Menuju konten utama

Polisi Filipina Mengaku Diminta Duterte Bunuh Penyiar Radio

"Semua pembunuhan kami lakukan di Kota Davao, baik kami kubur maupun kami buang ke laut. Tindakan itu dibayar oleh Wali Kota Rody Duterte [sekarang Presiden Filipina]," kata mantan polisi itu.

Polisi Filipina Mengaku Diminta Duterte Bunuh Penyiar Radio
Presiden Filipina Rodrigo Duterte. ANTARA FOTO/REUTERS/Czar Dancel.

tirto.id - Mantan Polisi dari anggota "Satuan Maut Davao" bernama Arturo Lascanas mengaku pernah diperintah Presiden Filipina Rodrigo Duterte untuk membunuh penyiar radio karena mengritiknya saat masih menjadi wali kota. Perintah tersebut datang melalui sopir dan ajudan Duterte.

Arturo Lascanas menuturkan, sehabis dirinya membunuh penyiar radio yang mengritik Duterte, ia kemudian diberi imbalan uang.

Duterte berulang kali menampik tuduhan terlibat dalam tindakan main hakim sendiri, termasuk saat menjabat Presiden Filipina atau selama 22 tahun menjabat Wali Kota Davao hingga akhir 2015. Dalam sejumlah pernyataan, Duterte justru menolak pernyataan terhadap keberadaan pasukan maut di Davao itu.

"Semua pembunuhan kami lakukan di Kota Davao, baik kami kubur maupun kami buang ke laut. Tindakan itu dibayar oleh Wali Kota Rody Duterte," kata mantan polisi itu dalam jumpa pers di Gedung Senat Filipina di Manila, Senin (20/2/2017).

Ia pun mengatakan, usai melakukan pembunuhan itu, Duterte juga memberikan mereka imbalan uang.

"Paling sering 20 ribu peso, tapi kadang-kadang 50 ribu peso, tergantung status target. Kadang-kadang juga 100 ribu peso," katanya dikutip dari Antara.

Terkait dengan itu, Sekretaris Komunikasi Kepresidenan Martin Ardanar mengatakan sebagian dari pengakuan Lascanas itu sebagai drama politik yang berkepanjangan, dan diarahkan para pengritik sebagai pembunuhan karakter terhadap Duterte sebagai dalang kejahatan, demikian ungkapnya dalam wawancara CNN Filipina.

Pernyataan Lascanas berbeda dengan pernyataan yang pernah disampaikannya dalam dengar pendapat dengan Senat pada bulan Oktober 2016 atas tuduhan pembunuhan pelaku penyalahgunaan narkoba yang tidak berdasarkan hukum. Pada saat itu, Lascanas menyanggah adanya pasukan berani mati di Davao.

Pernyataannya pada Senin itu mirip dengan pengakuan diri seorang pembunuh bayaran Edgar Matobato yang memberikan kesaksian sebelum dengar pendapat di Senat pada bulan September 2016. Ia mengungkapkan, secara pribadi menyaksikan Duterte menembak mati seorang pria dan memerintahkan pihak kepolisian untuk membunuh para tersangka pelaku kejahatan.

Menurut laporan kelompok pemerhati hak asasi manusia (HAM) kurang lebih 1.400 dugaan pembunuhan di Kota Davao sejak awal era 1990-an, dan para pengamat menyatakan bahwa peperangan berdarah terhadap narkoba yang dilancarkan oleh Duterte sejak menjabat Presiden Filipina pada tujuh bulan lalu memicu berulangnya metode serupa.

Aktivis HAM menyatakan bahwa lebih dari 7.700 orang tewas dalam operasi antinarkoba di pelosok negeri Filipina dan sekitar 2.500 tewas dalam baku tembak dengan polisi selama penggerebekan yang dianggap kontroversial melibatkan Duterte.

Beberapa sisanya, menurut mereka, tewas dalam proses penyelidikan dan dikaitkan dengan pembunuhan main hakim sendiri oleh pihak berwajib, geng narkotika yang melindungi jejaknya, dan pembunuhan lainnya yang tidak terkait operasi itu. Beberapa pegiat HAM juga menyebutkan bahwa yang lain tewas di luar jalur hukum.

Baca juga artikel terkait PRESIDEN FILIPINA atau tulisan lainnya dari Alexander Haryanto

tirto.id - Hukum
Reporter: Alexander Haryanto
Penulis: Alexander Haryanto
Editor: Alexander Haryanto