tirto.id - Akhir tahun menjadi masa-masa yang sibuk bagi media musik. Awak redaksi "diharuskan" membikin daftar rilisan terbaik sepanjang tahun. Mereka dihadapkan pada banyaknya pilihan yang masuk meja redaksi dan berdebat menentukan mana yang lebih bagus.
Kerja-kerja semacam ini membutuhkan proses yang panjang. Anda tak bisa berharap awak redaksi memutuskan semuanya dalam satu malam karena mereka bukanlah Bandung Bondowoso.
Maka, dari sini, kita bisa melihat bagaimana laporan-laporan tutup buku yang disusun Spin, Pitchfork, sampai Rolling Stone begitu nampak proporsional, baik dari segi konteks maupun basis argumentasi, seraya merepresentasikan wajah musik yang hadir selama kurang lebih 12 bulan.
Tentu, media kesayangan Anda ini tak ingin kehilangan momentum untuk melakukan hal yang sama. Kendati Anda mengenal kami sebagai media yang serius, media Cebong atau Kampret, atau media “kiri”, musik tetaplah menjadi salah satu dimensi yang rutin kami singgung.
Berbeda dengan yang lain, kami tak hendak merilis daftar “10 Album Terbaik” atau “100 Lagu Terbaik” di sepanjang 2018 yang mesti Anda simak. Alasannya sederhana: pekerjaan seperti itu butuh proses yang tak mudah dan waktu yang tak sebentar.
Kami sebetulnya mampu, tapi kami tak mau repot.
Sebagai gantinya, kami berupaya memproyeksikan perjalanan belantika musik dalam negeri tahun depan dengan menyimak apa saja yang banyak diperbincangkan tahun ini.
Lahan Konser Musisi Lawas yang Redup
“Promotor menghubungi saya untuk konser di Kota Surabaya untuk kedua kalinya. Tanpa basa-basi, saya langsung mengatakan 'iya'. Bagi saya, ada sesuatu yang spesial dari Kota Surabaya, yakni penggemar yang antusias dan keramahan orang-orangnya. Saya suka itu.”
Saya tak tahu apakah ungkapan di atas semata lips service atau memang itu kenyataannya. Namun, yang pasti, Shane Filan, mantan personel boyband Westlife, betulan datang ke Surabaya untuk menghibur para penggemarnya. Ia tiba di Indonesia dalam rangkaian tur album. Tak hanya di Surabaya, Shane pun juga singgah di Jakarta.
Untuk sebagian orang, sosok Shane mudah dikenali, mengingat ia adalah penyanyi dari salah satu boyband besar yang pernah lahir di dunia. Sementara untuk sebagian yang lain, terutama anak-anak milenial hingga Generasi Z, nama Shane seolah asing.
Inilah yang banyak terjadi pada 2018 manakala Indonesia menjadi tujuan bagi musisi-musisi lawas yang sempat populer di era 1980-an dan 1990-an. Shane Filan adalah secuil contoh saja. Sepanjang 2018, publik disuguhi aksi-aksi dari David Foster, Europe, Megadeth, Boyzone, Diana Krall, Michael Learns To Rock, Brian McKnight, sebelum akhirnya ditutup dengan paripurna oleh Guns N’ Roses.
Di tengah gempuran musik-musik masa kini yang biasa diputar di Spotify sampai mixtape bergambar panorama Jepang di YouTube, fenomena kedatangan artis-artis era lampau ini jelas menimbulkan pertanyaan: mengapa bisa demikian?
Ada yang menjawab faktor nostalgia punya andil dalam menciptakan gejala semacam ini dan itu memang tak sepenuhnya salah. Namun, terlepas dari pendapat tersebut, kehadiran musisi-musisi lawas luar negeri ke Indonesia tak bisa dilepaskan oleh fakta bahwa Indonesia adalah pasar yang besar sebab masyarakat Indonesia gemar menonton konser musik.
Argumentasi itu, misalnya, bisa dibuktikan dengan melihat hajatan Java Jazz, festival musik yang diadakan oleh PT Java Festival Production sejak 2005. Jumlah pengunjung Java Jazz bisa dikata selalu meningkat setiap tahunnya. Saat dimulai, festival ini ditonton oleh 47.000 orang. Meningkat jadi 52.000 orang pada 2006, 60.500 orang pada 2007, dan puncaknya terjadi pada 2014 manakala disaksikan oleh sekitar 114.000 orang.
Angka-angka di atas muncul seiring semakin bertumbuhnya kelas menengah di Indonesia. Dari data Bank Dunia, tahun 2017 Indonesia punya sekitar 52 juta orang yang masuk dalam kelas menengah. Jumlah besar itu juga didukung oleh daya beli yang semakin meningkat.
Kondisi ini membikin para musisi tak ragu untuk sejenak mampir ke Indonesia. Penonton Indonesia, terutama yang berusia 30-an tahun ke atas, adalah donatur mereka. Di saat bikin album tak lagi relevan sedangkan gairah untuk berkompetisi dengan musisi-musisi muda tak cukup tersedia, maka, jalan untuk membikin nama yang sudah meredup agar tetap menyala—sekaligus menjaga dapur tetap mengepul—ialah dengan banyak mengadakan konser. Indonesia merupakan lahan basah yang bisa diseriusi.
