Menuju konten utama

Kala Sejarah(wan) Bersertifikasi

Pemerintah tiba-tiba melempar wacana untuk membuat sertifikasi bagi para sejarawan. Dalihnya agar sejarawan bisa mengirim 'karangan' ke jurnal internasional. Namun rencana ini bisa kontra produktif bila sertifikasi bersifat pendataan atau kontrol semata sehingga tidak ada manfaat yang bisa mengembangkan sejarawan untuk terus berkarya.

Kala Sejarah(wan) Bersertifikasi
avatar petrik matanasi

tirto.id - Satu dekade belakangan, negeri ini keranjingan dengan sertifikat. Setiap seminar, meski tak paham dan malas berpikir untuk mencerna isi seminar, mendapat sertifikat bagi peserta lebih penting. Sertifikat-sertifikat itu dikoleksi, seringkali jadi syarat kelulusan atau untuk mengajukan tunjangan. Padahal belasan tahun silam seminar-seminar di kampus-kampus tergolong sepi. Apalagi seminar pendidikan. Namun setelah ada program sertifikasi guru, seminar pendidikan selalu penuh. Bahkan peserta rela bayar demi selembar sertifikat.

Di dunia pendidikan, Anda tentu sering dengar Guru Bersertifikat, yang tunjangannya dipangkas Menteri Keuangan Sri Mulyani, yang baru pulang dari Amerika itu. Sebagai mantan guru sejarah di sekolah partikelir (baca: swasta), juga sebagai mantan guru yang tak bersertifikasi dan tak pernah makan uang sertifikasi, saya sepakat dengan Sri Mulyani. Bagi saya, sertifikasi tidak ada untungnya bagi siswa. Hanya untung bagi guru yang mendapatkannya. Daripada uangnya buat guru yang jelas gajinya, lebih baik uang itu untuk guru honor yang tidak jelas nasib perutnya. Meski beban kerjanya sama dengan guru yang berstatus PNS, tapi pendapatan mereka jauh berbeda.

Di tengah polemik pemangkasan tunjangan guru bersertifikasi, muncul ide 'jenius' pemerintah yang berencana mengeluarkan sertifikasi profesi sejarawan Indonesia. Sebagai orang yang mengaku-ngaku sebagai sejarawan, saya mulai berpikir macam-macam. Bagi saya, pemerintah luar biasa menyikapi kurang bergairahnya Masyarakat Sejarah Indonesia (MSI) di masa kini. Ibarat pasangan suami istri, MSI boleh dibilang kehilangan gairah bercinta. Jika pun gaungnya masih ada, MSI kurang membuat sejarawan Indonesia produktif.

“Sertifikat itu nanti bisa digunakan jika mau mengirim karangan ke dunia internasional. Jadi meski sudah menulis sejarah, tapi ketika ke internasional pasti ditanya mana kompetensinya,” ujar Saptari Novia Kasubdit Pembinaan Tenaga Kesejarahan Direktorat Sejarah pada Direktorat Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Nantinya akan ada tim assesor yang menguji layak tidaknya seseorang diberi sertifikat profesi sejarawan.

Iva Sativa, kawan saya, membayangkan bagaimana jika para assesor itu orang-orang macam Nugroho Notosusanto, Kivlan Zein, Salim Said atau Taufik Ismail? Bisa jadi kawan-kawan sejarawan yang dianggap kiri alias sosialis, bisa tidak dapat sertifikat. Tanpa sertifikasi yang dianggap ukuran kompetensi itu, jangan harap karya Anda bisa dikirim ke jurnal-jurnal internasional. Seorang kawan muda pecinta sejarah pun mencium sebuah 'kejeniusan' negara.

Bisa jadi juga begitu, karena negara ditakdirkan untuk boleh melakukan apa saja, termasuk menyensor sejarawan. Seperti Lembaga Sensor Film memotong adegan-adegan syur. Bicara soal bahaya tulisan sejarah, pemerintah mungkin menganggap saat ini sudah bermunculan agen-agen berkedok sejarawan dari 'Negara Api' yang akan menyerang. Di mana 'Negara Api' itu menciptakan dajjal-dajjal bernama sejarawan.

Sementara sebagian kawan saya yang sudah dicap sejarawan, dan mereka belum disertifikasi sebagai sejarawan, tidak banyak komentar. Dengan bijak, seperti para resi zaman dulu kala, mereka memilih nyengir saja. Mereka hanya menunggu apa yang terjadi. Jika rencana ini jadi, barangkali mereka, juga saya, mungkin akan ikut mengisi formulir. Biar makin diakui sebagai sejarawan. Barangkali tunjangan guru bersertifikasi yang dihapus itu akan dialihkan ke sejarawan bersertifikasi. Tentu sejarawan-sejarawan itu akan lebih terpacu untuk berkarya. Tak perlu yang sedahsyat karya Ben, cukup makalah soal sejarah RT atau dusun saja sudah menggembirakan.

Namun, jika sertifikasi hanya sifatnya pendataan, atau kontrol pemerintah semata, tidak ada manfaat yang bisa mengembangkan sejarawan untuk terus berkarya, maka hanya membuang waktu saja. Apakah redaksi Jurnal Indonesia di Universitas Cornell lebih melihat sertifikat sejarawan pengirim tulisan, ketimbang melihat seberapa penting dan menariknya isi tulisannya? Barangkali, setelah adanya sertifikasi sejarawan, maka mereka yang belum tersertifikasi tak boleh menerbitkan karya mereka di penerbitan mana pun.

Saya membayangkan setelah berlaku sertifikasi itu, di setiap artikel atau buku, setelah nama si sejarawan maka akan ada nomor sertifikasi dari pemerintah setelah nama sejarawan. Dan sejarawan lama-lama mirip serdadu pemegang nomor register pusat (NRP).

Selain sejarawan, bukan tidak mungkin lama-lama para musisi, tukang ojek tua, tukang bakso, tukang sapu, pekerja seks komersil, dan lainnya lama-lama harus punya sertifikat. Bila tertangkap tangan tidak memiliki sertifikat, Satpol PP akan menggaruk mereka.

Pada akhirnya ketika negara mengeluarkan beragam sertifikat profesi, sejatinya negara sedang membuat orang kecanduan pada sertifikat. Negara membuat orang berlomba-lomba mendapatkan dan mengumpulkan sertifikat. Negara membuat orang menjadi lupa, bahwa dalam kitab suci manapun Tuhan tak memerintahkan umatnya berlomba-lomba mengumpulkan sertifikat.

Dari semua sertifikat itu, bagi saya, tak ada yang lebih berharga, kecuali sertifikat hak milik atas tanah.

Catatan: Opini ini telah mengalami perubahan karena keberatan sejumlah pihak.

*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.