tirto.id - Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Ignasius Jonan melantik Dwi Soetjipto sebagai Kepala SKK Migas baru. Dwi punya beban berat menyelesaikan setumpuk pekerjaan rumah (PR) yang ditinggalkan Amien Sunaryadi, yang lengser 18 Oktober lalu.
Pengangkatan Dwi sebagai Kepala SKK Migas tertuang dalam Keputusan Presiden nomor 57/2018.
“Memberhentikan dengan hormat Amien Sunaryadi sebagai Kepala SKK disertai ucapan terima kasih. Kedua mengangkat saudara Dwi Soetjipto sebagai Kepala SKK,” ujar Jonan saat membacakan Keppres 57/2018 dalam pelantikan Dwi Soetjipto di kantornya, Senin (3/12/2018).
Nama Dwi sudah santer disebut akan menduduki jabatan Kepala SKK Migas sejak Februari 2017. Pangkal soalnya, kinerja Amien Sunaryadi dianggap tak memuaskan lantaran tak berhasil meningkatkan lifting migas dan menekan cost recovery.
Namun saat itu, Dwi yang lahir pada 10 November 1955 terganjal Pasal 12 Peraturan Presiden Nomor 9 tahun 2013 terkait batas usia pensiun Kepala SKK Migas yakni 60 tahun.
Pada April 2018, Perpres 12/2013 direvisi dengan Perpres 36/2018 dengan salah satu poinnya yang menghilangkan batas usia pensiun untuk Kepala SKK Migas.
Bukan Orang Migas
Dwi bukan pria dengan latar belakang pendidikan migas. Ia adalah insinyur Teknik Kimia dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya. Ia menamatkan studi doktoralnya di UI dengan jurusan manajemen pada 2009.
Saat menjadi Direktur Utama PT Pertamina pada 2014-2017, Dwi membekukan PT Pertamina Energy Trading (Petral) pada 2015. Perusahaan itu sempat diduga sebagai sumber logistik bagi pasangan capres-cawapres Prabowo Subianto-Hatta Rajasa pada Pilpres 2014.
Namun pada 3 Februari 2017, ia dicopot dari posisi direktur utama lantaran konflik dengan Ahmad Bambang, yang tak lain wakilnya. Ketidakharmonisan di antara keduanya dikhawatirkan berimbas buruk bagi perusahaan pelat merah itu.
Komisaris Utama Pertamina Tanri Abeng mengatakan RUPS memutuskan mencopot keduanya karena komisaris melihat Dwi dan Bambang tidak bekerja dengan baik.
Pencopotan Dwi di Pertamina sempat membuat beberapa kalangan meragukan kepemimpinan Dwi jika dirinya dilantik sebagai Kepala SKK Migas. Keraguan itu ditambah dengan latar belakang Dwi yang bukan lulusan bidang migas.
Namun, keraguan itu ditepis ahli manajemen bisnis sekaligus dosen FEB UGM Fahmy Radhi. Fahmy menilai keputusan pemerintah mengangkat Dwi sebagai Kepala SKK Migas sudah tepat.
Menurut Fahmy, Dwi punya kapabilitas dan pengalaman selama lebih dari dua tahun memimpin Pertamina. Ia mencontohkan kinerja Dwi yang sempat membuat laba Pertamina naik 121 persen karena berhasil melakukan efisiensi.
Perusahaan pelat merah perminyakan itu memperoleh laba bersih sebesar 1,42 miliar dolar AS pada 2015 dan 3,14 miliar dolar AS pada 2016. Laba operasi di tahun 2016 juga naik dari 3,92 miliar dolar AS pada 2015 menjadi 6,17 miliar dolar AS di 2016.
“Nah sekarang, kan, SKK migas masalahnya cost recovery. Karena itu, saya harap mudah-mudahan dia bisa tangani itu," ujar Fahmy kepada reporter Tirto, Senin sore.
Tantangan ke Depan
Meski dianggap punya pola manajerial yang bagus, Direktur Reforminer Institute Komaidi Notonegoro menilai pekerjaan rumah yang harus dituntaskan Dwi cukup berat. Ini karena sektor migas jadi penyumbang terbesar defisit transaksi berjalan tahun ini.
Selain menekan cost recovery, tantangan yang akan dihadapi adalah lifting migas yang stagnan serta menarik investasi untuk eksplorasi migas.
Mengacu pada data SKK Migas, produksi minyak dalam negeri memang anjlok dalam 10 tahun terakhir. Lifting minyak yang tercatat 926 ribu barel per hari (bph) pada 2008, misalnya, turun hingga 803,8 ribu bph pada 2017.
Untuk membantu mengurangi impor minyak mentah (crude oil), Komaidi menyebut, Dwi perlu kerja keras memenuhi kebutuhan domestik melalui Kontraktor Kontrak Kerja Sama (K3S). Sejauh ini, Pertamina baru membuka negosiasi dengan 11 K3S agar mau menjual minyaknya ke Pertamina.
“Dengan pengalaman beliau di Pertamina, beliau sudah tahu kondisi teman-teman K3S, dan mengerti bagaimana meningkatkan produksi, cadangan, dan sebagainya,” kata Komaidi kepada reporter Tirto.
Sementara terkait investasi, Dwi dianggap harus lebih fleksibel menarik investasi untuk mengaktifkan blok-blok migas baru. Selama ini, kata Komaidi, pemerintah belum mampu mendorong pertumbuhan produksi migas lantaran sepinya investor yang berminat mengeksplorasi.
Skema investasi yang ditawarkan pemerintah kepada pemilik modal lewat gross split. Skema ini dianggap kurang menarik dibanding skema cost recovery yang sebelumnya diberlakukan.
Ini karena skema gross split membebankan biaya operasi kepada kontraktor kontrak kerja sama (KKKS), dengan penghitungan bagi hasil pengelolaan wilayah di muka. Sedangkan skema cost recovery yang menjadikan biaya operasi K3S sebagai tanggungan pemerintah.
Komaidi menyebut, skema yang bisa dipakai Dwi nantinya bisa bermacam-macam. “Skemanya tidak kaku sebenarnya. Dalam UU migas sendiri, kan, tidak hanya gross split, dan undang-undangnya memungkinkan untuk sharing kontrak.”
Penulis: Hendra Friana
Editor: Mufti Sholih