Menuju konten utama

Politikus Senior Golkar: Penetapan Airlangga sebagai Ketum Tak Sah

Menurut Fahmi Idris, penetapan ketua umum tak bisa dilakukan melalui sidang pleno.

Politikus Senior Golkar: Penetapan Airlangga sebagai Ketum Tak Sah
Airlangga Hartarto (kanan) usai menyampaikan pengunduran dirinya dari bursa caketum Golkar dalam Musyawarah Nasional IX di Nusa Dua, Bali, Senin (1/12). Antara foto/puspa perwitasari/asf/ama/14.

tirto.id - Penetapan Airlangga Hartarto sebagai Ketua Umum DPP Partai Golkar yang hanya melalui mekanisme sidang pleno menuai kritik dari Fahmi Idris. Politikus senior Partai Golkar ini terkejut dan menilai apa yang menjadi keputusan sidang pleno DPP Golkar tidak sah.

“Hah? Tidak mungkin! Tidak sah,” kata Fahmi kepada Tirto di Jakarta, Kamis (15/12).

Fahmi tak mempersoalkan keinginan Airlangga menjadi ketua umum. Namun, hal itu mesti dilakukan sesuai Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) partai. Fahmi menjelaskan sidang pleno DPP tidak berwenang menentukan ketua umum Golkar. Sebab penetapan ketua umum hanya bisa dilakukan melalui mekanisme musyawarah nasional (munas) atau musyawarah nasional luar biasa (munaslub).

“Kenapa [tidak sah]? Karena penentuan ketua umum itu hanya ada pada munaslub dan munas. Itu kan pleno,” ujar Fahmi.

Dalam AD/ART dan tradisi Partai Golkar, penetapan ketua umum didahului dengan penjaringan dan penyaringan calon di forum rapat pimpinan nasional. Selanjutnya calon-calon itu berkontestasi meraih dukungan pemilik suara di ajang munas atau munaslub. Fahmi menilai penetapan Airlangga sebagai ketua umum membuat agenda rapimnas pada 18 Desember dan munaslub pada 19 sampai 20 Desember tidak relevan untuk dilaksanakan.

“Kenapa ada rapimnas kalau memang sudah ada ketua umum? Rapimnas itu [harusnya] tetapkan Pak Airlangga sebagai [salah satu] calon untuk dipilih di munaslub. Pada 20 Desember diselenggarakan munaslub untuk pilih ketua umum,” papar Fahmi.

Bagi Fahmi, lepasnya status ketua umum yang diemban Setya Novanto bukan alasan DPP menabrak aturan internal partai. Sebab sebelum Novanto mengundurkan diri sudah ada Idrus Marham yang menjabat sebagai pelaksana tugas (Plt) ketua umum. “Kan ada Plt, lebay itu [keputusan pleno]. Tidak mengerti organisasi,” kritiknya.

“Guna apa diadakan rapimnas kalau sudah ada ketua umum? Guna apa diadakan munaslub kalau sudah ada ketua umum? Coba, gak logis dong.”

Kritik senada juga disampaikan politikus Golkar Lalu Mara Satriawangsa. Mantan Wakil Sekretaris Jendral DPP Partai Golkar ini menilai media keliru memahami keputusan pleno. “Menurut saya berita di media misleading. Sidang pleno tidak memilih dan atau menetapkan ketua umum,” kata Lalu.

Lalu mengatakan Pasal 14 Anggaran Rumah Tangga (ART) Partai Golkar yang berbunyi: "pengisian lowongan antar waktu Pengurus Dewan Pimpinan Pusat ditetapkan oleh Rapat Pleno Dewan Pimpinan Pusat dan dilaporkan kepada Rapat Pimpinan Nasional", tidak bisa dijadikan dasar menetapkan Airlangga sebagai ketua umum. Sebab, maksud dari pasal tersebut bukan untuk mengganti ketua umum, tapi untuk jabatan pengurus di bawah ketua umum.

“Karena ketua umum itu dipilih melalui forum tertinggi partai yakni munas dan atau munaslub,” ujarnya.

Lalu mengatakan rapat pleno merupakan forum pengambilan keputusan di bawah rapimnas dan munas atau munaslub. Sehingga penetapan Airlangga sebagai ketua umum melalui rapat pleno patut menjadi pertanyaan. “Masak forum yang tingkatnya di bawah Munas/Munaslub yang menetapkan ketua umum?” ujarnya.

Lalu menyatakan rapat pleno hanya melibatkan pengurus DPP. Padahal hak memilih ketua umum dalam munas atau munaslub tidak hanya ada di tangan pengurus DPP, tapi juga ada di tangan DPD II, DPD I, serta Ormas mendirikan dan didirikan. Ia khawatir keputusan pleno yang mengabaikan hak pemegang suara dalam menentukan ketua umum bisa menjadi catatan buruk bagi sejarah partai.

“Kalau keputusan sidang pleno dipakai sebagai dasar untuk menetapkan Pak Airlangga sebagai ketum, maka itu cacat konstitusi. Itu preseden yang tidak baik,” ujarnya.