Tren konser dengan bintang tamu musisi-musisi lawas luar negeri agaknya masih diprediksi bermunculan pada 2019. Saat ini, sudah ada satu nama band klasik yang dipastikan akan tampil di Java Jazz 2019, yakni Toto, band rock AS yang moncer berkat lagu macam "Africa", "Rosanna", dan "I'll Be Over You".
Meski begitu, Anda tak perlu jengah melihat cukup banyaknya musisi-musisi lawas luar negeri yang mampir ke Indonesia. Negara ini juga masih menarik bagi para musisi yang lebih muda. Setidaknya akan ada John Mayer, Ed Sheeran, maupun Rafeena yang akan konser di tanah air pada 2019.
Dominasi Hip Hop: Sulit Dicongkel?
Tiga tahun silam, duo folk asal Surabaya, Silampukau, membikin kejutan kancah musik arus pinggir lewat album bertajuk Dosa, Kota & Kenangan. Banyak yang bilang, album tersebut adalah titik tolak kebangkitan musik folk Indonesia. Agak berlebihan, mungkin. Namun, faktanya, folk makin mekar usai Silampukau muncul ke permukaan.
Satu per satu musisi folk mulai mencuri atensi. Festival-festival dengan tajuk folk pun banyak dihelat. Ragam musik folk, singkat kata, jadi komoditas panas yang menuntun pada terciptanya gebyar “rindu, kopi, dan senja.”
Akan tetapi, tahun ini, masa keemasan folk, perlahan digeser dengan keberadaan hip hop. Lirik-lirik tentang romansa percintaan maupun kontemplasi diri yang diiringi alunan gitar kopong tergantikan oleh kata-kata seputar perlawanan hingga penolakan terhadap kapitalisme. Barisan rapper, MC, atau beatmaker anyar bermunculan bak jamur di musim hujan dengan karya-karya mereka.
Harry Sutresna, atau akrab disapa Ucok, mantan personel Homicide, kolektif hip hop legendaris dari Bandung, mengatakan kancah hip hop lokal belum pernah “semenggairahkan lima tahun belakangan.” Ucok bilang, ada beberapa faktor yang membikin capaian hip hop lokal terasa mengesankan.
Pertama, meroketnya popularitas Rich Brian, rapper asal Indonesia, di AS. Di sana, Rich Brian mencuri atensi kancah hip hop Los Angeles dan sekitarnya dengan sederet track macam “Working For It”, “Gospel”, “See Me”, sampai “Glow Like Dat”. Kemampuan Brian mengolah rima membikin ia punya kesempatan dibahas media musik seperti Pitchfork dan Rolling Stone hingga melangsungkan tur keliling AS.
Kedua yakni faktor internet yang membikin hip hop lebih mudah berkembang. Tak sebatas jadi ruang menggali inspirasi, internet juga berandil dalam menyebarkan karya dan mengumpulkan massa. Dengan internet pula, catat Ucok, hip hop bisa ditemukan di daerah yang sama sekali tidak terbayangkan sebelumnya, mulai dari pinggiran Danau Toba, Cirebon, Purwokerto, Banjarmasin, Flores, Ternate, maupun pelosok Papua.
Media nyatanya juga punya kontribusi untuk meningkatkan popularitas hip hop lokal. Majalah Rolling Stone Indonesia, sebelum gulung tikar, misalnya, pernah merilis artikel “10 Penggawa Hip Hop Indonesia Terkini” yang termuat dalam edisi Oktober 2016. Sementara Beritagar, pernah pula mempublikasikan laporan khusus soal hip hop dengan tajuk “Gairah Hip Hop di Indonesia.”
Namun, rasanya, tak ada media yang lebih gencar memperkenalkan talenta-talenta baru di kancah hip hop selain Vice Indonesia. Lewat publikasi Vice Indonesia, kita jadi lebih mengenal Ramengvrl, Pangalo!, Senartogok, sampai Joe Million.
Salah satu pencapaian penting ranah hip hop yakni rilisnya album kompilasi oleh Grimloc Records berjudul Pretext For Bumrush. Album ini memuat 29 track yang dibikin oleh Joe Million, Maverick, Bars of Death, hingga Rand Slam. Masing-masing punya kualitas yang bisa dibanggakan sekaligus menjadikan kompilasi ini sebagai kompilasi terbaik dalam beberapa tahun belakangan.
Dengan modal yang sedemikian rupa, kancah hip hop diperkirakan masih terus menghentak di tahun mendatang. Di tengah kontestasi pilpres yang dipastikan bakal mendidih di tahun ini, hip hop rasanya akan mengambil peran dan tempat penting untuk menghajar segala kedegilan di Indonesia—jualan agama, fanatisme buta, hingga prasangka etnis—tanpa tedeng aling-aling.
Editor: Nuran Wibisono