tirto.id - Hubungan Indonesia dan Australia selalu mengalami tegang-kendor. Berteman, tapi tak bersekutu. Indonesia dianggap ancaman, tapi Australia punya kepentingan membantu.
Beberapa hari lalu, bunga bangkai Titan Arum (Amorphophallus titanium) di Royal Botanic Garden, Adelaide, Australia Selatan berbunga. Ini fenomena gasal karena belum setahun bunga yang dinamai Ganteng ini mekar. Biasanya, tanaman yang berasal dari hutan tropis Sumatera ini membutuhkan waktu 3-5 tahun untuk berbunga kembali.
Tahun lalu mekarnya si Ganteng yang hanya 48 jam mengundang 11 ribu orang mengantri melihatnya sampai tengah malam. Ada sesuatu berbau busuk yang berasal dari Indonesia tapi justru menjadi pusat perhatian di Australia.
Selain tentang si Ganteng, ada kabar lain perkara Indonesia yang sedang diminati di Australia. Tentara Nasional Indonesia (TNI) menangguhkan kerja sama militer dengan Australia. Kabar ini mulanya tercetus dari berita di halaman dalam Harian Kompas Selasa (3 Januari) yang berjudul “TNI Tunda Kerja Sama Militer dengan AD”. Berita itu merupakan konfirmasi Kompas kepada Kapuspen Mabes TNI Mayjen Wuryanto. Kapuspen yang membenarkan adanya penundaan kerja sama tapi menolak menjelaskan alasannya.
Rumornya, di pusat latihan ADF di Perth, seorang perwira TNI yang menjadi pengajar menemukan materi tulisan poster yang mengejek Indonesia. Ketika kabar ini baru mencuat, tidak jelas seperti apa persinya tulisan yang bisa membuat perwira TNI tersinggung berat dan mengirimkan laporan ke markas besarnya. Apakah ada tulisan, “Nasi goreng tastes like crap”?
Perlahan terkuak kalau materi yang menyinggung itu adalah tulisan yang memelesetkan Pancasila menjadi Pancagila, tentang Papua, dan Timor Leste. Dua perkara terakhir memang seperti karung pasir bagi Australia untuk menyodok Indonesia. Banyak orang Australia ingin menjadi yang terdepan menyoroti pelanggaran HAM yang terjadi di Papua, dan mendukung upaya pembebasan Papua.
Ini jelas melabrak doktrin TNI yang selalu melihat ke dalam (inward looking), menjaga keutuhan NKRI. Padahal apapun yang dikatakan orang luar, apalagi di markas militer yang tertutup, tidak berpengaruh pada integritas negeri yang dicintai TNI ini.
Justru gencarnya pemberitaan yang menyinggung isu Papua membuat Indonesia tambah kerepotan. Kelompok pendukung pembebasan Papua di Australia yang rajin cari perhatian langsung berselancar di gulungan isu ini. Pada Jumat 6 Januari lalu, seorang aktivis memanjat atap gedung Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) di Melbourne untuk mengibarkan bendera bintang kejora. Videonya tersebar lebih dahulu lewat media sosial, Indonesia bereaksi dengan meminta otoritas keamanan menindak pelaku.
Australia juga masih rajin menyoroti aneksasi, pelanggaran HAM, dan pembunuhan oleh tentara Indonesia di Timor Timur. Australia belum beranjak dari isu aneksasi Timor Timur karena pembunuhan 5 jurnalis Australia -- peristiwa yang sering disebut sebagai Balibo Five pada 1975. Pada tahun 2007, Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso didatangi polisi federal Australia (AFP) di kamar hotelnya di Sydney. Dua polisi memaksa Sutiyoso yang bertugas di Kopassus semasa aneksasi Timtim untuk menghadiri sidang pembunuhan Balibo Five.
