tirto.id - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akhirnya menetapkan Setya Novanto sebagai tersangka kembali dalam kasus korupsi proyek e-KTP. Hal ini berdasarkan surat perintah dimulainya penyidikan (SPDP) bernomor B-619/23/11/2017 dengan kop surat KPK yang ditandatangani oleh Direktur Penyidikan KPK, Brigjen Pol Aris Budiman pada 3 November.
Penetapan tersangka politikus Golkar ini sebagai respons KPK setelah kalah dalam sidang praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) pada 29 September lalu. Saat itu, hakim tunggal Cepi Iskandar mengabulkan permohonan Novanto sekaligus membatalkan status tersangka Ketua DPR ini dalam kasus korupsi e-KTP.
“Menyatakan penetapan tersangka Setya Novanto yang dibuat berdasarkan surat nomor 310/23/07/2017 tanggal 18 Juli dinyatakan tidak sah,” kata Cepi saat mengetok palu di PN Jaksel, pada 29 September lalu.
Dengan keputusan tersebut, Setya Novanto kembali bebas dari kasus korupsi e-KTP yang menjeratnya. Saat itu, ada sejumlah poin yang membuat hakim Cepi Iskandar memenangkan praperadilan yang diajukan Novanto.
Cepi menilai, sprindik Novanto sebagai tersangka yang dikeluarkan KPK tidak sah. Menurut Cepi, komisi antirasuah tidak menunjukkan proses penyelidikan terhadap Novanto sebelum ditetapkannya sebagai tersangka. Selain itu, bukti yang diajukan bukan berasal dari tahap penyelidikan dan penyidikan sendiri untuk perkara Novanto, tetapi dalam perkara lain.
Baca juga:
- Perbedaan Sprindik Setnov yang Pertama dan Kedua
- Daftar Alasan Hakim yang Membuat KPK Kalah Praperadilan
Akibat penetapan yang tidak sah itu, majelis hakim kemudian memutuskan bahwa surat perintah dimulainya penyidikan (SPDP) terhadap Novanto dianggap tidak berlaku. Karena itu, pengadilan memerintahkan KPK agar penyidikan terhadap Novanto dihentikan.
Meskipun melepaskan Novanto dari jerat tersangka, hakim Cepi tidak memenuhi sejumlah permohonan Novanto. Hakim tidak mengabulkan permohonan penasihat hukum untuk mencabut pencegahan Novanto ke luar negeri. Hakim beralasan, pencabutan wewenang pencegahan bukan berada di tangan hakim.
Baca juga:Menguji Ketangguhan KPK Lewat Praperadilan Setya Novanto
KPK Tak Tinggal Diam
Kekalahan KPK dalam sidang praperadilan Novanto ini tidak membuat komisi antirasuah menyerah. Sejumlah langkah tetap dilakukan dalam upaya mengusut tuntas korupsi proyek e-KTP tersebut. Pada awal Oktober lalu, misalnya, KPK kembali memperpanjang pencekalan Novanto untuk bepergian ke luar negeri.
Komisi antirasuah beralasan, pihaknya masih membutuhkan keterangan politikus Partai Golkar itu meskipun Pengadilan Negeri Jakarta Selatan telah memenangkan sidang praperadilan Novanto. KPK berharap, Setya Novanto bisa hadir jika KPK membutuh keterangannya.
“Ya kalau ada perpanjangan pencekalan itu berarti masih banyak informasi yang ingin dibutuhkan oleh KPK dari beliau,” kata Wakil Ketua KPK, Laode M Syarif, di Jakarta, Selasa (3/10/2017).
KPK pada 2 Oktober menyampaikan surat pengajuan perpanjangan cekal ke luar negeri terhadap Setya Novanto dalam penyelidikan kasus korupsi dalam pengadaan korupsi e-KTP. Pencekalan tersebut berlaku selama enam bulan ke depan atau hingga April 2018.
Selain memperpanjang pencekalan Novanto, KPK juga memanggil Setya Novanto sebagai saksi untuk tersangka Anang Sugiana Sudihardjo dalam kasus korupsi e-KTP. Sayangnya, politikus Partai Golkar ini sudah dua kali mangkir dengan alasan ada kegiatan lain di daerah pada masa reses DPR.
Baca juga:KPK Kaji Surat DPR Soal Alasan Setya Novanto Mangkir di Pemeriksaan
Novanto juga mangkir dua kali sebagai saksi dalam sidang pengadilan di Tipikor Jakarta dengan terdakwa Andi Narogong. Politkus Golkar yang dikenal “licin” ini baru memenuhi panggilan JPU KPK pada sidang lanjutan yang berlangsung pada Jumat (3/11/2017) lalu. Saat itu, Novanto lagi-lagi membantah semua tuduhan soal keterlibatan dirinya dalam proyek e-KTP.
Dalam kasus ini, KPK akhirnya kembali menetapkan Setya Novanto sebagai tersangka berdasarkan surat perintah dimulainya penyidikan bernomor B-619/23/11/2017 yang ditandatangani Direktur Penyidikan KPK, Aris Budiman pada 3 November lalu.
Akankah Novanto bisa lolos lagi dari jerat kasus e-KTP yang merugikan negara sebesar Rp2,3 trilun tersebut?
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Abdul Aziz