Menuju konten utama

Prabowo Harus Belajar Sejarah: Wartawan adalah Bidan Lahirnya RI

Wartawan punya peran besar dalam proses kemerdekaan Indonesia. Tanpa mereka, Proklamasi barangkali hanya angin lalu.

Prabowo Harus Belajar Sejarah: Wartawan adalah Bidan Lahirnya RI
Prabowo memberi sambutan dalam Reuni 212 yang berlangsung di Monas, Jakarta, Minggu (2/12/2018). tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Prabowo Subianto Djojohadikusumo marah-marah kepada wartawan. Dalam pidatonya di Hotel Grand Sahid Jaya Jakarta kala menghadiri peringatan Hari Disabilitas Internasional, Prabowo menuding pers telah berupaya memanipulasi demokrasi. “[Wartawan] hanya anteknya orang yang ingin menghancurkan Republik Indonesia,” kata capres nomor urut 02 itu.

Prabowo melontarkan pernyataan itu karena ia menganggap banyak media tidak memberitakan secara besar-besaran Reuni 212 di Monas pada Minggu (2/12/2018). Bahkan media juga tidak memberitakan ada 11 juta manusia yang hadir dalam acara tersebut.

"Hebatnya media-media dengan nama besar dan katakan dirinya objektif, padahal justru mereka bagian dari usaha memanipulasi demokrasi. Kita bicara yang benar ya benar, yang salah ya salah, mereka mau katakan yang 11 juta hanya 15 ribu. Bahkan ada yang bilang kalau lebih dari 1.000," papar Prabowo.

Memang banyak yang ragu jumlah massa Reuni 212 mencapai belasan juta. Perhitungan media ini, misalnya, menghasilkan angka maksimal 1.436.208 orang.

"Pers ya terus terang saja banyak bohongnya dari benarnya,” ujar Prabowo pula.

Setelah acara di Grand Sahid Jaya, dia juga menolak ditanya wartawan. Menurutnya kebebasan pers harus memberitakan apa adanya.

"Ya tapi redaksi kamu bilang enggak ada orang di situ, hanya beberapa puluh ribu. Itu kan tidak objektif, enggak boleh dong," kata Prabowo.

Dongkol kepada wartawan tentu saja merupakan hak Prabowo, yang tampaknya sedang mutung setengah mati pada media-media saat ini. Tapi sejarah membuktikan, banyak wartawan punya peran yang tak bisa dianggap remeh dalam proses pendirian Republik Indonesia.

Banyak Wartawan Jadi Pahlawan Nasional

Jauh sebelum ada Tentara Nasional Indonesia, wartawan sudah berkontribusi membangun kesadaran nasional. Puluhan tahun sebelum Indonesia merdeka dan di masa Boedi Oetomo (BO) belum berdiri, wartawan sudah bergerak mengangkat hak asasi kuli-kuli yang tertindas oleh kolonialisme.

Tirto Adhi Soerjo adalah salah satu contohnya. Jebolan sekolah kedokteran STOVIA ini mendirikan surat kabar Medan Prijaji pada 1907. Dia memilih terjun ke dunia jurnalistik ketimbang jadi dokter seperti kebanyakan kawan sekampusnya. Dia sadar rakyat Indonesia tidak hanya butuh diobati luka fisiknya, tapi perlu dibangun kesadarannya. Tak kalah penting, Tirto mengabarkan para kuli yang menderita di Deli, Sumatra Timur.

Sebelum Medan Prijaji, Tirto terlibat dalam pendirian surat kabar pribumi pertama pada 1903. Menurut Robert Edward Elson dalam The Idea of Indonesia (2009), dia juga dikenal “karena pengaruhnya kepada pemikiran kaum intelektual vokal sesudah dia, seperti jurnalis dan editor Mas Marco Kartodikromo” (hlm. 18).

Marco yang keras tulisannya kepada pemerintah kolonial kemudian harus menghabiskan hidupnya di Boven Digoel, Papua.

Tirto bukan satu-satunya mantan siswa STOVIA yang terjun ke dunia jurnalistik. Semua yang pernah sekolah di Indonesia pastilah tahu Ki Hadjar Dewantara. Pendiri Perguruan Taman Siswa dan salah satu Pahlawan Nasional itu juga pernah jadi wartawan. Ki Hadjar Dewantara dikenang karena tulisannya, "Als ik een Nederlander was" (Seandainya saya seorang Belanda), yang dimuat di surat kabar De Express pada 1913. Tulisan itu menggugat perayaan 100 tahun kemerdekaan Belanda dengan memakai uang yang dihasilkan dari keringat petani Indonesia yang ditindas.

