tirto.id - Di satu sisi, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo bilang semua Aparatur Sipil Negara (ASN) atau PNS wajib netral dalam Pemilu 2019. Netralitas ini sesuai dengan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN.Dalam pasal itu yang dimaksud "asas netralitas" adalah tak berpihak dari segala bentuk pengaruh dan tidak memihak kepentingan siapa pun.
Namun, pada sisi lain, orang yang sama juga membolehkan para abdi negara mengampanyekan program kerja pemerintah.
Kita semua tahu kalau salah satu capres adalah orang yang sama dengan yang kini menjabat sebagai Presiden RI periode 2014-2019: Joko Widodo.
Pernyataan Tjahjo, dengan demikian, jadi membingungkan karena membicarakan objek yang serupa. Mengkampanyekan program kerja pemerintah saat ini jadi cuma beda-beda tipis dengan berkampanye layaknya tim sukses.
Tapi bagi Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan, PNS yang sedang mensosialisasikan program pemerintah tak bisa serta merta dikategorikan sedang berkampanye. Sebab, sebagai bagian dari pemerintahan, mereka memang punya tugas memberi informasi seluas-luasnya.
"ASN adalah bagian dari pemerintah untuk melaksanakan program kerja pemerintah. Oleh karena itu ASN wajib bekerja dalam rangka melaksanakan program pemerintah," kata Wahyu saat dihubungi, Senin (4/3/2019).
Bagi lawan politik Jokowi, hal ini tentu bermasalah. Juru debat Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga, Ahmad Riza Patria, mengatakan jika PNS dibolehkan sosialisasi program pemerintah, maka dalam praktiknya sangat mungkin yang terjadi adalah kampanye secara vulgar.
"Sambil laksanakan tugas birokrasi tapi disisipkan 'ini program dari pemerintah pusat,' apalagi bilang 'dari Pak Jokowi,'" kata Riza kepada reporter Tirto.
Untuk saat ini memang tak ada yang bisa diubah. Misalnya, membatasi sama sekali PNS untuk bicara apa pun soal program pemerintah. Riza kemudian berharap PNS melayani masyarakat tanpa pandang bulu, apa pun orientasi politik mereka.
"Semua harus dilayani, kepala daerah apalagi. Dia harus bisa memimpin semua rakyatnya, melayani dan mengayomi siapa pun," ucap Riza.
Memang Beda Tipis
Batas antara sosialisasi dan kampanye memang tipis. Oleh karena itu Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini meminta KPU menjelaskan lebih terang tentang batasan-batasan seorang PNS sosialisasi program pemerintah sehingga tak jadi kampanye.
Batasan itu, misalnya, bisa berupa pelarangan menyebut nama "Jokowi".
"Kalau pemerintah itu menunjuk pada institusi, bukan orang. Jadi yang dijelaskan itu bukan program Jokowi, enggak ada itu. Yang ada itu program pemerintah Republik Indonesia atau program kementerian," jelas Titi kepada reporter Tirto.
"Kalau dia jelaskan program pemerintah, [misalnya] BPJS Kesehatan untuk semua warga negara, itu benar. Tapi kalau dia bilang BPJS inisiatif Pak Jokowi, ini sudah masuk partisan," tambahnya.
Untuk itulah, Titi meminta KPU sebagai lembaga penyelenggara Pemilu harus benar-benar menyampaikan batasan antara sosialisasi program pemerintah dengan kampanye program Jokowi sebagai calon presiden.
"Kalau KPU tak bisa mengemasnya secara spesifik, klasifikasi dan batasan yang dimaksud ini sangat mudah disalahtafsirkan. [Bisa] mendorong elektabilitas petahana yang sekarang berkompetisi," pungkas Titi.
Penulis: Bayu Septianto
Editor: Rio Apinino