tirto.id - Sejarawan Taufik Abdullah (81) masih ingat bagaimana ia dan kawan-kawannya dulu membangun Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) dengan susah payah. “Kami saat itu hanya sedikit orang dan profesi sejarawan belum sekuat sekarang,” katanya.
Taufik Abdullah adalah salah satu dari sedikit saksi hidup yang melihat sekaligus terlibat dalam perkembangan historiografi Indonesia dari zaman ke zaman. Pada 1970-an, ia adalah wonderkid dalam dunia ilmu sejarah di Indonesia. Gelar doktor baru saja diraihnya dari Cornell University, salah satu kampus ternama di Amerika yang memiliki jurusan Kajian Indonesia. Ia meraih gelar Doktor di bawah bimbingan langsung George McTurnan Kahin, mahaguru para indonesianis.
Kariernya cemerlang di dunia akademik dan di kemudian hari dikenal sebagai sejarawan yang tajam mengulas peristiwa masa lalu. Sebagai sejarawan senior saat ini, ia dengan rendah hati meyakini bahwa anak-anak muda yang akan memegang peranan penting dalam penulisan sejarah Indonesia.
“Saya kaget ketika tadi ditunjukkan sebuah buku yang ditulis oleh anak muda. Topiknya tentang penyakit sifilis di zaman kolonial. Itu sesuatu yang tidak pernah terpikirkan oleh generasi saya. Bagus sekali,” puji Taufik.
Anak muda yang dimaksud Taufik adalah Gani Ahmad Jaelani (34), pengajar jurusan Sejarah Universitas Padjadjaran. Buku yang disinggung Taufik berasal dari tesis yang ia pertahankan di Perancis tentang penyakit kelamin di Jawa masa kolonial. Sekarang dia menyandang gelar Doktor dari EHESS, Paris, dengan disertasi soal higienitas di Hindia Belanda.
Bagi sejarawan senior macam Taufik, tema yang ditekuni Gani memang terdengar unik. Di zamannya, tema-tema penulisan sejarah cenderung berkutat pada soal-soal “serius”: perang, pemberontakan petani, revolusi, perubahan sosial, atau pergerakan nasional. Di tangan para sejarawan muda saat ini, tema, pendekatan, dan metodologi penulisan sejarah kian beragam.
Sementara itu, Hilmar Farid (49), Ketua Umum MSI yang juga Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, mengungkapkan optimismenya soal masa depan historiografi Indonesia di tangan sejarawan muda. “Saya yakin anak-anak muda ini akan membawa sesuatu yang baru bagi historiografi kita,” katanya.
Sore itu, Jumat (8/9), Hilmar dan Taufik berpidato dalam acara perayaan ulang tahun MSI ke-47. Dua sejarawan beda generasi ini dipertemukan oleh sebuah momen ketika keprihatinan terhadap miskinnya terobosan baru dalam historiografi Indonesia semakin meningkat.
Keduanya pun ditautkan sebuah persamaan yang barangkali tak disadari oleh mereka sendiri: sama-sama menjadi pelopor historiografi baru di generasinya masing-masing.
Taufik, sejak dekade 1970-an, banyak menulis sejarah dengan pendekatan ilmu sosial yang mendalam dan ia sangat mumpuni di bidang itu. Sementara Hilmar memberi corak baru bagi sejarah pergerakan nasional (skripsinya tentang politik bahasa Balai Pustaka di awal abad 20) dan gerakan kiri Indonesia ketika penulisan sejarah kental dengan dominasi pendekatan militeristik ala Orba.
Acara ulang tahun MSI tersebut sekaligus juga menjadi ajang peluncuran Jurnal Sejarah yang sempat mati suri selama beberapa edisi. Kali ini, Jurnal Sejarah diterbitkan dalam dua versi: cetak dan online.
Jurnal ini juga menandai kebangkitan historiografi Indonesia di tangan anak-anak muda. Hampir semua penulis jurnal adalah mereka yang lahir pada 1980-an dan 1990-an. Sebuah perkembangan bagus di tengah makin jarangnya karya akademik dari sejarawan-sejarawan Indonesia.Jurnal Sejarah adalah produk utama MSI sebagai organisasi profesi sejarawan. Jika disetarakan melalui perindeksan Scopus, idealnya jurnal ini memiliki rating tertinggi dibanding jurnal-jurnal serupa karena dikeluarkan oleh organisasi profesi. Itu juga yang akan dikejar oleh para redaktur jurnal.
“Kami berusaha agar jurnal ini menjadi avant garde dalam mengembangkan historiografi Indonesia kontemporer,” kata Andi Achdian (50), Doktor ilmu sejarah Universitas Indonesia yang menjadi Editor-in-Chief jurnal, saat diwawancarai Tirto.
Dalam dunia serba digital, mau tak mau sebuah jurnal akademik juga masuk ke ranah itu. Jurnal Sejarah, karena itu, memilih menjadi jurnal terbuka yang bisa diakses siapa saja secara pro bono. “Jurnal Sejarah bisa diunduh secara gratis. Termasuk edisi-edisi sebelumnya juga akan kami usahakan versi digitalnya,” lanjut Andi.
Seperti Taufik dan Hilmar, Andi juga sepakat bahwa di tangan anak mudalah historiografi Indonesia saat ini bertumpu. Katanya: “Prioritas kami adalah menerima naskah anak-anak muda. Kami memberi tempat seluas-luasnya bagi mereka. Mereka harapan perubahan dan kemajuan.”
Jika dilihat dari sudut pandang kesenjangan antargenerasi, memang hanya generasi sekarang yang paling memahami zeitgeist (jiwa zaman) seluruh gejolak dan keresahan yang terjadi saat ini. Secara usia, mereka kebanyakan masuk dalam kategori generasi milenial.
Maka dengan perkembangan ilmu sosial-humaniora di Indonesia yang begitu pesat dalam dua dasawarsa terakhir, ada secercah harapan bagi masa depan historiografi Indonesia di tangan para sejarawan milenial. Ditambah lagi makin banyaknya sejarawan muda yang terdidik dalam tradisi akademik Eropa dan Amerika. Hal itu memungkinkan pendekatan, metodologi dan tema bisa sangat beragam.
Situasi itu diharapkan membuat historiografi Indonesia bisa semakin mandiri dan tidak lagi bergantung kepada “mazhab-mazhab” tertentu dalam ilmu sejarah.
Penulis: Ivan Aulia Ahsan
Editor: Zen RS