tirto.id - Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 43 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Restitusi bagi Anak Korban Tindak Pidana telah diperkenalkan oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) kepada sejumlah aparat penegak hukum, mulai hakim, jaksa hingga penyidik dari kepolisian
Abdul Haris Semendawai, Ketua LPSK mengatakan PP Nomor 32 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Restitusi bagi Anak Korban Tindak Pidana baru disahkan dan ditandatangani pada akhir Oktober 2017.
Dilansir Antara, aparat penegak hukum, mulai hakim, jaksa hingga penyidik dari kepolisian menjadi peserta Pendidikan dan Pelatihan Terpadu Sertifikasi Sistem Peradilan Pidana Anak Seluruh Indonesia di Jakarta, Jumat (10/11/2017).
"Dengan demikian, PP ini masih baru sehingga perlu diketahui penegak hukum sehingga dapat dilaksanakan secara maksimal. Apalagi, PP ini dengan tegas mewajibkan penyidik kepolisian dan jaksa untuk menginformasikan kepada korban melalui orang tua atau walinya bahwa mereka punya hak untuk mengajukan restitusi," kata Abdul, dikutip Antara.
Yang dimaksud Abdul terkait bentuk restitusi adalah ganti kerugian atas kehilangan kekayaan, ganti kerugian atas penderitaan sebagai akibat tindak pidana, dan/atau penggantian biaya perawatan medis dan/atau psikologis.
Jika pelaku tindak pidana itu adalah anak, yang berkewajiban membayar restitusi adalah orang tua, baik ayah maupun ibu kandung, ayah atau ibu tiri, atau ayah dan/atau ibu angkat.
"Kerugian yang diminta ganti bisa material dan immaterial," kata Abdul.
Selain PP Nomor 43 Tahun 2017 LPSK juga menjelaskan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan yang Berhadapan dengan Hukum.
Menurut Abdul, pada sejumlah kasus, perempuan atau anak perempuan, menjadi korban tindak pidana, khususnya dalam kasus-kasus dengan perempuan sebagai korban. Sehingga lahirnya perma ini dianggap sangat relevan.
Abdul mencontohkan, anak korban perempuan dalam persidangan berhak didampingi dan pemeriksaan dimungkinkan menggunakan teleconference.
Bila anak perempuan korban tersebut mendapatkan rekomendasi dari LPSK untuk diperiksa menggunakan konferensi jarak jauh, maka jaksa dan hakim harus mengizinkannya karena pemeriksaan perempuan dan anak yang menjadi korban tindak pidana dengan telekonference dianggap sangat penting.
Biasanya pada saat anak korban harus berhadapan dengan pelaku di persidangan, mereka akan takut sehingga sulit menjelaskan penderitaan yang diterima. Kondisi demikian dikhawatirkan dapat menimbulkan trauma baru bagi mereka.
"Kami mengapresiasi Pusdik Mahkamah Agung yang menggelar kegiatan ini. Dengan harapan akan banyak penegak hukum yang peduli dengan saksi dan korban, khususnya anak dan perempuan," pungkasnya.
Editor: Yulaika Ramadhani