Tulisan itu bikin Ki Hadjar Dewantara dan dua kawannya yang dikenal sebagai Tiga Serangkai, Ernest Francois Eugene Douwes Dekker dan Tjipto Mangunkusumo, dibuang ke Belanda. Tiga Serangkai dikenal sebagai pimpinan dari partai pertama yang ingin menghimpun semua ras di Indonesia, Indische Partij.

Dua kawan Ki Hadjar itu sohor dalam pergerakan nasional. Tjipto sebagai dokter yang keras kepada pemerintah kolonial. Dekker adalah pengelola De Express yang tidak kalah menjengkelkan bagi pemerintah kolonial.

Selain sosok-sosok di atas, banyak tokoh pergerakan menganggap media itu penting dalam pergerakan. Tak heran jika aktivis buruh macam Semaoen mengelola surat kabar Sinar Djawa milik Sarekat Islam dan kemudian memimpin Sinar Hindia. Beberapa surat kabar memang terkait dengan organisasi pergerakan nasional. Karena itu tentu saja banyak wartawan terlibat langsung dalam perjuangan awal kemerdekaan Indonesia.

Setelah pulang dari pembuangan, Douwes Dekker mendirikan perguruan. Namanya Ksatriaan Instituut, yang berkedudukan di Bandung. Seperti ditulis Toeti Kakiailatu dalam B.M. Diah: Wartawan Serba Bisa (1997:40), institut itu memiliki sekolah jurnalistik. Tokoh pers Baharudin Muhammad Diah alias B.M. Diah adalah salah satu muridnya. Generasi wartawan yang seusia dengan B.M. Diah salah satunya Adam Malik, pendiri kantor berita nasional Antara.

Di antara para wartawan pergerakan nasional, banyak yang diangkat sebagai Pahlawan Nasional. Dekker, Ki Hadjar, Tirto, dan pastinya Wage Rudolf Supratman. Semua tahu, Supratman yang pernah jadi wartawan berita kriminal di Sin Po diakui jasanya berkat lagu ciptaannya, "Indonesia Raya".

Tanpa Wartawan, Proklamasi Cuma Kentut

Bukan cuma wartawan yang melaporkan dan menulis berita, jurnalis foto pun banyak juga yang punya jasa. Sebutlah Mendur dan Umbas bersaudara, yang mendirikan Indonesia Press Photo Service (IPPHOS) pada 2 Oktober 1946. Mendur dan Umbas bersaudara berasal dari kampung di Kawangkoan, Sulawesi Utara. Kawangkoan tidak jauh dari Langowan, kampung halaman ibunda Prabowo Subianto, Dora Marie Sigar. Jaraknya sekitar 16 kilometer atau sekitar setengah jam perjalanan jika naik mobil.

IPPHOS dikenal karena foto-foto bersejarahnya di masa awal kemerdekaan. Sebelum ada IPPHOS, Mendur bersaudara telah memainkan peran pentingnya: menjepret momen paling bersejarah bagi bangsa Indonesia. Alex Impurung Mendur dan adiknya, Frans Sumarto Mendur, sukses mencapai Jalan Pegangsaan Timur nomor 56 pada pagi 17 Agustus 1945, sebelum naskah Proklamasi dibacakan.

Infografik Pahlawan Berdirinya RI

Kemerdekaan Indonesia memang didukung segelintir elite militer Jepang, salah satunya Laksamana Maeda dari Angkatan Laut. Tapi Angkatan Darat Kekaisaran Jepang termasuk golongan yang tidak mengizinkannya. Mengabadikan peristiwa Proklamasi tentu saja bukan hal yang disukai balatentara Jepang.

Meski banyak foto mereka berdua dirampas, setidaknya ada beberapa foto yang diselamatkan Frans Mendur. Kisah mereka terangkum dalam biografi tipis dari Alex Mendur, Alexius Impurung Mendur (1986), yang ditulis Wiwi Kuswiyah. Hasil jepretan Frans Mendur itu, setelah aman dari ancaman militer fasis Jepang, akhirnya bisa dimuat di koran Merdeka pada 19 Februari 1946.

Kerja wartawan foto lewat potret detik-detik Proklamasi setidaknya membuat orang awam paham bahwa kemerdekaan Indonesia bukanlah hoaks.

“Banyak sekali tokoh pergerakan nasional seperti Soekarno, Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, Amir Sjarifuddin, dan lain-lain pernah aktif di penerbitan pers dalam perjuangan politiknya,” tulis Satrio Arismunandar dalam Bergerak!: peran pers mahasiswa dalam penumbangan rezim Soeharto (2005: 21).

Tak heran, banyak politikus masa kini berusaha bersikap kooperatif dengan para wartawan. Lewat pers, gagasan para politikus lah yang seharusnya tersalurkan, bukan agar pers memberitakan apa yang mereka mau.

Baca juga artikel terkait MEDIA MASSA atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Politik
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Ivan Aulia Ahsan