Menuju konten utama
Uji Materi UU Pemilu

Bisakah Putusan Usia Capres Jadi Yurisprudensi Hapus PT 20%?

Argumen putusan MK soal batas usia capres-cawapres bisa menjadi yurisprudensi menyelesaikan gugatan soal ambang batas presiden atau PT 20%.

Bisakah Putusan Usia Capres Jadi Yurisprudensi Hapus PT 20%?
Suasana sidang permohonan uji materiil Pasal 169 huruf q Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang mengatur batas usia minimal calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) di Jakarta, Senin (16/10/2023).ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/tom.

tirto.id - Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan seseorang yang belum berusia 40 tahun, tetapi pernah atau sedang menjabat sebagai kepala daerah, bisa maju sebagai capres dan cawapres. Hal ini disampaikan MK dalam putusan terkait gugatan batas usia capres-cawapres dalam perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 di Gedung MK, Jakarta Pusat, Senin (16/10/2023).

Perkara tersebut diajukan oleh seorang mahasiswa bernama Almas Tsaqibbiru Re A. MK mengabulkan sebagian gugatan Almas, dan mengubah klausul “berusia paling rendah 40 tahun” sebagai syarat usia capres-cawapres, menjadi “berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah” dalam Pasal 169 huruf q Undang-Undang 7 tahun 2017 tentang Pemilu.

Keputusan MK mengundang pertanyaan dari berbagai pihak. Terang saja, MK dinilai tidak konsisten dengan keputusan terkait perkara batas usia capres-cawapres. Sebab sebelumnya, MK sudah menolak permohonan sejenis dalam putusan Nomor 29/PUU-XXI/2023, 51/PUU-XXI/2023, dan 55/PUU-XXI/2023, dengan alasan pengujian bukan merupakan persoalan konstitusional, melainkan open legal policy. Namun gugatan Almas justru dikabulkan sebagian dan dibacakan dalam hari yang sama.

Alasan MK mengabulkan gugatan Almas juga dinilai kontradiktif dengan putusan-putusan sebelumnya. MK menjelaskan, alasan menerima sebagian gugatan ini karena batas usia capres-cawapres tidak diatur resmi dalam UUD 1945.

Hakim Mahkamah Manahan MP Sitompul menyebut, MK dalam beberapa putusan yang berkaitan dengan open legal policy kerap berpendirian bahwa hal tersebut dapat saja dikesampingkan. Ini bisa terjadi apabila melanggar prinsip moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang intolerable.

“Seperti pelanggaran terhadap prinsip moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang intolerable, tidak melampaui kewenangan, tidak merupakan penyalahgunaan wewenang dan atau bertentangan dengan UUD 1945,” kata Manahan saat membaca putusan.

Keputusan janggal ini dinilai sebagian pihak bahwa MK memiliki konflik kepentingan dalam Pemilu 2024. Almas, dalam alasan gugatannya, mengklaim sebagai pengagum Wali Kota Solo, Gibran Rakabuming Raka. Setelah gugatan Almas diterima MK, Gibran memang disebut sebagai pihak paling diuntungkan, karena bisa melenggang sebagai bakal calon wakil presiden.

Nama Gibran santer diberitakan masuk dalam salah satu bursa cawapres untuk mendampingi Ketua Umum Gerindra, Prabowo Subianto. Usia Gibran memang baru 36 tahun, tapi dengan pengecualian berpengalaman sebagai kepala daerah, putra sulung Presiden Joko Widodo itu kini tidak punya halangan lagi.

Sejak 2017, sudah ada 31 gugatan yang ditolak MK terkait ambang batas presiden atau PT 20 persen ini. Sebanyak 30 perkara diputus MK dan satu perkara dicabut melalui Ketetapan MK.

Ahli hukum tata negara dari Universitas Andalas, Feri Amsari menilai, putusan MK seakan berpihak pada kepentingan salah satu pihak dalam putusan batas usia capres-cawapres. Padahal, kata dia, jika alasan MK mengabulkan gugatan Almas karena adanya ketidakadilan yang intolerable, hal itu harusnya juga bisa diaplikasikan dalam gugatan soal ambang batas presiden atau presidential threshold (PT 20%) dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, yang dinilai banyak pihak diskriminatif.

Namun dalam praktiknya, MK menolak seluruh gugatan soal ambang batas presiden. Sejak 2017, sudah ada 31 gugatan yang ditolak MK terkait ambang batas presiden atau PT 20 persen ini. Sebanyak 30 perkara diputus MK dan satu perkara dicabut melalui Ketetapan MK.

“Alasan MK begini (soal ambang batas presiden), ini kan open legal policy, silakan oleh pembentuk UU yang mengatur. Tapi giliran soal anak Jokowi, tiba-tiba ini bukan open legal policy, malah disebut ada intolerable injustice katanya, sehingga multitafsir,” ujar Feri ditemui di Jakarta Pusat, Selasa (17/10/2023).

MK tolak gugatan batas usia capres dan cawapres

Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman (kiri) dan Hakim Konstitusi Suhartoyo (kanan) memimpin sidang permohonan uji materiil Pasal 169 huruf q Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang mengatur batas usia minimal calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) di Jakarta, Senin (16/10/2023). ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/tom.

Ada Celah Gugatan Ambang Batas Presiden Diterima?

Feri menambahkan, sikap ambiguitas MK soal ambang batas presiden justru seakan-akan menganggap perkara ini sebagai ketidakadilan yang tidak bisa ditoleransi. Hal ini semakin membuktikan putusan MK soal batas usia capres-cawapres, hanya soal kepentingan politik sesaat.