Lalu berharap setiap pengurus maupun kader Golkar berpegang pada konstitusi partai. “Bahwa nanti calonnya hanya satu yakni Pak Airlangga, ya tidak apa-apa. Tapi tetap diputuskan dan ditetapkan lewat munas/munaslub. Bukan lewat rapat pleno,” katanya.

Theo L. Sambuaga, Wakil Ketua Dewan Pembina DPP Golkar mengatakan Airlangga tidak boleh mengambil keputusan-keputusan strategis seperti menunjuk ketua DPR dan mengubah rekomendasi pencalonan kepala daerah yang telah diputuskan DPP. Hal ini karena—dalam bahasa Theo—Airlangga baru berstatus sebagai pejabat ketua umum yang mesti dikukuhkan melalui forum munaslub.

“Kalau kebijakan strategis setelah munaslub,” ujarnya.

Meski begitu, Theo mengklaim penetapan Airlangga sebagai ketua umum sudah sah. Ia beralasan sidang pleno merupakan forum pengambilan keputusan tertinggi partai. “Itu sudah sesuai prosedur, pleno itu kekuasaan tertinggi,” ujarnya.

Pernyataan Theo bahwa pleno merupakan forum pengambilan kekuasaan tertinggi berbeda dengan aturan yang terdapat dalam Pasal 32 Anggaran Dasar Partai Golkar. Ayat (1) pasal tersebut menyatakan pengambilan keputusan tertinggi partai adalah musyawarah nasional, musyawarah nasional luar biasa, rapat pimpinan nasional, rapat kerja nasional, dan rapat konsultasi nasional yang sering disebut dengan istilah rapat. Dalam ayat (2) Anggaran Dasar juga disebutkan bahwa pemilihan dan penetapan ketua umum dilakukan melalui forum musyawarah nasional atau musyawarah nasional luar biasa.

Selain itu, Anggaran Rumah Tangga Partai Golkar dalam Pasal 50 menyebutkan bahwa pemilihan pimpinan partai, baik itu pemilihan ketua umum atau ketua di daerah, mesti melalui mekanisme penjaringan, pencalonan, dan pemilihan.

Namun begitu Theo beralasan penetapan Airlangga tak terelakkan pascamundurnya Novanto sebagai ketua umum. Ia beralasan jabatan plt ketua umum yang diemban Idrus tidak bisa menutup kekosongan kepemimpinan organisasi. “Kalau plt kan melaksanakan tugas ketua umum karena ketua umum [masih ada tapi] berhalangan. Ini [sekarang] sudah tidak ada ketum,” katanya.

Forum munaslub menurut Theo akan menjadi ajang pengukuhan Airlangga sebagai ketua umum. Jika hal ini benar terjadi, maka Airlangga menjadi ketua umum kedua setelah Aburizal Bakrie yang ditetapkan secara aklamasi pascareformasi. “Kalau memang tidak ada calon lain, wajar saja [aklamasi],” ujarnya.

Penjelasan Theo bahwa Airlangga hanya berstatus sebagai pejabat ketua umum berbeda dengan hasil keputusan sidang pleno DPP Golkar pada Rabu (13/12) malam di Jalan Anggrek Neli, Slipi, Jakarta Barat. Saat itu Ketua Harian DPP Golkar Nurdin Halid mengatakan Airlangga menjadi ketua umum.

“Pengisian jabatan lowong dilakukan melalui rapat pleno dan memutuskan pergantian ketua umum dari Pak Setya Novanto ke Pak Airlangga,” ujar Nurdin.

Nurdin menyatakan keputusan pleno menjadikan Airlangga ketua umum sejalan dengan hasil rapat pleno pada 21 November 2017. Saat itu, pleno memutuskan apabila praperadilan Novanto ditolak maka jabatan ketua umum dinonaktifkan dan jabatan pelaksana tugas ketua umum Idrus Marham juga selesai.

Dia juga mengklaim keputusan rapat pleno ini bisa dipertanggungjawabkan dengan Pasal 13 dan Pasal 14 Anggaran Rumah Tangga Partai Golkar. Padahal pasal ini, hanya mengatur pengisian lowongan antarwaktu pengurus DPP bukan ketua umum.

Airlangga merasa penetapan dirinya sebagai ketua umum sudah sah sesuai. Ia berjanji akan mengakomodasi seluruh kader Golkar dalam masa kepemimpinannya nanti sampai tahun 2019.

"Dan keputusan rapat pleno ini menunjukkan bahwa proses demokrasi di Partai Golkar berjalan sesuai tata tertib. Bahwa partai Golkar mengerti apa yang dikehendaki oleh rakyat," kata Menteri Perindustrian ini.

Baca juga artikel terkait MUNASLUB GOLKAR atau tulisan lainnya dari Jay Akbar

tirto.id - Politik
Reporter: Jay Akbar
Penulis: Jay Akbar
Editor: Maulida Sri Handayani