tirto.id - Acara puncak peringatan Bulan Bung Karno (BBK) yang diselenggarakan PDIP pada Sabtu, 24 Juni 2023 di Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK), Jakarta Pusat menjadi sorotan publik. Salah satunya karena puisi yang dibacakan seniman Butet Kartaredjasa dalam perhelatan tersebut.
Bait-bait puisi yang dibacakan Butet tersebut dinilai menyinggung koalisi lain di luar PDIP maupun bakal capres selain Ganjar Pranowo. Berikut adalah bait puisi yang dilantunkan Butet:
Di sini semangat meneruskan
Di sana maunya perubahan
Itulah sebuah persaingan
Di sini menyebutnya banjir
Di sana menyebutnya air yang parkir
Begitulah kalau otaknya pandir
Pepes ikan dengan sambal terong sambil nikmat tambah daging gempal, orangnya diteropong KPK karena nyolong, eh lha kok koar-koar mau dijegal
Jagoan Pak Jokowi rambutnya putih, gigih bekerja sampai jungkir balik, hati seluruh rakyat Indonesia pasti akan sedih, jika kelak ada presiden hobinya kok menculik
Cucu komodo mengkerut jadi kadal, tak lezat digulai biarpun pakai santan, kalau pemimpin modalnya cuma transaksional, dijamin bukan teladan kelas negarawan.
Terkait polemik tersebut, politikus PDIP, Deddy Sitorus mengatakan, bahwa puisi yang dibacakan oleh Butet tersebut adalah kritik yang datang dari seorang budayawan. Untuk itu, kata Deddy, para politikus tidak perlu baper mendapat kritikan tersebut.
“Butet itu seniman yang sudah sangat berpengalaman, apa pun yang dia sampaikan adalah suara hatinya. Kita semua tidak tahu apa yang akan dia sampaikan, baru mendengar ketika dia bacakan di GBK. Menurut saya anggap saja itu suara budayawan, kritik itu hal yang biasa sehingga tidak perlu baperan," kata Deddy saat dihubungi reporter Tirto, Senin, 26 Juni 2023.
Ia juga meminta supaya masyarakat tak perlu berlebihan dalam merespons puisi Butet tersebut. Deddy membandingkan dengan PDIP dan Presiden Joko Widodo yang sudah banyak dikritik.
“Itu, kan, suara budayawan, buat apa direspons berlebihan? Tidak perlu dibesar-besarkan. PDIP dan Pak Jokowi setiap hari dikritik dan di-bully kita gak ambil pusing, masa satu puisi saja bikin gerah? Itu namanya baperan," kata Deddy.
Respons Beragam Koalisi di Luar PDIP
Kepala Badan Komunikasi Strategis DPP Partai Demokrat, Herzaky Mahendra Putra mengatakan, pihaknya tak ambil pusing dengan puisi Butet tersebut. Menurut Herzaky, Butet hanya sedang melakoni perannya sebagai pekerja seni yang tengah tampil menghibur penonton.
Karena itu, kata Herzaky, puisi tersebut tidak perlu dikaitkan dengan dinamika politik, lebih-lebih terkait bakal capres yang mereka usung, Anies Baswedan.
“Tidak perlu terlalu serius merespons nya, namanya orang lagi manggung, lagi cari makan, kerjanya menghibur buat yang membayar. Jangan terlalu jauh dikaitkan dengan Mas Anies, dengan Mbak Puan dan Mas AHY lah. Itu urusan partai. (Sementara puisi Butet) hiburan belaka menurut kami," katanya.
Herzaky menambahkan, “Jangan terlalu jauh lah, nggak pantas dikaitkan dengan Mas Anies, Koalisi Perubahan atau Mas AHY. Jauh sekali.”
Ia menyebut pihaknya masih perlu memikirkan banyak hal lain dibanding memikirkan bait puisi yang dibacakan oleh Butet dalam perayaan puncak Bulan Bung Karno tersebut.
“Kami saja nggak tahu, dan nggak terkenal. Banyak hal lain yang mesti dipikirin,” katannya.
Sementara itu, Ketua DPP Partai Gerindra, Ahmad Riza Patria merespons santai bait puisi yang diduga mengandung sindiran kepada Prabowo tersebut. Ia mengajak kader Gerindra membalas segala sindiran dengan kebaikan.
“Seperti yang disampaikan oleh Bapak Prabowo siapapun yang menyindir termasuk yang membully, menjelekkan, memfitnah, Pak Prabowo mengajak kami semua kader untuk membalas dengan kebaikan," kata Riza dalam keterangannya, Minggu, 25 Juni 2023.
Menyindir Lawan Politik Bukan Strategi yang Baik?
Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR), Ujang Komarudin menilai, menjadikan pesan-pesan satir berisi sindiran kepada lawan politik bukan strategi kampanye yang baik. Ia mengatakan, masyarakat akan mudah mengenali strategi dengan intensi buruk tersebut.
"Saya sih melihatnya strategi yang tidak bagus, kurang pas, kurang cocok dan tidak baik dan tidak efektif, karena pasti yang diserang akan membalas. Masyarakat juga sudah tahu dan paham bahwa politik saling serang itu tidak bagus di mata publik," kata dia.
Ia mengatakan, strategi kampanye yang baik saat ini justru adalah dengan menyuarakan kebersamaan di tengah perbedaan kepentingan.
“Tentu yang paling bagus adalah menjaga kondusivitas, menjaga kebersamaan walaupun beda partai, beda capres tapi menggunakan cara kampanye yang menjaga persatuan dan kesatuan. Tidak mendegradasi lawan politik," katanya.
Khusus terkait puisi Butet, Ujang mengatakan, hal tersebut memang belum tentu sepenuhnya kesalahan PDIP. Akan tetapi, kata dia, jika memang sengaja dipesan, maka PDIP mestinya paham bahwa hal tersebut adalah sebuah kesalahan.
“Mungkin Butet nya yang harus kita ingatkan, agar tetap berdiri tegak di tengah menjaga netralitas untuk kepentingan yang lebih besar. PDIP kalau melakukan pesanan, itu suatu yang salah. Tentu PDIP paham, tahu persis apa yang harus dilakukannya," kata Ujang.
Ia pun menyayangkan kampanye pemilu damai yang beberapa waktu lalu sempat disepakati oleh Puan Maharani dan AHY. Hadirnya puisi Butet, kata Ujang, dapat mengindikasikan bahwa kesepakatan untuk berkontestasi secara damai tak pernah benar-benar diimplementasikan.
“Kampanye damai itu hanya hadir di atas kertas, tidak diimplementasikan di lapangan jadi seolah-olah elite berkampanye damai, ingin pemilu tidak ada polarisasi, tapi fakta di lapangan ya seperti itu. Masih gontok-gontokan masih tikam-tikaman, ini kan yang tidak bagus," kata ujang.
Penulis: Fatimatuz Zahra
Editor: Abdul Aziz