tirto.id - Presiden Joko Widodo menunjuk Menteri Pertahanan Prabowo Subianto untuk memimpin proyek lumbung pangan atau food estate di Kabupaten Pulang Pisau dan Kapuas, Kalimantan Tengah. Jokowi mengatakan food estate ini bisa ditanami banyak komoditas. "Kalau misalnya kekurangan beras ya tanam padi. Kalau kekurangan jagung ya tanam jagung. Kemarin sudah kami cek. Jagung bisa, padi bisa. Cabai, tanam di situ."
Segera setelah itu Jokowi dikritik ramai-ramai. Langkahnya dianggap tidak tepat.
"Manakala urusan diserahkan pada bukan ahlinya, justru saya khawatir gagal. Saya usul dan saran agar diserahkan kepada Kementerian Pertanian saja," kata Wakil Ketua Komisi IV DPR RI Fraksi Partai Nasdem, Hasan Aminuddin, lewat keterangan tertulis kepada wartawan Tirto, Selasa (14/7/2020) siang.
Komisi IV adalah satu dari 11 komisi di DPR RI. Ia membidangi pertanian, lingkungan hidup dan kehutanan, dan kelautan.
Hal serupa diungkapkan anggota Komisi IV dari PKS, Slamet. Ia mengatakan lumbung pangan seharusnya diserahkan kepada Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (SYL). "Cukup kasih target kepada Menteri Pertanian. Kalau tidak tercapai, dengan segala hormat Mentan harus mundur," kata Slamet kepada wartawan Tirto.
Menurutnya, penunjukan ini secara tidak langsung menunjukkan ketidakpercayaan Jokowi kepada SYL, yang tempo hari ramai dibicarakan karena 'kalung anti virus Corona'. "Di sisi lain, kalau TNI dikasih tugas yang keluar dari tugas utamanya, saya khawatir akan menurunkan profesionalitas para prajurit."
"Saya khawatir kalau rencana ini gagal, menjadi kegagalan Pak Prabowo dan TNI," ujar anggota Komisi IV yang lain, kali ini dari Fraksi Partai Demokrat, Suhardi Duka, kepada wartawan Tirto. Ia juga tak sepakat dengan penunjukan ini.
Jokowi sendiri tahu kritik semacam ini akan muncul. Di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (13/7/2020) lalu, ia mengatakan Prabowo menjadi komandan di proyek ini karena "yang namanya pertahanan itu bukan hanya urusan alutsista," tapi juga perkara ketahanan pangan. Bahkan, katanya, Prabowo sudah melakukan kalkulasi detail. "Menhan sudah sampaikan hitung-hitungan cost berapa, anggaran berapa, dalam membangun food estate."
Namun, bagi anggota Komisi I dari Fraksi PKS, Sukamta, bukan berarti Kementerian Pertahanan harus memimpin proyek meski ketahanan pangan memang merupakan unsur penting dari ketahanan nasional. "Ada beberapa sektor penting untuk membangun ketahanan nasional. Kan, tidak berarti Kemhan mengurusi semua hal," katanya kepada wartawan Tirto. "Kemhan, Bulog, Badan Ketahanan Pangan, harus dilihat sebagai satu kesatuan usaha membangun ketahanan nasional."
Ia juga tak setuju dengan penunjukan ini karena Prabowo dan instansinya "sudah punya beban dan tanggung jawab yang besar terkait ketahanan nasional." "Akan lebih baik jika tiap sektor yang sudah ada dapat didorong bekerja secara profesional di bidang masing-masing. Ini juga bagian dari wujud membangun ketahanan nasional," tambahnya.
Dia juga tak setuju dengan proyek ini karena menurutnya diputuskan terburu-buru. "Kita tentu tidak berharap ini hanya menjadi kebijakan populis seperti lahan sejuta gambut pada masa lalu namun ternyata alami kegagalan," katanya.
Militer di Mana-mana
Pengamat keamanan sekaligus Direktur Eksekutif Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi heran jika segala yang berkaitan dengan 'ketahanan nasional' kudu melibatkan Kemhan atau TNI. Dalam ranah pangan, Fahmi menilai Jokowi cukup mengandalkan Kementan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, Kementerian PUPR, hingga Bulog.
"Lalu apa peran Kemhan dan TNI? Diminta atau tidak, jika urusan ketahanan pangan ini jadi berpotensi mengancam pertahanan negara, ya, pasti akan hadir," kata Fahmi kepada wartawan Tirto.
Lebih jauh dari itu, jika rencana ini diteruskan, maka "berpotensi mengulang masa Orba." Di masa Orde Baru, tentara memang ada di mana-mana dan mengurusi semuanya. Ada istilah pada era itu, 'ABRI masuk desa.' Ketika itu, kata Fahmi, "kita mengklaim berhasil membangun ketahanan dan swasembada namun dengan tekanan luar biasa pada petani untuk tanam padi."
"Jangan sampai kebutuhan kemampuan TNI dalam tugas-tugas nonmiliter menjadi modus baru untuk melakukan hegemoni kekuasaan," katanya menambahkan.
Mahasiswa kandidat doktoral di Universitas Leiden, Belanda, yang banyak melakukan riset dan studi terkait hukum dan politik agraria, Yance Arizona, juga sepakat dengan pendapat Fahmi. Ia melihat fenomena militer mengurusi pangan dalam konteks yang lebih luas. Kata Yance, kembalinya militer ke ranah pangan dan pertanian memang sudah muncul sejak era Presiden SBY--yang militer. Namun, fenomena itu menguat pada masa Jokowi--yang sipil.
"Ada yang berdalih wajar militer ikut mengurusi penanganan COVID-19 karena jumlah tentara lebih banyak dari tenaga medis. Tapi apakah jumlah tentara juga lebih banyak dari petani di sektor pertanian? Kalau ya, berarti proses 'depeasantization' di Indonesia sudah begitu parahnya," katanya.
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Rio Apinino