tirto.id - Kontroversi putusan perkara batas usia minimal calon presiden dan calon wakil presiden oleh Mahkamah Konstitusi (MK) berbuntut panjang. Laporan dugaan pelanggaran etik ke Mahkamah Kehormatan MK (MKMK) bermunculan dan diadukan oleh berbagai pihak. Hakim Konstitusi Saldi Isra, termasuk salah satu yang disasar karena dianggap merendahkan muruah MK.
Saldi merupakan satu dari empat hakim yang menyatakan dissenting opinion atau pendapat berbeda terhadap putusan perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023. Perkara nomor 90 ini, diajukan mahasiswa bernama Almas Tsaqibbirru terkait permohonan menguji Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 UU Pemilu, mengenai batas usia minimal capres-cawapres.
MK pada Senin (16/10/2023), mengabulkan permohonan tersebut. Almas merupakan pengagum Wali Kota Surakarta, Gibran Rakabuming Raka. Keputusan MK dinilai janggal karena sebelumnya, sudah menolak gugatan sejenis dalam perkara Nomor 29, 51, dan 55. Detail artikel bisa dibaca di link ini.
Gugatan yang ditolak merupakan permohonan yang diajukan Partai Solidaritas Indonesia (29/PUU-XXI/2023), Partai Garuda (51/2023), dan lima kepala daerah (55/2023). Kejanggalan inilah yang juga dikemukakan Hakim Saldi dalam pendapat berbedanya.
Saldi merasa bingung dengan keputusan rekan-rekan dia yang mengabulkan perkara ini. Sejak menapakkan kaki sebagai hakim konstitusi pada 11 April 2017, kata Saldi, baru kali ini dirinya mengalami peristiwa aneh yang luar biasa dan jauh dari batas penalaran wajar.
“Mahkamah berubah sikap dan pendiriannya hanya dalam sekelebat,” ujar Saldi.
Saldi menilai MK seharusnya menolak permohonan Almas. Sebab, dalam tiga perkara sebelumnya, MK menolak dengan alasan bahwa gugatan tersebut merupakan wewenang pembentuk undang-undang yaitu DPR dan pemerintah.
“Apakah Mahkamah pernah berubah pendirian? Pernah, tetapi tidak pernah terjadi secepat ini, di mana perubahan terjadi dalam hitungan hari,” ujar Saldi.
Selain Saldi, dissenting opinion juga datang dari Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams, Arief Hidayat, dan Suharyoto. Sementara yang menyetujui permohonan tersebut adalah Ketua MK Anwar Usman, Guntur Hamzah, dan Manahan M.P Sitompul. Dua sisanya, yaitu Enny Nurbaningsih dan Daniel Yusmic P. Foekh menyatakan alasan berbeda (concurring opinion).
Ucapan Saldi dalam penyampaian pendapat berbeda itu, membuat gerah Dewan Pimpinan Pusat Advokasi Rakyat untuk Nusantara (DPP ARUN). Mereka melaporkan Saldi Isra ke Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) karena dianggap menjatuhkan muruah MK.
“Iya betul, saya melaporkan Prof Saldi Isra (ke MKMK),” kata Ketua Umum DPP ARUN Bob Hasan dihubungi reporter Tirto, Jumat (20/10/2023).
Bob Hasan menilai, Saldi dalam dissenting opinion-nya telah mengabaikan hukum acara. Penyampaian pendapat berbeda, kata Bob, seharusnya mengacu pada pokok perkara akan ketidaksetujuan Saldi terhadap putusan mayoritas hakim.
“(Saldi) cenderung curhat atau seolah-olah membocorkan apa yang terjadi di MK,” terang Bob.
Saldi Isra memang bukan sekali ini menyatakan dissenting opinion atau pendapat berbeda pada putusan MK. Saldi juga pernah menolak putusan Undang-Undang Cipta Kerja dan perpanjangan masa jabatan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Pada 11 April 2017, Saldi Isra dilantik oleh Presiden Joko Widodo menjadi Hakim Konstitusi menggantikan posisi Patrialis Akbar. Saldi dinilai Presiden Jokowi memiliki rekam jejak yang bagus.
Ia pernah memperoleh penghargaan Bung Hatta Anti-Corruption Award tahun 2004 dan Megawati Soekarnoputri Award kategori Pahlawan Muda Pemberantasan Korupsi pada 2012. Pada 15 Maret 2023, Saldi menjadi Wakil Ketua MK untuk periode 2023-2028.
Janggal dan Mencurigakan
Putusan MK pada perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 ini juga dikritik banyak pihak karena dinilai sarat akan konflik kepentingan. Putra sulung Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka, disebut yang paling diuntungkan karena bisa melenggang menjadi cawapres setelah putusan ini diterima.
Gibran merupakan keponakan Ketua MK, Anwar Usman. Sementara Prabowo Subianto digadang-gadang tengah mengincar Gibran sebagai bakal cawapres dia dalam Pemilu 2024.
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Fadli Ramadhanil menyatakan, pelapor Sadil Isra ke MKMK memiliki logika yang terbolak-balik. Ia merasa janggal kepada pihak yang melaporkan, karena menggunakan alasan tidak terima dengan dissenting opinion Sadil.
“Hakim dalam menyampaikan pendapat hukumnya di dalam putusan itu tidak bisa disebutkan sebagai pelanggaran etik. Pendapat itu adalah penilaian objektifnya, keyakinannya, atas semua petunjuk dan alat bukti kemudian dari proses persidangan,” kata Fadli dihubungi reporter Tirto, Jumat (20/10/2023).
Seharusnya, kata Fadli, yang perlu dilaporkan adalah Anwar Usman yang diduga memiliki kepentingan dalam memutus permohonan batas usia minimal capres-cawapres. Pendapat Saldi justru merupakan pandangan yang berangkat dari situasi kontekstual MK terhadap putusan perkara nomor 90.