Orang Timor Leste, bahkan pemimpin politiknya, dari Xanana Gusmao, Ramos Horta, dan Mari Alkatiri, sebenarnya sudah menutup buku perkara catatan hitam Indonesia di masa lalu. Timor Leste punya banyak tantangan aktual yang harus dihadapi. Salah satunya menahan ambisi Australia yang mencaplok sumber minyak lepas pantai. Timor Leste menuntut perbatasan sesuai garis tengah (median line) berdasarkan Hukum Internasional dan Konvensi PBB untuk Law of the Sea yang juga diratifikasi Australia (1994). Dengan garis tengah, Timor Leste akan memperoleh kekayaan minyak dan gas bumi jauh lebih banyak daripada porsi yang didapat bila dibandingkan dengan persetujuan bagi hasil tahun 2006 yang timpang.
Kampanye Perang Proxy
Sejumlah media Australia berusaha menganalisa kenapa Gatot mengambil langkah pemutusan kerja sama daripada menempuh pembicaraan intens dengan mitranya panglima Australia. Ada jurnalis menyoroti Gatot yang memang sering melontarkan pernyataan yang dianggap ganjil untuk seorang panglima angkatan bersenjata. Gatot di depan mahasiswa pernah bicars tentang kerisauannya pada gelombang pengungsi dari China yang akan menyerbu Asia Tenggara karena mengalami krisis pangan di daerah asalnya.
“Bila mereka datang ke sini, mereka akan datang lewat laut. Ketika mereka berada di tengah laut, saya akan memotong 10 sapi di tengah laut. Ini akan membuat hiu berdatangan. Setelah itu, saya akan menembaki kapal-kapal mereka, mungkin menggunakan senjata ringan, sehingga kapal mereka bocor dan mereka akan dimakan oleh hiu,” kata Gatot.
Jenderal Gatot rajin mengungkap kegelisahannya tentang perang proxy yang berpotensi memecah belah Indonesia. Ancaman ini, menurut Gatot, diorkestrasi entitas asing yang ingin menguasai sumber makanan, air, dan energi dengan menempatkan pelaku kolaborator domestik atau yang disubsidi, seperti LSM, media, kelompok kepentingan, dan individu. Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu juga rajin mengungkit tema perang proxy, dengan menyebut isu LGBT sebagai salah satu cara kekuatan asing untuk memengaruhi pola pikir masyarakat Indonesia.
Narasi perang proxy bisa dilihat sebagai intensi TNI untuk menjadi lebih relevan dan terlibat lebih dalam pada masalah masyarakat sipil. Atau kalau tidak terlibat langsung, militer harus melatih sipil dengan doktrin bela negara. Kalau bisa yang dilatih memang kelompok sipil yang punya ambisi polisional, seperti yang dilakukan Kodim Lebak Banteng yang memberi pelatihan bela negara bagi anggota Front Pemuda Islam (FPI).
Dengan narasi perang proxy yang digemari Gatot, Australia sebagai negara yang memberi banyak bantuan langsung untuk Indonesia sebagai kepentingan yang berpengaruh. Gatot pernah menuding Australia merekrut perwira TNI terbaik untuk menjadi agen intelijen. Bagi Australia, Gatot membingungkan. Dia sendiri yang meneken kesepakatan kerja sama dengan militer Australia. Tapi dia juga yang sering emosi dan membuka kancing bajunya.
Di Indonesia berita ini agak lambat menjadi hangat, mungkin karena berita seputar Ahok lebih menyedot perhatian. Tapi di Australia, ini segera viral di media sosial, menjadi menu halaman depan beberapa surat kabar dan diulang-ulang di televisi. Ini ibarat dua orang pacaran lantas putus tapi sedunia harus tahu dan terlibat drama mereka. Ini urusan tentara dengan tentara, tapi efeknya bisa lebih dramatis bagi kaum sipil. Setidaknya itu yang saya baca di kolom komentar pembaca berita tentang ini di saluran media sosial pers Australia.
Isu Indonesia di Australia
Dari situ saya jadi memperhatikan opini ketidaksukaan banyak orang Australia terhadap Indonesia. Mereka hanya butuh sebuah isu untuk menumpahkan kekesalannya pada Indonesia.
