tirto.id - Mahkamah Konstitusi menolak mengabulkan gugatan untuk Pasal 222 Undang-undang Nomor 7 tahun 2017 tentang pemilihan umum. Dengan begitu, ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) tetap di angka 20 persen.
Menanggapi hal itu, pengamat politik Effendi Gazali menyatakan keputusan itu membuka peluang calon tunggal pada pemilihan presiden 2019. Sebagai penggugat aturan tersebut, Effendi menyatakan tidak ada jawaban tegas dari MK terkait pentingnya ambang batas presiden 20 persen.
"Tidak adanya (perubahan) presidential threshold ini siap-siap menuju calon presiden tunggal. Bisa menuju ke sana kalau tidak cocok koalisinya,” kata Effendi setelah putusan MK di Jakarta, Kamis (11/1/2018).
Dengan penolakan itu, maka Effendi semakin yakin akan menggugat kembali aturan ini. Namun, ia merasa senang karena ada dua hakim MK yang melakukan dissenting opinion (perbedaan pendapat). Kedua hakim itu adalah Saldi Isra dan Suhartoyo.
“Saya ditolak, tapi saya bahagia karena ada dua [hakim] yang betul-betul jernih. Dua menemukan nalar yang jernih, tujuh [hakim] belum," terangnya.
Baca: MK: Parpol Peserta Pemilu 2014 Wajib Diverifikasi Faktual Ulang
Menurut Effendi, kedua hakim itu mewakili apa yang menjadi keresahannya. Meski masih merasa tidak adil dengan perlakukan MK yang menyamaratakan gugatannya dengan putusan perkara nomor 53/PUU-XV/2017 milik Partai Idaman.
Ia merasa jawaban MK tentang gugatan Partai Idaman soal Pasal 222 UU 7/2017 "sama sekali tidak menyinggung" apa yang diajukan olehnya.
Partai Idaman menyatakan pasal itu sudah tidak dapat diberlakukan lagi karena menggunakan hasil pemilu legislatif 2014 sebagai ambang batas pilpres 2019. Selain itu, ambang batas itu tidak lagi relevan karena pemilu legislatif dan Pilpres diselenggarakan serentak pada 2019.
Sementara itu, penggugat lainnya dari Perludem, Titi Anggraini, menganggap MK ragu-ragu dengan putusannya. Logika yang dibangun MK bahwa aturan presidential threshold 20 persen tidak bertentangan dengan UUD 1945 dirasa tidak kuat.
"Mahkamah Konstitusi seperti pengamat politik ya. Bicara soal presidential rasa parlementer lalu kemudian bicara tentang penyederhanaan partai. MK terlihat tidak fokus berkaitan dengan argumen konstitusional yang ingin dibangun berkaitan dengan ambang batas pencalonan presiden," tegas Titi.
Baca: Dampak Putusan MK, KPU Harus Buat Jadwal Verifikasi Baru
Ia justru setuju dengan langkah hakim yang melakukan dissenting opinion karena bisa diterima secara nalar. Dissenting opinion tersebut mengutip Pasal 6a ayat (2) UUD 1945 dimana setiap parpol atau gabungan parpol seharusnya bisa mengajukan calon pemimpin negara. Sedangkan ambang batas yang diambil dari pemilu 2014 dirasa tidak bisa dijadikan dasar 'sesuai dengan UUD 1945' atau 'memperkuat sistem presidential'
"Ini yang kemudian tidak mampu diyakinkan oleh MK berkaitan dengan putusan ambang batas pencalonan presiden. MK terlihat sangat memaksakan argumennya dengan menarik-narik ke isu penyederhanaan partai, menarik-narik ke isu open legal policy, tapi Mahkamah Konstitusi tidak berhasil membangun argumen yang logis," tegasnya kemudian.
Penulis: Alexander Haryanto
Editor: Alexander Haryanto