tirto.id - Kadiv Humas Polri Irjen Pol Argo Yuwono mengemukakan perihal alasan demonstran penolak Undang-Undang Cipta Kerja merusak fasilitas umum, fasilitas kepolisian dan pemerintahan, serta melukai anggota polisi ketika berunjuk rasa.
“Ada beberapa kegiatan di media sosial yang terpantau. (Pertama) dari Medan, ada dua laporan polisi dan kemudian ada empat (orang) yang dilakukan penangkapan dan penahanan. Inisialnya adalah KA (Khairi Amri), JG (Juliana), NZ (diduga Dewi) dan WRP (Wahyu Rasari Putri),” ucap dia di Mabes Polri, Kamis (15/10/2020).
Percakapan di grup WhatsApp dijadikan barang bukti perkara. KA sebagai admin grup KAMI Medan juga menuliskan ‘mengumpulkan saksi untuk melempari DPR dan melempari polisi’, ‘kalian jangan mundur, jangan takut.’ KA pun kedapatan membagikan nasi bungkus dan mengarahkan demonstran.
Selanjutnya, JG, yang juga tergabung dalam grup, menuliskan ‘batu kena satu orang, bom molotov bisa kebakar sepuluh orang dan bensin bisa berceceran’; ‘buat skenario seperti 1998’; ‘penjarahan toko Cina dan rumahnya, preman diikutkan untuk menjarah.’ Dalam realisasinya, massa yang membawa bom molotov melemparkannya ke sebuah mobil.
Sementara NZ menuliskan ‘Medan cocoknya didaratin, yakin pemerintah sendiri bakal perang sendiri sama Cina’; WRP menuliskan ‘besok wajib bawa bom molotov.’ Bahkan gedung DPRD Sumatera Utara juga jadi sasaran amuk massa, yang menurut Argo itu adalah imbas dari penggunaan pola penghasutan dan penyebaran berita bohong.
“Dari WhatsApp grup itu mereka mengumpulkan uang untuk suplai logistik, terkumpul Rp500 ribu,” jelas Argo. Keempatnya kini resmi jadi tersangka, dijerat Pasal 28a ayat (2) juncto Pasal 45 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang ITE, dan Pasal 160 KUHP. Mereka terancam hukuman 6 tahun penjara.
Argo melanjutkan, polisi menangkap JH (Jumhur Hidayat) lantaran mengunggah kalimat ‘undang-undang memang untuk primitif, investor dari RRC dan pengusaha rakus’ di akun Twitter miliknya. Dia dibekuk di Jakarta.
UU ini memang utk PRIMITIVE INVESTORS dari RRC dan PENGUSAHA RAKUS. Kalau INVESTOR BERADAB ya seperti di bawah ini:
— Jumhur Hidayat (@jumhurhidayat) October 7, 2020
35 Investor Asing Nyatakan Keresahannya terhadap Pengesahan UU Cipta Kerja
Klik untuk baca: https://t.co/ObnUlgG719
Menurut polisi cuitan itu merupakan bentuk penyebaran berita bohong mengandung kebencian via media sosial. Ia dijerat Pasal 28 ayat (2) juncto Pasal 45a ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang ITE, dan Pasal 14 ayat (1) dan (2), dan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946, dengan ancaman 10 tahun penjara.
Pelaku selanjutnya yakni DW (diduga pemilik akun Twitter @podoradong), yang mencuit “Jadi bohong kalau urusan omnibus law bukan urusan istana Omnibus law adalah buah kesepakatan pemenangan Jokowi pada pilpres 2019.’
Jadi bohong kalau urusan omnibus law bukan urusan istana
— Podoradong (@podoradong) August 16, 2020
Omnibus law adalah buah kesepakatan pemenangan Jokowi pada pilpres 2019
Polisi menjeratnya dengan Pasal 28 ayat (2) juncto Pasal 45a ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang ITE, dan Pasal 14 ayat (1) dan (2), dan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946, dengan ancaman 6 tahun penjara.
Lantas polisi mencokok AP (Anton Permana) karena lelaki itu mengatakan ‘Multifungsi Polri yang melebihi dwifungsi ABRI yang dulu kita caci maki..’ di tayangan Youtube dan cuitan di akun Facebook; ‘Disahkan UU Ciptaker, bukti negara ini telah dijajah’, dan narasi soal penolakan Omnibus Law. Polisi mempersangkakannya dengan Pasal 45a ayat (2) juncto Pasal 28 ayat (2) UU ITE, Pasal 14 ayat (1) dan (2), Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946, Pasal 207 KUHP, dengan ancaman 10 tahun penjara.
SN (Syahganda Nainggolan), yang juga diciduk polisi lantaran cuitan yang intinya menolak Omnibus Law dan mendukung demonstrasi buruh. Ia juga membuat narasi yang menurut polisi tidak sesuai dengan gambar. Maka ia dikenakan Pasal 14 ayat (1) dan (2), Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946, dengan ancaman lebih dari 6 tahun kurungan.
Terakhir, polisi menangkap KA (Kingkin Anida) yang mengunggah di akun Facebook miliknya ihwal pasal-pasal Omnibus Law yang merugikan rakyat. Argo bilang, unggahan itu adalah hoaks dan tidak diperbolehkan. Pasal 14 ayat (1) dan (2) dan/atau Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946, dengan ancaman lebih dari 6 tahun kurungan.
Penyidik telah memeriksa ahli pidana, ahli bahasa, pun ahli teknologi, berkaitan dengan perkara ini. “Pola penyebaran hoaks mengakibatkan ada anarkisme (dan) vandalisme, sehingga membuat petugas luka, barang, gedung, fasilitas umum rusak. Semuanya membuat kepentingan umum terganggu,” kata Argo.
Bagi kesembilan tersangka ini polisi tak memberikan penangguhan penahanan. Penyidik juga masih mendalami perkara, maka tak menutup kemungkinan akan ada tersangka lainnya.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Restu Diantina Putri