Ada beberapa alasan. Pertama, Indonesia adalah ancaman terbesar bagi Australia. Jumlah angkatan bersenjata Indonesia 450.000 personil adalah 10 kali jumlah tentara Australia, sementara daratan benua Australia sangat luas. Kalau jumlah tentara wajar, populasi Australia memang cuma 10 persen dari Indonesia. Orang Australia bersyukur, masih ada pangkalan militer Amerika Serikat di Darwin, yang jaraknya cuma sepelemparan rudal dari perairan Indonesia.
Orang Australia harusnya melihat sendiri, di Indonesia lebih mudah menemukan tentara di daerah perkotaan daripada di barak-barak tapal batas negara. Tentara Indonesia itu seperti sifat politik luar negerinya, bebas aktif. Mereka bebas dan aktif ke mana saja. Kadang kita bisa temukan mereka mengawal bar atau kelab malam. Kadang kita juga bisa melihat mereka mengamankan penggusuran pemukiman warga.
Kedua, orang Australia percaya Indonesia berambisi menginvasi Australia. Ada komentar yang menyebutkan di sekolah-sekolah Indonesia ada materi yang mengajarkan sebagian Australia dulunya bagian Indonesia. Mereka percaya Indonesia masih menyimpan niat untuk merebut kembali.
Ini isu yang benar-benar baru buat saya, tak pernah saya dengar soal ini dulu di sekolah. Mungkin maksudnya klaim itu adalah wilayah kekuasaan kerajaan Majapahit atau Sriwijaya? Dua ratus tahun sebelum Inggris berkoloni ke Australia, pelaut Bugis sudah menjalin interaksi perdagangan dengan orang Aborigin di wilayah utara Australia. Interaksi itu terjadi tanpa kekerasan, tidak seperti yang dilakukan imigran Eropa atas orang Aborigin.
Ketiga, orang Australia merasa Indonesia sangat membutuhkan Australia, tidak sebaliknya. Padahal Indonesia adalah pasar ekspor yang besar bagi Australia. Neraca perdagangan kedua negara pada 2015 tercatat $15 miliar. Indonesia menjadi mitra dagang terbesar ke-12 bagi Australia. Jumlah kelas menengah Indonesia yang dua kali populasi Australia adalah pasar yang menjanjikan. Nilai investasi Australia di Indonesia senilai $8,4 miliar.
Pada 2011 Australia pernah menetapkan penghentian ekspor sapi ke Indonesia yang efeknya masih terasa sampai sekarang. Penghentian ekspor senilai $1,4 miliar ini karena beredarnya berita investigasi ABC tentang penyembelihan sapi halal di Indonesia yang bagi orang Australia sangat kejam dan tak etis. Ketika itu ekspor sapi Australia turun 42 persen dan efeknya dianggap katastrofik.
Keempat, Australia sudah sangat baik banyak memberikan bantuan tapi Indonesia selalu durhaka. Ini sindrom pihak yang selalu merasa telah berbuat susu tapi dibalas air tuba. Mantan Perdana Menteri Australia Tony Abbott misalnya pernah mengungkit negaranya telah membantu banyak saat tsunami Aceh tapi Indonesia tega mengeksekusi dua warganya terpidana mati kasus narkoba Andrew Chan dan Myuran Sukumaran. Presiden Jokowi pernah mengatakan Indonesia tidak dalam posisi meminta bantuan Australia. Jadi Indonesia tidak akan merengek bila bantuan dikurangi atau dihapus.
Saat ini Australia punya komitmen memberi bantuan dalam bentuk Official Development Assistance (ODA) untuk Indonesia. ODA pada anggaran 2015-2016 jumlahnya $379,1 juta, lalu pada 2016-2017 diestimasi 365,7 juta. Orang Australia yang selalu sensitif dengan kemana uang pajak mereka pergi dan selalu menekankan predikat mereka sebagai “taxpayer”, banyak yang mengira bantuan (aid) itu dalam bentuk dana segar. Padahal tidak. Bantuan asistensi itu juga dikerjakan oleh kontraktor perusahaan swasta atau LSM Australia yang bekerja di Indonesia.
