tirto.id - Pelaksanaan pemilu legislatif dan presiden yang digelar serentak pada 2019, mulai memunculkan masalah. Pola pemilu semacam itu lebih menguntungkan bagi petahana.
Pada sejumlah daerah dengan basis massa yang kuat memilih Jokowi, calon anggota legislatif (caleg) partai pengusung Prabowo Subianto menjadi sulit bergerak. Ini seperti yang terjadi di Kota Manado, Sulawesi Utara. Berdasarkan data Pilpres 2014 yang dirilis KPU, Jokowi menang dengan perolehan suara 134.572 suara atau 58,77 persen. Selisih dengan Prabowo Subianto 17,54 persen.
Kondisi ini membuat caleg DPRD Kota Manado dari Partai Demokrat Darmawati Dareho enggan mengampanyekan Prabowo-Sandiaga meski partainya mengusung kandidat itu. Dia mengaku akan tetap berkampanye untuk dirinya sendiri dan Jokowi-Ma’ruf.
"Ini masalah insting dan pilihan suara hati. Untuk Sulut dan di daerah pemilihan banyak yang [mendukung] Jokowi," kata Darmawati kepada reporter Tirto, Jumat (19/10/2018).
Kondisi serupa juga dialami Partai Amanat Nasional (PAN). Sekretaris Jenderal PAN Eddy Soeparno mengungkapkan, banyak caleg PAN enggan mengampanyekan Prabowo-Sandiaga, meski PAN menjadi salah satu parpol pengusung pasangan itu. Pernyataan itu disampaikan Eddy saat menjadi narasumber di acara PolMark Indonesia, Kamis (18/10) kemarin.
"Di antara caleg kami yang berjuang di daerah, 'mohon maaf ketum, mohon maaf sekjen. Tetapi di bawah, saya mungkin tidak bisa terang-terangan untuk berpartisipasi dalam pemenangan Pak Prabowo. Karena konstituen saya tidak sejalan dengan itu. Jadi mohon maaf'," kata Eddy menirukan pernyataan caleg yang dimaksud.
Saat dikonfirmasi terkait hal itu, Eddy mengaku, PAN sudah punya solusi agar kader di daerah tetap mengampanyekan Prabowo-Sandiaga. Cara itu bisa dilakukan agar kader PAN bisa membagi tugas dan waktu kampanye untuk pilpres dan pileg.
"[Kampanye] bisa dilakukan secara simultan. Dia [caleg] sosialisasi dirinya, sekalian ikut sosialisasi capres kami," kata Eddy kepada reporter Tirto.
Patuh dan Rancang Strategi Pemenangan
Jika kader PAN dan Demokrat memilih membelot dari arahan partai di daerah basis lawan, kader PDI Perjuangan memilih sikap sebaliknya. Ini seperti diklaim Ketua DPD PDIP Sumatera Barat Alex Indra Lukman.
Dapil Sumatera Barat sepenuhnya milik Prabowo Subianto. Berdasarkan data Pilpres 2014 yang dirilis KPU, Prabowo memenangkan 998.425 suara atau 75,06 persen di Dapil Sumatera Barat I. Begitu juga di Dapil Sumatera Barat II, Prabowo menang dengan perolehan 799.080 suara atau 79,39 persen.
Alex mengaku tahu betul data tersebut. Dia bertanding di zona merah untuk menjadi caleg DPR RI dari Dapil Sumbar I. Namun, Alex mengklaim tetap akan mengampanyekan dirinya sendiri sekaligus Jokowi-Ma’ruf.
"Adalah kewajiban seluruh kader partai untuk melaksanakan dan mensukseskan keputusan partai," kata Alex kepada reporter Tirto.
Alex sudah jauh hari menganalisis medan perang. Menurutnya tantangan utama bertarung di Sumatera Barat ialah melawan hoaks yang masif dan sistematis. Maka dari itu, dia siap memeranginya dengan data dan fakta hingga pelaporan ke penegak hukum agar tak terulang.
"Ya pasti lebih banyak tantangan bertempur di daerah basis lawan. Untuk itu butuh kerja keras dan kreatifitas serta konsistensi dalam berjuang tanpa harus mengorbankan keputusan partai," ujarnya.
Fakta pembelotan caleg dari partai pengusung Prabowo-Sandiaga memancing komentar dari Koalisi Indonesia Kerja (KIK). Wakil Sekretaris Tim Kampanye Nasional Raja Juli Antoni menilai pembelotan itu merupakan hal wajar lantaran tak ada pembagian kekuasaan yang jelas dalam komposisi pemenangan pasangan calon tersebut.
"Ini menunjukkan koalisi yang rapuh. Semuanya diborong satu partai," kata Raja Juli Antoni di kawasan Menteng, Jakarta Pusat.
Sementara itu, Sekretaris TKN Hasto Kristiyanto mengklaim caleg dari partai pendukung Jokowi-Ma'ruf solid mendukung kandidat yang mereka usung. Alasannya, kata Hasto, semua parpol pendukung Jokowi-Ma'ruf sudah dilibatkan dalam struktur TKN pasangan itu.
"Kami menempatkan seluruh caleg itu sebagai juru kampanye dari tingkat nasional, provinsi dan kabupaten kota," lanjut Hasto. "Kami juga terus lakukan komunikasi politik sehingga bagi kami seluruh caleg, kepala daerah, dan kader partai bergerak aktif dalam memberikan dukungan."
Mengapa Caleg Enggan Promosikan Capres-Cawapres?
Peneliti politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Sandra Luky menganggap, pembelotan kader partai pengusung Prabowo-Sandiaga terjadi karena capres dan cawapres yang mereka dukung tidak berasal dari partainya sendiri.
"Idealnya sistem pemilu serentak tidak perlu mensyaratkan presidential threshold supaya masing-masing partai memiliki calon presidennya sendiri. Dengan ini, maka efek ekor jas [coattail effect] akan bekerja lebih efektif," kata Luky kepada reporter Tirto.
Luky berpendapat, fokus para caleg untuk memenangkan pileg daripada pilpres adalah pilihan yang masuk akal. Sebabnya, syarat untuk bisa menjadi anggota parlemen di Pemilu 2019 lebih berat dibanding pemilu sebelumnya. Saat ini, ambang batas suara (parliamentary threshold) agar parpol dapat mengirim anggotanya ke kursi wakil rakyat adalah 4 persen. Pada Pemilu Legislatif 2014, ambang batas suara yang berlaku adalah 3,5 persen.
"Ini tentu tidak mudah bagi sebagian besar partai yang selama ini perolehan suaranya masih fluktuatif dari pemilu ke pemilu," tuturnya.
Alumni Universitas Airlangga itu juga menuturkan, caleg pantas berkonsentrasi memenangkan pileg, lantaran mereka harus bersaing ketat dengan sesama calon wakil rakyat, bahkan dari partainya sendiri.
"Capres dan cawapres hanya dirasa lebih menjual oleh caleg yang berasal dari parpol yang sama dengan capres-cawapres tersebut," ujar pungkasnya.
Penulis: Lalu Rahadian
Editor: Dieqy Hasbi Widhana