tirto.id - Kepolisian Resor Kota (Polresta) Malang Kota menyatakan tidak menemukan adanya unsur pidana pada dugaan kasus fetish mukena berkedok online shop atau penjualan daring yang terjadi di Kota Malang, Jawa Timur.
Kasat Reskrim Polresta Malang Kota Kompol Tinton Yudha Riambodo mengatakan bahwa kesimpulan tersebut usai mendapatkan keterangan kesimpulan dari Dinas Komunikasi dan Informatika Provinsi Jawa Timur serta ahli bahasa.
"Dari hasil koordinasi dengan Diskominfo Jawa Timur, kasus tersebut tidak termasuk dalam UU ITE dan asusila," kata Tinton di Kota Malang, Jawa Timur, Senin (20/9/2021) dilansir dari Antara.
Sementara itu, hasil koordinasi dengan ahli bahasa, kata Tinton, juga menyatakan bahwa komentar yang ada pada dalam postingan di akun Twitter juga belum masuk dalam kategori asusila, pornografi, atau penghinaan.
Berdasarkan penjelasan ahli, lanjut dia, kalimat dalam tulisan tersebut putus atau tidak ada sambungan kata-kata lain. Selain itu, tulisan tersebut bukan merupakan komentar dari pihak terlapor berinisial DA, melainkan dari orang lain.
Terkait dengan kasus tersebut, kata Tinton, ada tiga laporan aduan yang diterima oleh Polresta Malang Kota. Ada tiga orang pelapor, yakni JH, AZK, dan AM, yang merupakan mahasiswa di wilayah Kota Malang dan berprofesi sebagai model.
Terlapor DA meminta para pelapor tersebut untuk mempromosikan mukena yang dijual pada akun onlineshop miliknya. Pelapor sempat melakukan sesi foto untuk produk mukena. Namun, foto-foto tersebut tidak diunggah di akun onlineshop yang dijanjikan.
"Namun, hasil foto tidak dicantumkan pada onlineshop milik teradu, dan dibagikan pada pengikutnya di Twitter," ujarnya.
Pihak kepolisian telah melakukan pendalaman dan memeriksa sejumlah saksi terkait dengan aduan tersebut.
Meskipun hingga saat ini belum ditemukan adanya unsur pidana, pihak kepolisian masih melanjutkan penyelidikan.
Dalam kesempatan itu, seorang psikolog klinis Sayekti Pribadiningtyas menyatakan telah melakukan pemeriksaan terhadap terlapor DA.
Berdasarkan pemeriksaan tersebut, disimpulkan bahwa DA mengidap gangguan fetisisme mukena.
"Jadi, kategorinya sudah masuk dalam gangguan, fetisisme mukena, yang diidapnya sejak kelas 4 SD. Kategori gangguan itu sekurang-kurangnya dilakukan 6 bulan secara intens terhadap satu objek," kata Sayekti.
Ia menjelaskan bahwa DA menggunakan objek mukena dalam fetish-nya. Berdasarkan hasil pemeriksaannya, DA juga tidak tertarik pada bentuk benda lain sehingga melakukan pemenuhan hasrat seksualnya dengan mukena setiap hari.
"DA tidak mampu menahan dan mengendalikan fetisisme mukena tersebut," ujarnya.
Terkait dengan kasus yang saat ini dihadapi DA, Sayekti menjelaskan bahwa ketertarikan terlapor ada pada objek mukena, atau bukan pada model perempuan yang menggunakan mukena tersebut.
Dengan kondisi tersebut, DA perlu menjalani terapi dan intervensi psikologis secara mendalam dalam jangka waktu yang cukup lama. Hal itu dikarenakan fetisisme tidak mudah dipulihkan dalam waktu yang singkat.
"Secara profesional, saya sebagai psikolog klinis mengatakan bahwa DA memerlukan terapi dan intervensi psikologis secara mendalam dalam jangka waktu yang cukup lama," katanya.
Sementara itu, terlapor DA mengatakan siap bertanggung jawab apabila ada unsur pidana dari perbuatannya tersebut. Ia juga menyatakan akan menjalani perawatan dan penyembuhan didampingi para psikolog.