranya nomor 59/PUU-XV/2017 yang diajukan oleh Effendi Ghazali; perkara nomor 70/PUU-XV/2017 yang diajukan oleh Ketua Partai Bulan Bintang Yusril Ihza Mahendra; perkara nomor 71/PUU-XV/2017 oleh Hadar Nafis Gumay, Yuda Kusumaningsih, Titi Anggraini, dan Veri Junaidi; serta perkara nomor 72/PUU-XV/2017 oleh Mas Soeroso dan Wahyu Naga Pratala.

Baca juga artikel terkait PILPRES 2019 atau tulisan lainnya dari Felix Nathaniel

tirto.id - Hukum
Reporter: Felix Nathaniel
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Yuliana Ratnasari