tirto.id - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) masih mempelajari surat dari DPR RI mengenai alasan Ketua DPR RI Setya Novanto mangkir pada pemanggilan kedua di pemeriksaan lanjutan terkait kasus korupsi e-KTP pada hari ini.
Semestinya, hari ini, Novanto dijadwalkan menjalani pemeriksaan sebagai saksi untuk tersangka korupsi e-KTP Anang Sugiana Sudihardjo. Pada panggilan pertama, Novanto juga mangkir dengan alasan karena ada kegiatan lain di daerah pada masa reses DPR RI.
"Sekarang surat dari Setjen dan Badan Keahlian DPR RI itu sudah kami terima. Pertama tentu harus kami baca dan pelajari lebih dulu," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Jakarta, pada Senin (6/11/2017).
Menurut Febri, KPK juga akan menelusuri kemungkinan surat dengan kop Setjen dan Badan Keahlian DPR RI itu dibuat atas sepengetahuan Setya Novanto atau tidak.
"Karena sebelumnya ada surat juga yang kami terima dan ditandatangani langsung oleh yang bersangkutan (Setya Novanto) dengan kop nama dan tanda tangan yang bersangkutan," kata Febri.
Dia menyatakan KPK juga masih menunggu pemberitahuan secara resmi langsung dari Setya Novanto sebagai saksi atau kuasa hukumnya.
"Sampai Senin sore jika memang masih ada pemberitahuan secara resmi langsung dari Setya Novanto sebagai saksi atau kuasa hukum, tentu masih terbuka kemungkinan untuk kami tunggu informasinya. Namun yang pasti sampai dengan hari ini belum ada kedatangan dan tadi pagi kami terima surat itu," kata Febri.
Surat dari DPR yang ditandatangani oleh Pelaksana Tugas (Plt) Sekretaris Jenderal DPR RI tersebut memuat lima poin penjelasan mengenai ketidakhadiran Setya Novanto di panggilan pemeriksaan KPK.
Pertama, surat dari KPK telah diterima Setya Novanto pada 1 November 2017 untuk didengar keterangan sebagai saksi dalam penyidikan kasus e-KTP dengan tersangka Anang Sugiana Sudihardjo bersama-sama dengan sejumlah pihak. Kedua, dalam surat KPK dicantumkan nama Setya Novanto, dengan keterangan pekerjaan Ketua DPR RI, alamat, dan lain-lain.
Ketiga, surat DPR itu menguraikan ketentuan di Pasal 254 ayat (1) UU No 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD yang mengatur: "Pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan".
Kemudian diuraikan amar putusan MK Nomor 76/PUU-XII/2014 tanggal 22 September 2015. Berdasarkan Putusan MK tersebut, maka wajib hukumnya setiap penyidik, termasuk KPK, yang akan memanggil anggota DPR RI harus mendapat persetujuan tertulis dari Presiden terlebih dahulu sebelum melakukan pemanggilan terhadap yang bersangkutan.
Keempat, oleh karena dalam surat panggilan KPK ternyata belum disertakan Surat Persetujuan dari Presiden RI, maka dengan tidak mengurangi ketentuan hukum yang ada, pemanggilan terhadap Setya Novanto dalam jabatan sebagai Ketua DPR RI baru dapat dipenuhi apabila sudah ada syarat persetujuan tertulis dari Presiden RI terlebih dahulu.
Kelima, berdasarkan alasan hukum di atas, maka pemanggilan terhadap Setya Novanto untuk pemeriksaan di KPK sebagai saksi tidak dapat dipenuhi.
Sementara terkait kemungkinan Setya Novanto akan dijemput paksa pada saat pemanggilan ketiga, Febri menyatakan bahwa sebagai penyelenggara negara seharusnya memberikan contoh kepatuhan terhadap hukum.
"Aturan ada di KUHAP ya, soal pemanggilan pertama pemanggilan kedua atau pemanggilan berikutnya. Yang pertama yang paling penting adalah warga negara yang dipanggil sebagai saksi adalah kewajiban hukum. Jadi, kami berharap para penyelenggara negara seharusnya memberikan contoh kepatuhan terhadap hukum," ujarnya.
Dia menambahkan, "Jadi, KPK akan mempelajari lebih dulu alasan ketidakhadiran pertama dan alasan ketidakhadiran yang kedua sebagai saksi ini. Apakah itu termasuk alasan yang sah, alasan yang patut, atau tidak."
Penulis: Addi M Idhom
Editor: Addi M Idhom