“Jadi ini sudah mulai terbalik-balik, makannya perlu dibuka ke ruang publik dengan jelas siapa ini yang melaporkan Hakim Saldi ke MK, apa latar belakangnya, dan kenapa dia melaporkan ini,” ujar Fadli.
DPP Arun merupakan salah satu pendukung bakal capres Prabowo Subianto. Mereka pada Juli 2023, sepakat menyatakan dukungan kepada Prabowo di Rumah Besar Relawan Prabowo 08 di kawasan Slipi, Jakarta Barat.
Fadli menilai, adanya fakta di atas, semakin menimbulkan kecurigaan atas dugaan relasi kepentingan dalam putusan perkara Nomor 90. Ia meminta Majelis Kehormatan MK dapat melihat situasi ini dengan adil dan objektif.
“Putusan sikap Majelis Kehormatan Hakim harusnya bisa memilah-milah ini. Mana yang kemudian orang cuma bikin gaduh, dan mana yang kemudian sedang berusaha menyembunyikan masalah oleh Hakim yang menyetujui putusan Nomor 90,” tegas Fadli.
Pakar hukum tata negara Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah Castro, menilai pihak yang melaporkan Saldi Isra gagal paham dengan apa yang dimaksud etika hakim. Menurut dia, pendapat hakim tidak bisa dikualifikasikan sebagai objek pelaporan pelanggaran etika.
“Terlebih jika pendapat itu dibunyikan dalam dokumen resmi putusan MK. Itu kan pendapat berbeda yang sah sebagai bagian dari dinamika internal MK,” kata Herdiansyah dihubungi reporter Tirto, Jumat (20/10/2023).
Herdiansyah menyatakan, jika pendapat hakim bisa dijadikan objek laporan pelanggaran etik, maka semakin runyam MK. Para pelapor seharusnya menyasar hakim yang nyata-nyata melanggar etika.
“Misalnya Anwar Usman yang secara terang memiliki konflik kepentingan dalam putusan a quo. Bagaimana mungkin seorang paman memutus perkara yang menguntungkan ponakannya (Gibran) sendiri,” jelas Herdiansyah.
Ketua MK dinilai melanggar ketentuan UU Kekuasaan Kehakiman, sekaligus bertentangan dengan prinsip ‘nemo judex in causa sua,’ yang berarti tidak boleh hakim mengadili perkara yang berkaitan dengan kepentingan dirinya sendiri.
“Jadi MKMK harus segera diaktifkan dan bekerja memutus pelanggaran etik Hakim MK (Anwar Usman) ini. Kalau tidak, kepercayaan publik makin runtuh terhadap MK,” terang Herdiansyah.
Anwar Usman dan Hakim Lain Juga Dilaporkan
Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) pada Kamis (19/10/2023), telah melaporkan Ketua MK Anwar Usman serta sejumlah Hakim Konstitusi yaitu Manahan MP Sitompul, Enny Nurbaningsih, Daniel Yusmic Pancastaki Foekh, dan Guntur Hamzah, ke MKMK atas dugaan pelanggaran etik dan perilaku hakim.
PBHI menyatakan laporan ini didasari dugaan pelanggaran-pelanggaran yang telah dilakukan terhadap Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi sebagaimana diatur dalam ketentuan PMK 09/2006. Mereka menilai terdapat berbagai bentuk kejanggalan dalam pemeriksaan hingga Putusan Permohonan No. 90/PUU-XXI/2023 terkait batas usia capres-cawapres.
“Kami melaporkan ini bukan berbasis insinuasi, asumsi, atau dugaan-dugaan, tapi kami merujuk pada hasil putusan para Hakim Konstitusi dari 7 putusan yang ada karenanya laporan ini mudah untuk ditindaklanjuti dan diperiksa,” kata Ketua PHBI Julius Ibrani, ketika dikonfirmasi Tirto, Jumat (20/10/2023).
Ijul, sapaan akrabnya, menemukan bahwa legal standing pemohon dalam perkara ini bermasalah. Kemudian secara materiil atau substansi, ada penambahan frasa yang tidak diajukan oleh pemohon dan ditambahkan pada amar putusan MK.
“Tujuan kami melaporkan untuk membersihkan Mahkamah Konstitusi dari intervensi politik dan keburukan-keburukan,” tegas Ijul.
Tindakan serupa juga dilakukan oleh Pergerakan Advokat Nusantara dan Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) pada Rabu (18/10/2023). TPDI melaporkan Ketua MK Anwar Usman atas dugaan telah melanggar etik dalam penanganan perkara 29, 51, 55, 90, 91, 92/PUU-XXI/2023 ke Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK).
Anwar diduga telah melanggar Pasal 17 Ayat (3), (4) dan (5) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Dihubungi terpisah, Kepala Biro Hukum Administrasi dan Kepaniteraan (Kabiro HAK) Mahkamah Konstitusi, Fajar Laksono membenarkan, adanya sejumlah laporan dugaan etik pascaputusan perkara batas usia capres-cawapres. Ia menyampaikan, laporan itu berasal dari pihak yang berbeda-beda.
“Sudah (kami terima), setahu saya sejauh ini total ada 4 laporan,” kata Fajar kepada reporter Tirto.
Namun, Fajar belum bisa membeberkan lebih jauh proses laporan dugaan etik yang menyasar para Hakim Konstitusi. Persoalan ini akan disampaikan secara resmi melalui konferensi pers pada pekan depan.
“Senin besok (23/10/2023), MK konpers, antara lain (membahas) soal (laporan etik) itu,” terang Fajar.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Abdul Aziz