“Jadi MK menggunakan standar ganda dalam menafsirkan undang-undang sesuai dengan kepentingan MK dalam melihat politik,” ujar Feri.

Pengujian syarat ambang batas pencalonan presiden memang beberapa kali diajukan ke MK oleh partai politik atau sejumlah individu karena dinilai membatasi demokrasi dan diskriminatif.

Pasal 222 UU Pemilu mengatur bahwa hanya parpol atau gabungan parpol yang menguasai minimal 20 persen kursi DPR atau meraih paling sedikit 25 persen suara sah nasional pada pemilu sebelumnya, yang dapat mengusung pasangan capres-cawapres. MK selalu konsisten dengan keputusan bahwa norma ambang batas presiden yang diatur dalam Pasal 222 UU Pemilu konstitusional.

Feri Amsari menilai, dengan putusan MK menerima gugatan batas usia capres-cawapres baru-baru ini, memang ada celah penyelesaian melalui jalur yurisprudensi dalam perkara ambang batas presiden. Sayangnya, hal itu sulit terealisasi karena adanya kepentingan politik yang berbeda pada dua perkara tersebut.

“Jadi MK betul-betul sudah terperangkap dalam jebakan politik dalam memaknai undang-undang. Itu sebabnya perlu upaya merevolusi hakim konstitusi, (dan) memberhentikan semua yang bermasalah,” tegas Feri.

Hal senada disampaikan Pakar Hukum Tata Negara dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Herlambang Perdana Wiratraman. Menurut dia, argumen putusan MK tentang batas usia capres-cawapres memang bisa menjadi yurisprudensi menyelesaikan gugatan soal ambang batas presiden. Kendati demikian, hal ini sulit terwujud karena adanya tarik-menarik kepentingan.

“Secara formal ya bisa (yurisprudensi) bahwa secara substantif itu dimungkinkan dengan penafsiran yang memperlihatkan posisi penting atas ketidakinginan adanya diskriminasi. Sayangnya, ketika MK mengabulkan gugatan justru soal sejauh mana kepentingan kekuasaan itu diuntungkan dari putusan-putusan itu,” ujar Herlambang dihubungi reporter Tirto, Selasa (17/10/2023).

Menurut Herlambang, seharusnya banyak metode penafsiran yang bisa digunakan untuk menerima gugatan ambang batas presiden. Bahkan realitanya, kata dia, begitu banyak argumen ilmuwan yang menjelaskan bahwa ambang batas presiden menjadi kunci dari masalah kompleks melekatnya sistem kuasa oligarki dalam ketatanegaraan Indonesia.

“Karena semua bermula di pemilu, dan pemilu melahirkan legitimasi kekuasaan dan di sanalah kemudian terjadi upaya menanggung keuntungan dari relasi kuasa ekonomi politik oligarki,” jelas Herlambang.

Sementara itu, pakar hukum tata negara UGM lainnya, Zainal Arifin Mochtar, tidak yakin bahwa yurisprudensi menggunakan putusan MK terkait batas usia capres-cawapres, akan berpengaruh pada gugatan soal ambang batas presiden.

“Kalau logis bisa saja, tapi saya enggak yakin. Kan, putusan kemarin (soal batas usia capres-cawapres) itu sudah ada kesimpulan, lalu caranya dicari-cari saja (biar diterima). Nah, belum tentu hal persis sama terjadi ke presidential threshold,” ujar Zainal dihubungi reporter Tirto.

Ketentuan adanya ambang batas presiden memang mau tak mau memaksa partai politik yang tidak memenuhi syarat, harus bergabung dengan parpol lain jika ingin mengusung capres dan cawapres pada Pemilu 2024. Hal ini dinilai justru melanggengkan praktik kepentingan elektoral dan diskriminatif, karena membuat keseragaman yang tidak diperlukan dalam penyelenggaraan pemilu.

Bisa Jadi Peluang Jika MK Konsisten

Ketua Badan Pengurus Nasional Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) Julius Ibrani menilai, MK harusnya bisa mengabulkan gugatan penghapusan ambang batas presiden jika konsisten terhadap putusan-putusan sebelumnya. Ini konsekuensi dari putusan MK yang menerima gugatan soal batas usia capres-cawapres.

“Jelas bukan saja ambang batas presiden, tapi soal presiden independen bisa, hapus parliamentary threshold bisa, ini semua bisa dibongkar semua kalau MK bisa konsisten,” kata Ijul, sapaan arabnya, dihubungi reporter Tirto, Selasa (17/10/2023).

Jika bicara secara prinsip, kata Ijul, permasalahan ambang batas presiden kembali pada hak politik seluruh orang, yaitu untuk dipilih dan memilih. Namun dalam konteks pemilu, hal itu diakomodir dalam partai politik sesuai prinsip demokrasi.

Namun, adanya ambang batas presiden justru menghilangkan adanya kepastian hukum dengan jaminan hak memilih dan dipilih. Ini membuat ketidakadilan jika individu atau partai politik yang ingin mengusung capres-cawapres justru tidak lolos ambang batas.

Ijul menambahkan, MK seharusnya dari awal menolak gugatan soal batas usia capres-cawapres. Dengan mengabulkan gugatan tersebut, justru menimbulkan kekacauan dan kejanggalan pada sikap konsistensi MK.

“Kalau begitu kan artinya tidak perlu lagi partai politik atau ambang batas. Selama dia pernah jadi kepala daerah, dia bisa jadi presiden atau wakil presiden tanpa harus melalui partai. Bubarkan saja parpol sekalian, semua juga akan rebutan kepala daerah,” ungkap Ijul.

Baca juga artikel terkait PEMILU 2024 atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - Politik
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Abdul Aziz