tirto.id - Tak ada kehebohan kala PM Australia Scott Morrison menyambangi Kota Bogor akhir pekan ini. Ini berbeda saat PM Australia Malcolm Turnbull pada November 2015 berkunjung ke Jakarta, ada aksi blusukan di Pasar Tanah Abang bersama Presiden Jokowi yang cukup menyedot perhatian publik.
Jokowi dan Morrison sempat minum teh bersama. Kota Bogor yang cerah pada Jumat sore (31/8) lalu membuat keduanya bisa menyantap beberapa kudapan seperti pisang goreng, colenak, dan tahu isi udang di pelataran sekitar Istana Bogor, Jawa Barat. Kemesraan dua pemimpin negara beberapa tahun terakhir ini memang kontras bila ditarik jauh ke belakang, hubungan kedua negara sempat mengalami fase panas-dingin, juga dalam hal perdagangan.
Misalnya, pada 30 Mei 2011, sebuah video pemotongan ternak di rumah pemotongan hewan (RPH) di Indonesia yang ditayangkan televisi ABC Four Corners membuat gempar publik lantaran memperlihatkan adegan penyiksaan terhadap sapi-sapi impor asal Australia.
Dari video itu terlihat bagaimana proses pemotongan sapi asal Australia. Mulai dari dikurung, diikat, dijatuhkan dan akhirnya disembelih. Parahnya, rata-rata sapi harus disembelih 10 kali sebelum akhirnya mati.
“Bahkan di antaranya harus disembelih sampai 33 kali. Ini karena kemampuan penjagal yang rendah. Pisaunya pun tumpul,” kata Bidda Jones, Kepala Peneliti Royal Society for the Prevention of Cruelty to Animals, dikutip dari Sydney Morning Herald kala itu.
Publik Australia pun mengecam perlakuan buruk dalam proses pemotongan sapi di Indonesia. Tekanan yang hebat dari publik, membuat pemerintah Australia menghentikan sementara ekspor sapi hidup ke Indonesia hingga 6 bulan. Indonesia memang cukup bergantung dengan sapi hidup dan daging sapi dari Australia.
Namun, penghentian ekspor sapi hidup itu justru menimbulkan persoalan baru. Peternak sapi Australia banyak yang merugi. Rata-rata penjualan sapi menurun 15 persen imbas dari larangan ekspor sapi hidup itu.
Sebaliknya, larangan ekspor sapi hidup tersebut justru menjadi kabar positif bagi peternak Indonesia. Pasalnya, harga daging sapi perlahan-lahan mulai merangkak naik. Adapun, stok daging sapi juga dianggap masih aman. Namun, bagi konsumen di Indonesia, kondisi ini justru jadi bencana.
Dalam perjalanannya, kebijakan larangan ekspor sapi hidup itu ternyata tidak bertahan lama. Selang sebulan, kebijakan larangan itu sudah dicabut. Hubungan dagang antara Indonesia dan Australia mulai ‘dingin’ kembali.
Urusan sapi antara kedua negara kembali memanas pada medio 2015. Kali ini, asalnya dari pemerintah Indonesia. Kala itu, pemerintah akan mengurangi kuota impor sapi dari Australia menjadi 50.000 ekor pada kuartal III-2015, anjlok 80 persen dari 250.000 ekor pada kuartal II-2015.
Sontak, rencana pemerintah di era Presiden Joko Widodo tersebut membuat resah peternak sapi Australia. Bahkan, Perdana Menteri Australia saat itu masih dipegang oleh Tony Abbott langsung turun tangan untuk menenangkan para produsen sapinya.
Dinamika hubungan dagang antara Indonesia dan Australia selama ini memang bisa dibilang sangat dinamis. Persoalannya pun tidak melulu soal perdagangan sapi. Contoh lainnya yang membuat ‘panas dingin’ hubungan dagang Indonesia-Australia yakni tembakau.
