tirto.id - Politikus PKB Lukman Edy mengatakan, melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang sudah menyentuh lebih dari Rp15.000 tidak terlalu mengkhawatirkan. Sebab, kata Lukman, dana desa bisa menjadi solusinya.
“Dana desa Pak Jokowi inilah jawabannya. Jumlahnya signifikan sekali,” tegas Lukman di kawasan Menteng, Jakarta pada Senin, (8/10/2018).
“Seperti apapun gejolak ekonomi global hari ini, maka ketika desa ini telah bisa mandiri, bisa menyumbang angka pertumbuhan ekonomi, maka dolar Rp 15 ribu tidak terlalu mengkhawatirkan,” lanjut dia.
Dalam kesempatan itu, Lukman juga mengklaim bahwa dana desa yang berhasil diserap mencapai Rp 187 triliun. Lukman mengklaim, jumlah ini merupakan yang terbesar sepanjang sejarah sejak Indonesia merdeka.
Lukman mengatakan, bukti kepiawaian Joko Widodo-Jusuf kalla dalam memimpin Indonesia juga terlihat dari angka gini ratio. Dalam data kemiskinan BPS per Maret 2018, angka kemiskinan Indonesia berhasil menembus rekor satu digit yakni 9,82 persen.
Dalam data gini ratio juga dituliskan ketimpangan ekonomi Indonesia bergerak ke arah positif. Angka gini ratio Indonesia sebesar 0,389 persen per Maret 2018 dan menurun daripada sebelumnya. “Baru semenjak presidennya Jokowi inilah gini ratio itu mengalami penurunan signifikan,” ucapnya lagi.
Kritik terhadap melemahkan nilai tukar rupiah terhadap dolar yang mencapai Rp15.000 disampaikan oleh Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudhistira Adhinegara.
Bhima mengatakan, capaian tersebut cukup berbahaya bagi ekonomi khususnya sektor riil yang berkaitan dengan impor dan utang swasta.
"Dulu Standar and Poors pernah membuat uji stress test bahwa angka [nilai tukar dolar AS terhadap rupiah] yang bisa ditolerir di bawah Rp15 ribu," ujar Bhima kepada Tirto pada Rabu (3/10/2018).
Apabila nilai tukar lebih dari Rp15 ribu, kata Bhima, maka keuangan korporasi termasuk BUMN akan berdarah. Mereka akan kesulitan membayar utang dalam bentuk valas. "Potensi gagal bayarnya akan berdampak sistemik ke ekonomi keseluruhan," kata Bhima.
Pemerintah maupun Bank Indonesia telah berkali-kali menerangkan bahwa anjloknya rupiah dominan dipengaruhi oleh tekanan eksternal, khususnya the Fed yang agresif menaikkan suku bunga acuannya. Kendati dari sisi internal dalam negeri, defisit transaksi berjalan (CAD) yang mencapai 3 persen atau senilai 8 miliar dolar AS terhadap PDB pada triwulan II/2018, juga berperan dalam anjloknya rupiah.
"Dampak kenaikan suku bunga acuan BI sudah diprediksi pasar, jadi tidak ada surprise. Negara lain juga melakukan kenaikan bunga acuan. Ibarat parasetamol bunga acuan cuma buat redakan demam," ujar Bhima.
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Alexander Haryanto