tirto.id - Manajer Program Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, Meliana Lumbantoruan, mengatakan bahwa pemerintah perlu mewaspadai dampak pelemahan rupiah terhadap APBN. Sebab, saat ini rasio hutang pemerintah sudah mencapai 10 persen dari total APBN 2019.
"Tahun 2019 kita bayar bunga utang lebih dari Rp200 triliun atau sekitar 10 persen. Sekarang Rp15.000 per dolar AS dengan asumsi APBN Rp14.400 dolar AS itu pasti akan membengkak dan akan gerus fiskal kita," katanya dalam diskusi di Kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (5/10/2018).
Apalagi defisit transaksi berjalan Indonesia pada triwulan II-2018 tercatat 8 miliar dolar AS atau 3,04 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Hingga akhir 2018, defisit transaksi berjalan mencapai 25 miliar dolar AS sepanjang 2018.
"Beban utang tinggi karena sebagian besar USD. Di sisi lain ada defisit transaksi berjalan, USD yang masuk lebih sedikit dibanding yang keluar," imbuhnya.
Pada penutupan perdagangan pukul 16.00 WIB tadi, rupiah tercatat melemah 0,07 persen ke angka Rp15.175 dibandingkan penutupan perdagangan kemarin.
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati sebelumnya mengklaim pemicu utama pelemahan kurs rupiah yang berlanjut hingga hari ini adalah faktor eksternal.
Meski demikian, Sri mulyani menegaskan pemerintah terus mewaspadai neraca pembayaran karena impor belum benar-benar terkendali. Karena itu, pengendalian impor 1.147 produk konsumsi dan barang yang bisa diproduksi di dalam negeri, akan terus dipantau setiap pekan. Dia pun berharap implementasi kebijakan B20 mengerem laju impor migas.
Adapun Bank Indonesia (BI), kata Sri Mulyani, tetap mengantisipasi laju pelemahan rupiah dengan tiga bauran kebijakan.
“Bauran kebijakan dari Bank Indonesia itu berhubungan dengan suku bunga, dengan makroprudensial, dan policy mereka mengenai intervensi untuk menciptakan perubahan yang bisa di-absorb [diserap] dan disesuaikan oleh perekonomian,” kata Sri Mulyani.
Penulis: Hendra Friana
Editor: Yandri Daniel Damaledo