Pada 2015, Indonesia menggugat Australia ke Badan Perdagangan Dunia atau World Trade Organization (WTO) lantaran Negeri Kangguru itu mewajibkan kemasan polos pada produk rokok, alias tanpa merek.
Kebijakan Australia tersebut dinilai memiliki implikasi luas terhadap perdagangan dunia, dan berpotensi menghambat ekspor rokok Indonesia, termasuk berdampak terhadap kehidupan petani tembakau dan industri rokok nasional.
Namun demikian, Australia memenangkan kasus gugatan seputar kemasan rokok polos itu. Selain Indonesia, gugatan serupa juga diajukan oleh negara produsen rokok lainnya seperti Kuba, Honduras dan Republik Dominika.
Siapa Scott Morrison?
Naik turun, panas dingin hubungan dagang antar negara tentunya tidak terlepas dari sosok pemimpinnya kedua negara terutama dari Perdana Menteri Australia. Rakyat Australia baru saja punya perdana menteri baru sejak pekan lalu, yakni Scott Morrison menggantikan Malcolm Turnbull pada 24 Agustus 2018. Seperti Turnbull, Morrison juga berasal dari Partai Liberal.
Terpilihnya Morrison ini juga menjadikan Partai Liberal yang menyumbang perdana menteri untuk ketiga kalinya secara berturut-turut. Terakhir, perdana menteri Australia yang di luar Partai Liberal terjadi pada 2010-2013, di mana kala itu ditempati Julia Gillard dari Partai Buruh.
Pada awal 2000-an, Morrison menjabat sebagai Direktur Partai Liberal di negara bagian New South Wales (NSW). Dalam perjalanannya, Morrison mencoba untuk menjadi anggota parlemen pada pemilihan federal pada 2007. Ia mencalonkan diri di daerah pemilihan Cook yang berada di negara bagian NSW. Namun, Morrison justru kalah telak dalam putaran pertama. Ia kalah dengan seorang pemuda Lebanon Katolik, Michael Towke.
Pada September 2008, Morrison akhirnya mendapatkan kursi parlemen. Malcolm Turnbull yang kala itu menjadi ketua oposisi pemerintah menunjuk Morrison sebagai menteri bayangan yang mengurusi perumahan dan pemerintah daerah.
Setahun setelah itu, Tony Abbott menjadi ketua oposisi pemerintah yang baru menggantikan Malcolm. Ia lalu menunjuk Morrison ke dalam kabinet bayangannya sebagai juru bicara imigrasi dan kewarganegaraan. Sebagai menteri imigrasi bayangan, Morrison sangat mahir ‘menggoreng’ isu kedatangan pencari suaka selama masa pemerintahan Rudd dan Gillard. Bahkan, ia sempat-sempatnya membuat slogan yang efektif, yakni ‘stop the boats’.
Pada 2013, Tony Abbott akhirnya menjadi PM Australia. Morrison kemudian ditugaskan sebagai menteri imigrasi dan perlindungan daerah perbatasan. Ia juga sempat meluncurkan Operasi Sovereign Borders sebagai upaya untuk mengadang kapal-kapal ilegal yang berisikan para pencari suaka masuk ke Australia. Kebijakan ini diklaim sukses besar.
Operasi yang dibentuk Morrison ini membuat namanya mulai dikenal Indonesia, bahkan sempat membuat geram pemerintah dan sejumlah politikus Indonesia. Pasalnya, Morrison menggiring para pencari suaka itu ke wilayah Indonesia.
“Ini mungkin legal dari perspektif Anda, namun dari perspektif kami, bisa jadi beda cerita. Ini jelas ilegal,” kata Tantowi Yahya yang kala itu menjabat sebagai politikus Partai Golkar dikutip dari Guardian pada 2013.
Pada Desember 2014, Morrison tidak lagi mengurusi soal imigrasi. Kali ini, Morrison bertugas di Kementerian Sosial, dan mulai merombak citranya, sekaligus menaikkan daya tarik dirinya di mata publik.
