tirto.id - Fraksi PPP DPR RI mewacanakan pengajuan Hak Angket terkait dengan penerbitan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 20 tahun 2018 tentang pencalonan anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota.
PKPU tersebut menjadi polemik karena memuat ketentuan yang melarang mantan narapidana korupsi menjadi calon legislatif (Caleg).
"Kami berbicara keras tentang larangan [mantan] napi korupsi menjadi caleg itu bukan pada substansi menolak niatannya, namun lebih pada prosedur hukum yang dilanggar," kata Wakil Sekretaris Jenderal PPP Achmad Baidowi, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (2/7/2018) seperti dikutip Antara.
Baidowi mengklaim opsi pengajuan hak angket itu sudah menjadi pembicaraan informal di internal Komisi II DPR. Karena itu, dia mengingatkan, tidak menutup kemungkinan angket akan terwujud kalau masalah PKPU itu tidak ada penyelesaiannya.
Anggota Komisi II DPR itu mencontohkan pembentukan Panitia Khusus Hak Angket terkait Daftar Pemilih Tetap (DPT) pada 2009 juga berawal dari obrolan informal.
"Namun, sampai saat ini belum ada yang mengajukan secara resmi yaitu tertulis, hanya sebatas wacana namun kami mencoba mencari solusi terbaik," ujar Baidowi.
Dia berpendapat PKPU itu terindikasi bertentangan dengan Pasal 240 ayat 1 UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu. Pasal itu menyebut bahwa caleg harus tidak pernah mendapatkan hukuman dengan ancaman di atas 5 tahun penjara, kecuali menyatakan secara terbuka bahwa yang bersangkutan mantan narapidana.
Menurut Baidowi, dalam UU Pemilu, tidak disebutkan larangan eks-narapidana kasus korupsi menjadi caleg. Karena itu, dia berpendapat, sehari setelah keluar dari penjara, mantan narapidana korupsi boleh mendaftar sebagai caleg asalkan menyampaikan surat pengakuan secara terbuka.
"Kedua, [PKPU 20/2018] diduga melanggar pasal 75 ayat 4 UU Pemilu, disebutkan bahwa KPU dalam menyusun PKPU wajib berkonsultasi dengan pemerintah dan DPR dalam rapat dengar pendapat," kata dia.
Baidowi mengakui istilah rapat konsultasi sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Namun, dalam aturan pasal 75 ayat 4 UU Pemilu itu, kata dia, KPU disebut harus berkonsultasi dengan DPR.
Sementara pasal 74 ayat 2 UU Nomor 2 tahun 2018 (UU MD3), dia menambahkan, mewajibkan setiap lembaga pemerintahan, lembaga negara, badan hukum menindaklanjuti hasil rapat dengar pendapat.
"Kita sudah tahu hasil RDP, yaitu semua menolak ketentuan larangan mantan napi koruptor menjadi caleg namun itu diabaikan oleh KPU," ujar Baidowi.
Selain itu, dia melanjutkan, UU nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- undangan memuat klausul bahwa setiap perundang-undangan berlaku sejak diundangkan dan pihak yang berhak melakukannya adalah Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham). Sementara PKPU itu dinyatakan berlaku oleh KPU meski belum diundangkan oleh Kemenkumham.
Sebaliknya, pada hari ini, Ketua KPU Arief Budiman menegaskan PKPU Nomor 20 tahun 2018 telah sah berlaku meski belum diundangkan oleh Kemenkumham.
"Sudah ditandatangani Ketua KPU, sudah ditetapkan maka sejak ditetapkan ya menjadi PKPU. KPU tidak berargumentasi lain kecuali menyakini bahwa aturan itu bisa diberlakukan," kata Arief.
Arief menambahkan PKPU itu tidak hanya memuat larangan menjadi caleg bagi mantan narapidana kasus korupsi, melainkan juga eks napi narkoba dan kejahatan seksual terhadap anak.
Dia juga menegaskan semua pihak yang menganggap PKPU tersebut melanggar UU bisa mengajukan gugatan ke Mahkamah Agung (MA) untuk pembatalannya. "Bagi pihak-pihak yang tidak setuju, silahkan uji materi ke MA, tidak perlu diperdebatkan," kata dia.
Menurut dia, pada 1 Juli 2018, PKPU itu sudah dipublikasikan di laman resmi KPU untuk keperluan pengumuman. Hal ini dilakukan karena pada 4-17 Juli 2018 merupakan jadwal penyampaian daftar caleg bagi parpol peserta pemilu 2019.
Penulis: Addi M Idhom
Editor: Addi M Idhom