tirto.id - Darinyalah berdengung keras kalimat “masa lalu selalu aktual.” Tulisan-tulisannya menggambarkan bahwa dia bak mesin waktu yang bernyawa. Orang-orang mengenal pria ini dengan nama P. Swantoro—"P" merupakan kependekan dari Pollycarpus, nama baptisnya. Rekan-rekan kerjanya di harian Kompas lazim memanggil dia Pak Swan.
Di antara buku-buku Swantoro yang paling menarik dibaca adalah Masa Lalu Selalu Aktual dan Dari Buku Ke Buku: Sambung Menyambung Menjadi Satu. Dua buku itu sudah selayaknya menjadi bacaan wajib mahasiswa jurusan sejarah, baik yang ingin jadi peneliti, guru, maupun jurnalis.
Lewat buku-bukunya, Swantoro mengajarkan kita semua bahwa apa yang terjadi di hari ini adalah pengulangan dari masa lalu, hanya dalam dimensi waktu dan ruang yang berbeda.
Swantoro pernah mendalami ilmu sejarah di Universitas Gadjah Mada antara 1960 hingga 1964. Sebelumnya, dia kuliah di Institut Keguruan Ilmu Pendidikan (IKIP) Sanata Dharma. Kedua kampus itu berada di Yogyakarta.
Swantoro barangkali layak dijuluki sebagai orang yang rajin sekolah. Sebelum kuliah, setelah lulus dari Seminari Menengah Mertoyudan, dia rela mengulang lagi di kelas satu SMA St. Albertus Malang. Laki-laki kelahiran Wates, 26 Januari 1932 ini telah menghabiskan lebih dari 20 tahun hidupnya untuk sekolah.
Ketika bersekolah di Seminari Menengah Mertoyudan, Swantoro punya kakak kelas bernama Jakob Oetama. Mereka berdua lalu akrab. Menurut St. Sularto dalam Syukur Tiada Akhir: Jejak Langkah Jakob Oetama (2011: 55), Jakob lah yang belakangan meminta Swantoro pindah dari Yogyakarta yang teramat nyaman ke belantara ibu kota Jakarta.
Mula-mula, Swantoro bekerja di majalah Penabur, sebelum akhirnya bergabung bersama Kompas. Jakob Oetama pernah jadi orang penting di dua surat kabar itu. Ketika Jakob Oetama selaku pimpinan redaksi Kompas harus studi sebentar ke Amerika, maka Swantoro menggantikannya.
“Jakob percaya Swantoro. Pembawaan diri Swantoro itu get things done, tidak bertele-tela, cekak aos (padat berisi), sigap bertindak dan cepat membuat keputusan,” tulis St. Sularto (hlm. 19-20).
Sebagai sahabat akrab, menjadi wakil dari jabatan apapun yang diemban Jakob tentu bukan hal aneh bagi Swantoro. Dari 1966 hingga 1989, misalnya, Swantoro pernah menjabat Wakil Pemimpin Redaksi Harian Kompas.
A.M. Dewabrata, yang sejak 1975 sudah jadi wartawan Kompas, punya kenangan tersendiri soal Swantoro sebagai salah satu atasannya. “Adapun Wakil Pemimpin Redaksi Pak Swantoro dengan tegas menyatakan, mutu itu bukan hanya isinya, tetapi juga cara menyajikannya. Kalau tidak bermutu, tidak dibaca orang,” tuturnya dalam buku Seri Jurnalistik Kompas; Kalimat Jurnalistik: Panduan Mencermati Penulisan Berita (2010: XI).
Untuk itu, seingat Dewabrata, seorang wartawan haruslah pantang menyerah.
Seperti dicatat dalam buku Kompas Menulis Dari Dalam (2007: 8), Swantoro memegang peran menonjol di harian yang terbit pertama kali pada 28 Juni 1965 itu. Setelah Petrus Kanisius Ojong, salah satu pendiri Kompas, meninggal dunia pada 1980, Swantoro menjadi pendamping Jakob Oetama yang paling penting.
Di samping dunia jurnalistik yang terkait berita hari ini, Swantoro, yang merasakan bangku kuliah di jurusan sejarah, juga mendalami dan menulis soal peristiwa-peristiwa masa lampau. Disebutkan pula dalam Kompas Menulis Dari Dalam bahwa ada tradisi sosialisme dalam diri Pollycarpus Swantoro. Sebagai seorang pengikut Kristus, tentu dirinya diajarkan soal kasih sayang dan semangat berbagi kepada sesama. Menjadi sosialis tentu bukan sesuatu yang keliru.
Masih menurut buku tersebut,tradisi sosialisme Swantoro dipengaruhi oleh sosialisme intelektual Jesuit dari majalah Basis dan pendekatan penulisan sejarah sosial yang dirintis Profesor Aloysius Sartono Kartodirdjo dari Jurusan Sejarah Universitas Gadjah Mada. Pengaruh lain datang dari pendekatan hermeneutis kebahasaan yang dirintis Profesor Petrus Josephus Zoetmulder, ahli bahasa Jawa Kuno dari Universitas Gadjah Mada juga, dalam menelaah kebudayaan Jawa.
Karena itulah apa yang ditulis Swantoro bukan sekedar paparan data atau tumpukan fakta. Selalu ada "nyawa" masa lampau dalam tiap tulisannya.
Jurnalisme Sejarah
Romo Sindhunata, seperti ditulis dalam pengantarnya untuk buku Masa Lalu Selalu Aktual (hlm. xiii), sempat bertanya kepada Swantoro. “Mengapa Pak Swan menulis sejarah untuk jurnalisme? Dan, apa arti sejarah bagi jurnalisme Pak Swan?”
Swantoro tak mau menjawab panjang lebar. Dia hanya bilang, “In het heden ligt het verleden, in het nu watkomen zal.” Artinya kira-kira, menurut Romo Sindhu, adalah "dalam masa sekarang kita mendapati masa lalu, dalam masa sekarang kita mendapati apa yang terjadi di masa datang."
Romo Sindhunata tentu mengenal Swantoro sejak muda, paling tidak lewat tulisan-tulisannya. Swantoro pernah menjadi redaktur Basis—majalah kebudayaan yang dijalankan komunitas Katolik di Yogyakarta dan sejak lama menjadi sajian penting bagi kaum terpelajar—pada awal 1960-an. Di periode yang sama, sebelum hijrah ke Jakarta, Swantoro juga mengajar di Universitas Sanata Dharma.
Bagi Romo Sindhunata, buku yang ditulis Swantoro itu sangatlah menarik untuk dibaca para mahasiswa jurusan sejarah, sebab buku ini mempunyai nilai dokumentatif yang cukup kaya.
Menurut Romo Sindhunata pula, apa yang dikerjakan Swantoro adalah suatu jurnalisme sejarah. “Buku ini penting dibaca pertama-tama oleh para wartawan,” katanya.
Hingga hari ini tidak sedikit media, baik cetak maupun siber, yang menyajikan artikel-artikel sejarah. Apa yang dilakukan Kompas sejak pertengahan 1960-an lewat tangan Swantoro nyatanya tidak pernah mati.
Pada Minggu (11/8/2019) kemarin, Pollycarpus Swantoro meninggal dunia. Dia kini tidak lagi berada di masa lalu dan telah berada di masa depan yang kekal.
Editor: Ivan Aulia Ahsan