Jadi uang pajak orang Australia juga dipakai untuk menggaji orang Australia sendiri. Penjelasan tentang bantuan Australia untuk Indonesia bisa dilihat di website resmi pemerintah Australia. Bila dibandingkan dengan ekspor ke Indonesia, nilai bantuan Australia tak seberapa.
Bentuk lain bantuan adalah penyaluran beasiswa Australia Awards bagi mahasiswa pasca sarjana Indonesia untuk belajar di Australia dengaan kuota 400 orang setiap tahun. Bila setiap penerima beasiswa menerima $2500 per bulan, total yang dikeluarkan Australia untuk biaya hidup penerima beasiswa per tahun sudah $24 juta. Bila rata-rata biaya kuliah $80 ribu per tahun untuk setiap orang, nilai bantuan itu sudah $64 juta. Artinya paling tidak separo dari bantuan $370 juta itu juga masih berputar di dalam negeri Australia.
Bila melihat bantuan asistensi Australia alokasinya terkonsentrasi di Nusa Tenggara Barat (NTB), Nusa Tenggara Timur (NTT), dan Sulawesi Tenggara. Di NTB, Australia punya kepentingan tambang emas. Di NTT Australia berkepentingan karena eksploitasi cadangan minyak Celah Timor. Di Sulawesi perusahaan Australia punya banyak operasi tambang. Jadi program pengurangan kemiskinan, perbaikan infrastruktur kesehatan dan air, serta peningkatan kapasitas yang menjadi konsentrasi bantuan sebenarnya juga untuk mengamankan investasi perusahaan Australia di Indonesia.
Bantuan Hercules dan Galah Gate
Banyak orang Australia masih mengingat kalau negaranya pada 2013 memberikan 9 unit pesawat Hercules C-130 bekas Royal Australia Air Force (RAAF). Pesawat hibah yang diperkirakan senilai $30 juta itu butuh $25 juta dana perbaikan agar layak terbang. Australia memaksudkan Hercules ini bukan untuk fungsi militer, tapi tujuan kemanusiaan seperti penyaluran bantuan ke wilayah bencana. Salah satu pesawat Hercules buatan 1980 ini mengalami kecelakaan di Pegunungan Jaya Wijaya, Papua, 18 Desember 2016. Kecelakaan ini menewaskan 13 orang awak dan penumpang.
Saat proses serah terima Hercules, dua perwira TNI AU yang dikirim ke Australia untuk mentransfer pesawat tertangkap akan menyelundupkan sembilan ekor burung kakaktua dan nuri Australia. Pengungkapan yang dijuluki “Galah Gate” ini disebut sebagai salah satu operasi diplomatik Australia yang paling hati-hati. Operasi lintas lembaga ini berawal bocoran informasi dari sebuah pet shop kalau ada kru pesawat baru membeli sejumlah burung untuk diselundupkan. Pesawat akan terbang dari pangkalan Richmond dan transit di Darwin sebelum menuju Indonesia.
Australia adalah negara yang sangat ketat dalam masalah lalu lintas hewan dan tanaman antarnegara. Menyelundupkan satwa Australia ke luar negeri diancam hukuman tahanan 10 tahun atau denda $170.000. Tapi Australia sama sekali tidak menjatuhkan sanksi kepada kedua perwira itu dan mereka bisa meninggalkan Australia pada 28 November 2013.
Bila sanksi dijatuhkan, hubungan Indonesia dan Australia bakal menghangat. Karena saat itu di Indonesia sedang panas perkara operasi intelijen Australia yang menyadap telepon Presiden Yudhoyono dan ibu negara pada tahun 2009.
Ormas yang paling merasa tersinggung ketika itu Front Pembela Islam (FPI) dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Pada 22 November mereka berdemonstrasi di depan Kedutaan Besar Australia di Jakarta. Mereka menyanyikan lagu Indonesia Raya, mendesak pengusiran diplomat Australia, menyerukan “Ganyang Australia!”, dan membakar bendera Amerika Serikat.
Kok membakar bendera Amerika? Mungkin karena bendera Amerika, seperti pizza hut, berasal dari Italia.
*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.