Usai Tony Abbott lengser dari PM Australia Turnbull masuk menggantikan Abbott. Di rezim Turnbull, Morrison dipromosikan sebagai bendahara. Untuk pertama kalinya, Morrison menangani anggaran pemerintah federal mulai 2016, dan telah menyusun sebanyak tiga anggaran.
Lebih dari satu dekade di parlemen, Morrison akhirnya meraih posisi teratas dalam dunia politik, yakni sebagai PM Australia. Ia mengalahkan politisi dari Partai Liberal Peter Dutton, dan mantan Menteri Luar Negeri Julie Bishop.
Kebijakan Luar Negeri Morrison
Usai dilantik pada akhir pekan lalu, Morrison mengunjungi Indonesia, sekaligus menjadi kunjungan luar negeri resmi pertamanya sebagai PM Australia. “Hal ini dapat dimaknai sebagai komitmen kuat pemerintah baru Australia untuk terus membangun sebuah hubungan yang kuat, yang saling menghormati, dan saling menguntungkan,” kata Jokowi.
Rencana perdagangan bebas atau Indonesia-Australia Comprehensive Economic Partnership (IA-CEP) sudah difinalisasi saat kepala pemerintahan bertemu Jumat lalu. Namun, langkah konkret dari pertemuan itu masih sebatas penandatanganan tiga MoU di bidang ekonomi kreatif, kerja sama keamanan siber, dan kerja sama di bidang transportasi.
Kebijakan luar negeri Morrison ini ke depannya diperkirakan tidak jauh berbeda dengan apa yang dicetuskan perdana menteri sebelumnya. Pasalnya, kebijakan yang diambil Morrison secara garis besar akan sejalan dengan kebijakan partainya. Sistem pemerintahan di Australia memang tidak sama dengan Indonesia. Jika di Indonesia, ketua umum partai yang diangkat sebagai menteri atau presiden, tidak boleh lagi menjadi petugas partai.
Di Australia, perdana menteri merupakan wakil partai. Biasanya perdana menteri Australia adalah pemimpin dari partainya. Dengan kata lain, kebijakan Morrison tidak akan jauh berbeda dengan perdana menteri sebelumnya, Malcolm Turnbull.
“Saya melihat tidak akan ada perubahan drastis. Turnbull dan Morrison berasal dari partai yang sama. Jadi mereka hanya menjalankan garis-garis partai,” kata Pengamat ekonomi dari Universitas Indonesia, Fithra Faisal Hastadi kepada Tirto.
Ihwal perdana menteri Australia yang baru dilantik ini berasal dari Partai Liberal, maka menjadi sentimen positif bagi Indonesia. Seperti diketahui, Partai Liberal memang lebih mengedepankan kerja sama internasional. Berbeda jika perdana menteri Australia dipegang Partai Buruh. Arah kebijakannya lebih mementingkan untuk melindungi kepentingan dalam negeri. Mirip dengan kebijakan AS saat ini yang sangat protektif.
Jadi bisa dibilang, terpilihnya perdana menteri Australia dari Partai Liberal membuat nyaman Indonesia. Apalagi, kedua negara dalam beberapa tahun terakhir ini terus meningkatkan kerja samanya, baik dari sosial, ekonomi dan lain sebagainya.
Hal itu bisa dilihat dari program yang dibentuk kedua negara, yakni The Australia-Indonesia Centre, di mana salah satu turunan programnya adalah menggelar acara Australia-Indonesia Leaders Program.
Tujuan dari Australia-Indonesia Leaders Program ini adalah untuk mendorong jaringan para pemimpin dari kedua negara untuk membangun hubungan, kesepakatan, dan kemampuan guna menjawab berbagai tantangan masing-masing negara, termasuk membuka peluang kemitraan baru.
“Hubungan kedua negara sebenarnya cukup dekat saat ini. Tapi terbuka juga muncul konflik-konflik kecil ke depannya. Namun yang pasti, Australia adalah salah satu negara yang penting bagi Indonesia,” jelas Fithra.
Editor: Suhendra