tirto.id - Kartun Popeye si Pelaut memiliki alur cerita yang hampir serupa pada setiap episode. Biasanya kisah dimulai dengan kedatangan Popeye dan rekan-rekannya ke suatu tempat kemudian muncul aksi kriminalitas—yang biasanya dimunculkan melalui tokoh Bluto. Lalu, terjadilah perseteruan.
Ketika hampir kalah, Popeye, yang mengenakan pakaian pelaut dan selalu menghisap cerutu, lantas mengeluarkan senjata andalan dari kantong bajunya: bayam yang disimpan dalam kaleng. Ia merobek bagian atas kaleng lalu menenggak isinya seperti meminum soda. Seketika ototnya muncul dan bergerak ke seluruh bagian tubuh. Aura keberanian pun langsung memancar.
Bayam memang selalu menjadi sorotan utama. Sayuran itu tampak seperti obat ajaib karena langsung memberikan kekuatan besar.
Baku hantam berlanjut. Popeye akhirnya berhasil mempecundangi lawan. Cerita pun selesai.
Dengan cerita yang ringan, perawakan yang lucu, dan tayang cukup intensif, Popeye berhasil menjadi karakter kesukaan anak-anak.
Berawal dari Kesalahan Informasi
Popeye pertama kali muncul pada 17 Januari 1929, tepat 93 tahun silam, sebagai tokoh pelengkap dalam komik Thimble Theater. Penciptanya bernama Elzie Crisler Segar.
Meski sekadar sampingan, sudah sejak awal Popeye digambarkan suka memakan bayam. Tujuan tak lain agar anak-anak ikut gemar memakan sayuran bernama Latin Amaranthus tersebut.
Segar tidak asal memilih bayam sebagai sayuran favorit Popeye. Kala itu terdapat hasil penelitian seorang kimiawan Jerman bernama Erich von Wolf yang mengungkap bahwa bayam memiliki kandungan zat besi tinggi, yakni 35 miligram per 100 gram. Riset tersebut dipaparkan pada 1870.
Selain berpengaruh terhadap kekuatan otot, zat besi sendiri dikenal sebagai salah satu unsur pemenuhan hidup sehat.
Bayam dipercaya memiliki zat besi tinggi hingga Popeye memulai debutnya dalam bentuk video animasi pada 1933. Namun, empat tahun kemudian, keyakinan tersebut terbukti keliru. Pada 1937, sekelompok peneliti yang melakukan perhitungan ulang atas kandungan gizi bayam menemukan unsur zat besi bukan 35 miligram, tetapi hanya 3,5 miligram per 100 gram.
Perbedaan tersebut ternyata disebabkan karena von Wolf tidak sengaja salah menaruh titik desimal dalam catatan dan lupa mengoreksinya.
Jadi, selama hampir tujuh dekade, pengetahuan tentang kandungan zat besi pada bayam adalah salah. Popeye, tentu saja, berkontribusi menyebarkannya.
Namun, setelah riset terbaru keluar, tim produksi dari Fleischer Studios memutuskan tidak mengubah kebiasaan Popeye memakan bayam. Mengapa begitu?
Artikel “The Popeye Principle: Selling Child Health in The First Nutrition Crisis” (2005) dari sejarawan Laura Lovett mengungkap jawabannya. Menurutnya, konsistensi Popeye memakan bayam, meski terjadi kesalahpahaman di dalamnya, berkaitan erat dengan ancaman krisis gizi yang melanda Amerika Serikat pada awal hingga pertengahan abad ke-20.
Ancaman ini disebabkan oleh krisis pangan pasca-Perang Dunia I. Ketika itu banyak orang sedang mengalami kesulitan finansial tidak bisa membeli sayur, daging, susu, dan makanan lain karena harganya melambung tinggi. Mereka pun terpaksa mengubah menu makannya; memilih yang lebih murah.
Memasuki 1930-an, kondisi semakin runyam karena negara didera krisis yang membuat perekonomian dan daya beli semakin menurun.
Penyebab lain tidak terlepas dari penemuan di bidang ilmu gizi. Terjadi perubahan penentuan gizi buruk sejak 1920-an. Jika sebelumnya seorang anak disebut menderita gizi buruk hanya atas pertimbangan berat dan tinggi badan, kini berdasarkan indeks dan klasifikasi yang telah ditentukan. Penentuan status malnutrisi seorang anak dapat diketahui setelah disandingkan dengan batas kategori yang disepakati.
Dari sinilah terungkap bahwa ternyata anak-anak di Negeri Paman Sam banyak menderita kekurangan gizi.
Malnutrisi berkontribusi pada tingginya angka kematian bayi, peningkatan kerentanan anak diserang berbagai penyakit, dan terganggunya proses tumbuh kembang.
Masih mengutip riset Lovett, kondisi ini semakin nyata ketika pada 1920-an para orang tua mengeluhkan penurunan daya intelektualitas anak-anak mereka di sekolah. Buah hati mereka lamban menerima pelajaran. Ternyata penyebabnya karena mereka tidak pernah sarapan akibat keadaan yang sulit.
Pemerintah pun mengeluarkan berbagai kebijakan untuk mengatasi hal ini, seperti membagikan makanan bergizi gratis, membuka klinik kesehatan dan pusat penyuluhan gizi, mewajibkan media massa untuk ikut serta mempromosikan pentingnya gizi anak, dan memproduksi pamflet serta film tentang kesehatan anak. Semuanya harus dilakukan tanpa ada unsur pemaksaan terhadap anak.
Pada kondisi inilah Popeye memainkan peran penting. Ia menumbuhkembangkan minat anak terhadap sayuran hijau selama bertahun-tahun. Mereka tak dipaksa untuk makan sayur. Mereka memakan itu dengan senang hati agar bisa seperti sang idola.
Jauh sebelum muncul koreksi atas riset von Wolf, Fleischer Studios sebetulnya sudah memahami bahwa tidak ada hubungan antara memakan bayam dengan meningkatnya kekuatan seseorang. Mereka melakukan ini agar persepsi publik tentang pentingnya gizi untuk tubuh terus terbangun.
Toh kandungan zat besi tetap ada meski lebih sedikit dari yang awalnya diperkirakan. Lalu, meski tak terkait dengan tingkat kekuatan, manfaat lain juga banyak banyak.
Singkatnya, Popeye diproyeksikan sebagai media yang terus memproduksi pengetahuan dan dapat menjadi contoh serta ikon nutrisi.
Tujuan tersebut terpenuhi. Konsumsi anak-anak terhadap bayam meningkat. Penjualan bayam pun melonjak hingga 33 persen. Bahkan, selama Great Depression, bayam berada di posisi ketiga sebagai makanan favorit anak-anak setelah kalkun dan es krim. Angka ini terus bertahan hingga beberapa tahun kemudian.
Pada dasarnya anak-anak penonton pelaut pemakan bayam tidak mempertanyakan hubungan dan kebenaran antara sayuran hijau dengan peningkatan kekuatan. Mereka hanya memosisikan Popeye sebagai media hiburan.
Tapi Popeye lebih dari sekadar hiburan. Ia juga panutan sebab sudah sifat anak kecil sering mengikuti apa yang dilihat. Ia sudah menjadi role model hidup sehat dan kuat bagi anak-anak secara global, tidak hanya pada masa lalu tapi hingga kiwari.
Penulis: Muhammad Fakhriansyah
Editor: Rio Apinino