tirto.id - Mahkamah Konstitusi telah memutuskan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold (PT) tetap di angka 20 persen. Keputusan itu dianggap Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto sudah sesuai dengan mayoritas partai.
"Itu sesuai dengan yang diharapkan serta sesuai dengan undang-undang yang didorong oleh partai politik. Dengan demikian kami mengapresiasi," ujar Airlangga di Jakarta, Kamis (11/1/2018), seperti dikutip Antara.
Putusan MK itu juga dinilai Airlangga semakin memperkuat koalisi partai pemerintah untuk kembali mengusung Presiden Joko Widodo di Pilpres 2019.
Di sisi lain, pengamat politik Effendi Gazali menyatakan ambang batas pencalonan presiden sebesar 20 persen membuka peluang calon tunggal pada pemilihan presiden 2019.
Sebagai penggugat aturan tersebut, Effendi menyatakan tidak ada jawaban tegas dari MK terkait pentingnya ambang batas presiden 20 persen.
"Tidak adanya (perubahan) presidential threshold ini siap-siap menuju calon presiden tunggal. Bisa menuju ke sana kalau tidak cocok koalisinya,” kata Effendi setelah putusan MK di Jakarta, Kamis (11/1/2018).
Dengan penolakan itu, maka Effendi semakin yakin akan menggugat kembali aturan ini. Namun, ia merasa senang karena ada dua hakim MK yang melakukan dissenting opinion (perbedaan pendapat). Kedua hakim itu adalah Saldi Isra dan Suhartoyo.
“Saya ditolak, tapi saya bahagia karena ada dua [hakim] yang betul-betul jernih. Dua menemukan nalar yang jernih, tujuh [hakim] belum," terangnya.
Baca: Presidential Threshold 20 Persen Dinilai Buka Peluang Calon Tunggal
Mahkamah Konstitusi sebelumnya telah menolak uji materi yang diajukan Partai Idaman terhadap pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang mengatur presidential threshold.
Dalam pasal itu, partai politik atau gabungan partai wajib memiliki 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional pada pemilu 2014 untuk bisa mengusung pasangan calon presiden dan calon wakil presiden.
Pasal itu dinilai Partai Idaman sudah tidak dapat diberlakukan lagi karena menggunakan hasil pemilu legislatif 2014 sebagai ambang batas pilpres 2019. Selain itu, ambang batas itu tidak lagi relevan karena pemilu legislatif dan Pilpres diselenggarakan serentak pada 2019.
Penulis: Alexander Haryanto
Editor: Alexander Haryanto