Menuju konten utama

PKL Tanah Abang Sulit Ditertibkan Selama Preman Bercokol

Ketua Ombudsman Perwakilan DKI Teguh Nugroho mengatakan para PKL ngotot tetap jualan di sepanjang trotoar Tanah Abang karena ada yang “membekingi.”

PKL Tanah Abang Sulit Ditertibkan Selama Preman Bercokol
Kebijakan penutupan jalan Jatibaru Raya di depan Stasiun Tanah Abang, Jumat (22/12). tirto.id/Lalu Rahadian

tirto.id - Upaya Pemprov DKI menertibkan pedagang kaki lima (PKL) di kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat, tampaknya mengalami kesulitan. Sebab, meski sudah disediakan lokasi skybridge atau jembatan penyeberangan multiguna untuk lokasi jualan, tapi masih banyak yang buka lapak di trotoar.

Ketua Ombudsman Perwakilan DKI Jakarta Teguh Nugroho mengatakan PKL ngotot berjualan di sepanjang trotoar karena ada yang “membekingi.” Teguh menilai ada preman yang sudah lama beroperasi di daerah itu dengan cara mengambil uang “pungutan.”

Teguh mengatakan pola yang terjadi di Tanah Abang adalah preman memiliki posisi untuk menjaga keberadaan PKL yang berjualan di luar lokasi yang telah ditetapkan Pemprov DKI. Ia menyebut, para pedagang tersebut membayar sekitar Rp30 ribu hingga Rp50 ribu per harinya.

“Para preman ini, itu pelindungnya siapa? Ya, banyak. Ormas-ormas, termasuk 'oknum' Satpol PP. Dulu terjadi seperti itu. Nah, indikator-indikatornya itu masih terjadi sampai sekarang,” kata Teguh kepada reporter Tirto, Senin (21/1/2019).

Tidak hanya ormas, Teguh juga menyebut ada sejumlah tokoh masyarakat yang berada di belakang para preman. Namun, Teguh enggan menyebutkan siapa tokoh masyarakat yang dia maksud.

Pernyataan Teguh ini sejalan dengan pengakuan salah seorang PKL yang berjualan di trotoar, Yanto (19 tahun), bukan nama sebenarnya. Yanto mengatakan dirinya masih rajin menyetor uang sebesar Rp300 ribu ke preman setiap pekan.

Yanto menyebut uang tersebut sebagai “uang lapak.” Di luar dari iuran wajib itu, kata Yanto, preman pun suka lewat dan meminta uang sekitar Rp2 ribu per hari.

“Iya, biasalah ke preman-preman. Biasanya dua ribuan,” kata Yanto saat ditemui di kawasan Jatibaru, Tanah Abang, Jakarta Pusat, Senin (21/1/2019) siang.

“Kadang ada, kadang enggak,” kata Yanto menambahkan.

Yanto sebenarnya memiliki toko di bagian dalam pasar. Namun, ia tetap berjualan di trotoar Jatibaru untuk menambah penghasilan. Ia berjualan di depan karena sudah bayar uang lapak.

Yanto bukan satu-satunya pedagang yang berjualan di sana. Sepanjang jalan tersebut, terdapat PKL lain yang berjualan makanan, minuman, pakaian, sepatu, hingga mainan untuk anak.

Saat kunjungan ke Jatibaru, reporter Tirto juga menemui salah seorang warga asli Tanah Abang, Tomi.

Ia terlihat baru saja berbincang dengan Camat Tanah Abang Dedi Arif Dasono dan sejumlah Satpol PP di sekitar PKL yang berjualan secara ilegal.

Tomi mengatakan pertemuan tersebut terkait dengan keamanan di Tanah Abang. Saat itu, Tomi berada di sana dengan pakaian bercorak kotak-kotak mengenakan peci berwarna hijau.

“Bantu kontrol saja, kontrol lalu lintas,” kata Tomi saat ditemui di Jatibaru, Tanah Abang, Senin (21/1/2019).

Sedangkan Dedi mengatakan ia memang datang ke Tanah Abang setiap hari untuk "memantau." Percakapannya dengan sejumlah warga di sana sebatas obrolan biasa masalah Tanah Abang.

“Sudah tertib sejak ada skybridge, tapi masih saja ada pedagang yang masih berjualan di [trotoar] Tanah Abang,” kata Dedi.

Sementara itu, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengatakan seharusnya tidak boleh ada preman sama sekali. Namun, Anies juga berkata agar Ombudsman menyertai bukti-bukti jika memang masih ada preman di sana.

“Semua yang menegakkan aturan itu dokumen secara berkas, secara bukti, harus lengkap,” kata Anies saat ditemui di Balai Kota, Jakarta Pusat, Senin (21/1/2019).

PKL Tanah Abang Kembali Berjualan di Trotoar

Sejumlah Pedagang Kaki Lima (PKL) berjualan di trotoar di sekitar kawasan Pasar Tanah Abang, Jakarta, Rabu (25/10/2017). Keberadaan pedagang yang berjualan menganggu akses pejalan kaki dan kendaraan yang melintas di kawasan tersebut. tirto.id/Andrey Gromico

Keberadaan JPM Hadirkan Konflik?

Dalam konteks ini, Teguh mengapresiasi upaya Pemprov DKI untuk menghadirkan jembatan penyeberangan multiguna (JPM) di Tanah Abang yang diperuntukkan bagi PKL agar tetap bisa berjualan secara tertib di sana.

“Kami menyetujui Pemprov DKI untuk melakukan revitalisasi pedagang kaki lima itu dengan jembatan multiguna supaya para pedagang ini tidak bayar ke preman dan dananya bisa masuk ke Pemprov DKI,” kata Teguh.

Namun, Teguh menegaskan untuk persoalan PKL ini, Pemprov DKI perlu penyelesaian secara tuntas, termasuk terkait keberadaan preman di sana.

“Solusinya adalah penataan kawasan Tanah Abang secara komprehensif. Kan, JPM tidak harus berhenti di situ,” kata Teguh.

Sebab, Teguh menilai persoalan ini tak lepas dari keberadaan preman, termasuk bentrok yang sempat terjadi antara Satpol PP dan PKL saat Satpol PP tengah menertibkan PKL yang berjualan di luar area yang telah ditentukan.

“Bentrok kemarin ini kami duga berasal dari kekecewaan preman karena hilangnya pendapatan mereka,” kata Teguh.

Sebelum ada JPM, Ombudsman mencatat terdapat sekitar 650 pedagang liar yang membayar ke preman. Sekitar 446 pedagang kemudian pindah berjualan ke JPM. Selain itu, terdapat sekitar 50 pedagang yang dipindahkan ke Blok M.

Dengan skema yang berjalan, pendapatan preman setempat pun diperkirakan berkurang. Hal tersebut beriringan dengan kekesalan sejumlah pedagang yang tak mendapatkan jatah tempat di JPM atau malah dipindahkan ke Blok M.

“Jadi berkumpulah mereka, kemudian terjadi bentrok itu,” kata Teguh.

Baca juga artikel terkait PENATAAN TANAH ABANG atau tulisan lainnya dari Fadiyah Alaidrus

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Fadiyah Alaidrus
Penulis: Fadiyah Alaidrus
Editor: Abdul Aziz