tirto.id - Partai Keadilan Sejahtera (PKS) tidak setuju amandemen terbatas Undang-undang Dasar (UUD) 1945 dilakukan pada masa seperti sekarang.
Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera menilai amendemen terbatas UUD 1945 tidak tepat dilakukan saat kekuatan oposisi dan koalisi pendukung pemerintah timpang.
Mardani menyatakan hal ini karena Gerindra, Demokrat dan PAN sudah menunjukkan isyarat kuat akan bergabung dengan koalisi pendukung pemerintahan Jokowi-Ma'ruf. Jika 3 partai itu benar-benar masuk koalisi pendukung pemerintah maka hanya PKS yang menjadi oposisi.
Menurut dia, apabila posisi partai pendukung pemerintah terlalu kuat, pelaksanaan amandemen UUD 1945 berpotensi memicu penyimpangan.
“Komposisi parpol pemerintah dan oposisi tidak ideal. Kelompok yang punya kekuatan besar akan tergoda untuk menggunakan voting, padahal Indonesia didasarkan pada prinsip musyawarah untuk mufakat,” kata Mardani di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta pada Rabu (14/8/2019).
Mardani menambahkan konteks situasi politik menentukan hasil dari amendemen UUD 1945. Oleh karena itu, diaberpendapat situasi politik saat ini tidak kondusif untuk amandemen undang-undang dasar.
“Jujur saja, ada situasi tidak konduslif karena kekuatan penyeimbang tidak kuat, sehingga bisa ada pasal yang bertentangan dengan niat pendiri bangsa, yang disetujui,” ujar dia.
Idealnya, kata Mardani, perbandingan jumlah kursi partai pendukung pemerintah dan oposisi di parlemen adalah 60:40.
Di sisi lain, baru PKS yang menyatakan siap tetap menjadi oposisi. Sementara jumlah kursi PKS di parlemen periode 2019-2024 diperkirakan hanya 50 atau 8,7 persen. Kondisi seperti ini, menurut Mardani, tidak sehat untuk amandemen UUD 1945.
Wacana amandemen UUD 1945 sebelumnya didorong oleh PDIP dengan alasan agenda itu sudah pernah menjadi program yang direncanakan oleh MPR periode 2014-2019. PDIP juga mendorong Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) dihidupkan kembali.
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Addi M Idhom